Esai Dani Alifian: Demam Ekranisasi

Ekranisasi melambung, semenjak karya sastra terasa begitu sinematik, industri perfilman coba meracau, meramu kerja perseorangan jadi karya kelompok.


Ekranisasi sebenarnya istilah lama yang bermuara dari serpihan kata bahasa Prancis. Seorang sastrawan atau lebih familiar sebagai akademisi sastra, Pamusuk Eneste menyebut jika ekranisasi ini adalah proses pelayarputihan sebuah novel (baca: karya sastra) menjadi film.

Sekian tahun belakangan ini, mungkin sejak tahun 2019 film Bumi Manusia berhasil menyedot animo penonton. Beberapa film yang disebut Eneste sebagai ekranisasi mulai bermunculan. Sekedar demam, atau memang memfilmkan karya sastra akan menjadi terobosan apik guna mengakarkan kembali karya sastra.

Tahun 2019 sendiri terhitung ada dua film yang mengadaptasi karya sastra. Keduanya merupakan karya asli dari Pramoedya Ananta Toer. Film Bumi Manusia garapan Hanung Bramantyo mungkin yang lebih ramai. Meski diawali kekhawatiran kritikus film akan gagalnya penggarapan. Nyatanya Bumi Manusia menyedot animo luar biasa, bahkan berimbas pada ingatan kembali karya-karya Pramoedya yang lain.

Satu-satunya cemooh pada film Bumi Manusia ini, persis seperti yang pernah dikelakarkan oleh seorang teman dalam obrolan pendek. ‘Film Bumi Manusia yang diadaptasi dari karya Pram itu ramai karena Iqbal belaka!’ Tebakannya saat ini mungkin salah, sebab beberapa film selanjutnya diadaptasi dari karya sastra justru laku keras. Penghargaan pada film yang diadaptasi dari karya sastra juga cukup ramai.

Masih di tahun yang sama, Film berjudul Perburuan yang diadaptasi dari novel dengan judul serupa memang kalah pamor. Garapan sutradara Richard Oh dengan pemeran utama Adipati Dolken itu tidak menyedot animo sebanyak Bumi Manusia. Kegagalan utama dari penggila karya Pram barangkali pada ekspektasi. Penonton menaruh harapan tinggi pada Richard Oh, saat tidak terpenuhi banyak yang merasa kecewa.

Beruntung, kedua film yang mengadaptasi penulis realisme sosial paling akbar sepanjang sejarah sastra Indonesia itu mendapat penghargaan prestasi. Baik Bumi Manusia maupun Perburuan keduanya nangkring dalam penghargaan Festival Film Indonesia.

Setahun sebelumnya, gubahan Pidi Baiq yang berjudul Dilan rilis dengan menyedot perhatian besar. Bahkan demam Dilan 1990 membuat anak muda keranjingan motor Honda CB dan gaya anak 90an. Tahun 2019, film kedua berjudul Dilan 1991 juga menuai banyak pujian, begitupun dengan Milea: Suara dari Dilan yang rilis tahun 2020. Namun, bagi sastrawan garis keras, karya ini mungkin lebih pantas sebagai sastra populer.

Di tahun 2020, memang tidak begitu banyak film karya sutradara Indonesia muncul ke permukaan. Terpaan covid-19 melahap sektor industri kreativitas Indonesia. Industri musik, olahraga, hingga film turut surut dalam masa sulit itu. Proses yang disebut Sapardi Djoko Damono sebagai pengubahan (baca: alih wahana) turut surut dengan adanya pandemi.

Demam filmisasi sastra kembali menyeruak pada penghujung tahun 2021. Novel karya Eka Kurniawan berjudul Seperti Dendam Rindu Harus Terbayar Tuntas, menuntaskan kerinduan penggemar film adaptasi. Sebenarnya film ini telah terencana sejak lama, namun baru berhasil digarap awal tahun 2021.

Belum tayang di layar lebar Indonesia, film garapan sutradara Edwin itu sudah menyabet Golden Leopard, hadiah utama dalam sesi kompetisi internasional dalam Festival Film Internasional Locarno. Saat rilis pada bulan desember 2021 lalu, film ini lantas mendapat sambutan hangat terutama dari penggemar Eka Kurniawan.

Realisme Magis, berhasil Edwin bawa dalam cerita sepanjang 114 menit tersebut. Penonton seolah terbawa pada suasana latar sinema tahun 80, Ajo Kawir menyulap kemagisan penonton dengan peran yang memukau. Kritik jelas masih datang, namun tuai pujian jauh melebihinya.

Pada penghujung tahun 2021, ada film menarik lain yang memasukkan karya-karya almarhum Sapardi dalam antologi puisi Hujan Bulan Juni. Film berjudul Yuni, mengisahkan seorang perempuan dengan lema feminisme. Sebaliknya, bukan terinspirasi dari karya sastra, film ini mengilhami kehadiran novel dengan judul yang sama. Dengan plow-twist yang hangat, Yuni merepresentasikan kemerdekaan hak perempuan desa dengan tengah deru modernisasi. 

