Eri Setiawan: Bolehkah Kutulis Namamu pada Api yang Makin Biru? dan Puisi Lainnya


Aku Pernah Telanjang Menyambut Kedatangan Rembulan

Aku pernah telanjang menyambut
kedatangan rembulan pada malam penuh pengharapan
tatkala musim ganjil kukira menggenap dan kaudengungkan sebuah berita
bahwa rembulan malam itu adalah jelmaanmu

Aku mengutus kata-kata melalui udara yang menyatu dengan angin
untuk mengabarkan bahwa di sekitarku rindu-rindu tak ruai
mengepung serupa kepulan dupa yang wujud dan wanginya

mengelilingi tubuh dan ruang pertapaanku

Segenap kata-kata telah kusiapkan
pengukuhan cinta telah kusematkan
pada wajah malam, pada tubuh daun-daun,

dan pada sunyi yang sebentar lagi kehilangan hakikatnya
sebab tubuh dan batinku tak pernah
sanggup menampung kesejatianku padamu
sebab segala bentuk kasih pemujaanku padamu
tak pernah muat di liang batinku

Aku pernah telanjang menyambut kedatanganmu pada malam penuh pengharapan
sebagai kultus tatkala kudengar bahwa kesepianmu
akan kembali ke pangkuanku dalam bentuk cahaya terang

yang menjadi tanda bahwa aku adalah kesejatianmu
dan rindu-rindu yang mungkin sempat kautikam sampai tulang-tulangnya
telah bangkit kembali, tiada satu pun tercerai-berai dan meruai

Aku pernah telanjang, mengadakan sebuah ritual sambutan
membaca mantra suci, membelah dadaku sendiri,
mencabik-cabik tirai batas kesunyian,

dan mengagungkan doa-doa yang menggantung di langit
sebelum purnama jatuh di lautan menemui sebenar-benarnya kematian.

 

Bolehkah Kutulis Namamu pada Api yang Makin Biru?

Malam gulita adalah waktu
paling syahdu untuk memanggang rindu
dengan api yang kuambil dari dadaku
kasih, bolehkah kutulis namamu malam ini,
pada api yang makin biru dan pada dada
nyeri yang menunggu temu?

Barangkali kau mendengar denyutku
atau setidaknya, hatimu bergetar
tatkala rinduku menjadi sangat matang
meringik di antara api-api

Barangkali kau merasakan lukaku
atau setidaknya kau sedikit tergores
tatkala jatuh bangun aku membangun hidup
tetapi kesendirian membentuk sebuah redup

Kasih, bolehkah kutulis namamu,
pada sepi paling sepi,
pada api paling api, sebelum kuterkam hidupku sendiri?



Eri Setiawan, lahir di Banjarnegara pada 23 Januari 1993. Sekarang bermukim di Desa Ledug, Kecamatan Kembaran, Kabupaten Banyumas dan mengajar di SMP Negeri 2 Pengadegan, Purbalingga. Gabung di komunitas menulis (Komunitas Penyair Institut) Purwokerto.  Novel pertamanya yang ditulis berjudul Bujuk Dicinta Kenangan Pun Tiba. Selain itu, ada beberapa tulisan seperti puisi dan cerpen yang dibukukan bersama penulis-penulis lain. Ada pula beberapa karya sastra yang termuat di koran maupun media daring.


Posting Komentar

0 Komentar