Di luar negeri, mungkin kita sangat familiar dengan karya JK Rowlings dalam serial Harry Potter. Barangkali dari ranah superhero karya Stan Lee kini menjelma industri luar biasa lewat Marvel Cinematic Universe. Jangan lupakan pula sederet film yang diadaptasi dari karya sastra seperti film 1984 dari karya Orwell, atau pun Davinci Code yang diilhami karya Dan Brown dengan judul serupa.

Film Hanyalah Film

Film memang tidak sekompleks karya sastra dengan berbagai unsur pembentuk baik intrinsik maupun ekstrinsik. Tapi, melalui film karya sastra lebih mudah ditengarai dan dikenal masyarakat luar.

Meski dalam kehadirannya film yang mengadaptasi karya sastra sering mendapat kritik. Lantaran unsur yang gagal dibawakan, ketidakberhasilan sutradara dalam menyusun skrip, hingga latar yang kurang asik dipandang mata.

Film memang tidak akan membawa secara keseluruhan unsur dalam satu karya sastra. Sebab film bertugas merepresentasikan dunia imajinasi non visual, menjadi visual yang tersaji selama sekian waktu di depan mata.

Lagi lagi, Eneste pada bukunya yang rilis tahun 1991 menuliskan jika proses penggarapan novel dan film jelas dua hal berbeda. Novel merupakan ide kreasi individual dan hasil kerja dari perseorangan. Seseorang yang membawa pengalaman, pemikiran, ide, serta hal lain.

Penulis novel dengan mudah dapat saja menuliskan di atas kertas atau di depan layar komputer, simsalabim maka jadilah sebuah novel. Novel lantas melancong ke percetakan, lalu siap disajikan sebagai hidangan pada pembacanya. Namun, tidak sesederhana itu dengan pembuatan film.

Film itu kerja gotong royong! Bagus atau tidaknya film, amat bergantung pada harmonisasi kerja unit dalam proses penggarapannya. Mulai dari produser, penulis naskah skenario, sutradara, juru kamera, penata artistik, perekam suara, para pemain, serta unsur-unsur lain. Ekranisasi pada intinya, menjadi proses perubahan dari suatu yang dihasilkan secara perseorangan (baca: penulis) menjadi sesuatu yang dihasilkan secara bersama-sama (baca: gotong-royong).

Pemindahan novel ke layar putih mau tidak mau mengakibatkan timbulnya berbagai perubahan. Oleh sebab itu dapat dikatakan, ekranisasi adalah proses perubahan bisa mengalami penciutan, penambahan dan perubahan dengan sejumlah variasi.

Memfilmkan karya sastra layak jadi demam bagi sutradara maupun senias Indonesia. Kita tahu jika Indonesia begitu cekatan dalam menggarap film horor. Namun, karya sastra Indonesia yang melegenda mungkin akan mengenalkan dunia betapa kompleksnya Indonesia. Kelak, karya Eka Kurniawan berjudul Cantik Itu Luka akan difilmkan! Ini akan menjadi catatan prestise tersendiri, sebab karya Gabriel Garcia Marque berjudul One Hundred Years Of Solitude itu belum genap terfilmkan. 

Film hanyalah film, tidak perlu terlalu berekspektasi film akan menghadirkan semesta yang kompleks. Terwakilkan dengan interpretasi visual saja sebenarnya sudah alih wahana yang tak mudah dilakukan semua orang. Jadi, berhentilah menaruh harapan tinggi dari demam filmisasi karya sastra. Sebab, jika tidak kita hanya berjumpa kegirangan atau justru kekecewaan tak bermuara. Nikmati saja film, biar berjalan sebagaimana kehendak kerja-kerja gotong-royong dengan segenap kelengkapannya.

Pada akhirnya catatan Mario Vargas Llosa dalam buku Matinya Seorang Penulis Besar sangat pas untuk dikutip. Tahun 2012 Mario Vargas menulis esai berjudul Peradaban Tontonan, si penerjemahan Ronny Agustinus menuliskan dalam bahasa Indonesia menjadi begini: Film, jelas, selalu merupakan seni hiburan, diarahkan kepada publik yang besar.

Sehingga, tak pelak bila zaman kita sekarang, tunduk pada tekanan budaya dominan, yang mementingkan keluwesan di atas kecerdasan, citra di atas gagasan, humor di atas kesuraman, banalitas di atas kedalaman, dan remeh-temeh di atas keseriusan! Bagaimana dengan ekranisasi, jawaban atas itu telah tertanam dalam benak peradaban.


Dani Alifian, Mahasiswa  Universitas Islam Malang.

Posting Komentar

3 Komentar

  1. Sapardi pernah bilang ekranisasi adalah cara baru orang2 bisa menikmati sastra. Terlebih yg belum baca novelnya, sekurang2nya jadi pengen baca novelnya.

    Film hanya film. Pengharapan besar terhadap sebuah film yg diangkat dari karya sastra meski ngga salah2 juga tapi ngga bagus juga. Semestinya orang2 apalagi penikmat sastra dan film paham dan ga perlu bilang 'masih bagus novelnya ya ketimbang filmnya'. Udah jelas, film ya film. Hasil interpretasi pembuat film.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih atas insightnya yang menarik. Cadas!

      Hapus