Cerpen Kristophorus Divinanto: Dua Tukang Bangunan

Siang menjadi bising dengan suara adukan semen, pasir yang membentur saringan kawat, dan lagu campursari. Terik matahari tidak membuat Jono berhenti mengaduk-aduk semen. Supri masih bersiul sambil menyauk pasir dengan sekop, dan melemparkannya ke arah penyaring yang didirikan dekat dengan gundukan pasir. Pasir-pasir yang menembus kawat penyaringan, menciptakan gundukan pasir halus. Lagu campursari Didi Kempot terdengar dari sepiker gawai yang serak. Meskipun suaranya pecah di beberapa nada tinggi, Supri tetap memutarnya dengan volume maksimal.

Jono membawa satu ember berisi semen yang telah larut dengan pasir dan air, ke salah satu ruangan di dalam rumah. Ember semen diletakkan di dekat tumpukan kardus berisi keramik berwarna hijau. Jono membuka satu kardus dan mengambil satu buah keramik berbentuk persegi, dengan corak garis putih. Diambilnya sesauk semen sebagai perekat keramik. Jono meletakkan satu keramik secara perlahan sambil terus mengamati benang kasur yang telah dibentangkan sebelumnya. Setelah keramik terpasang, ia menekan keramik secara perlahan menggunakan gagang palu yang terbalut potongan kain. Jono menekan keramik dengan perlahan agar tinggi keramik sejajar dengan benang kasur yang membentang.

Sementara Jono meletakkan keramik-keramik selanjutnya, Supri masuk ke ruangan yang ada di sebelah ruangan tempat Jono memasang keramik. Lagu campursari menggema di seisi rumah. Suara musik dari sepiker yang lapuk semakin terdengar jelas. Gawai Supri diletakkan di dalam ember perkakas, bersama dengan tumpukan alat berdebu dan terbalut sedikit semen yang mengeras. Supri masuk dengan membawa seember semen di tangan kiri, dan satu ember berisi perkakas di tangan kanan. Ember perkakas dijatuhkan ke lantai. Ia manggut-manggut merasa puas, ketika mengamati tembok dan menyentuh permukaan tembok. Supri merasa puas karena temboknya lembap, sehingga memudahkan proses pemlesteran. Ia meraih sendok adukan, lot, ondrong dan jedhar[1], dan mulai memplester dinding. Campursari tetap melantun bersamaan dengan siulan Supri yang mengikuti irama lagu.

Owalah Jon! Tanggal merah kok masih kerja? Saking miskinnya kita ini!” teriak Jono dari ruangannya tempat memasang keramik.

Tawa Jono terdengar dari ruangan tempatnya sedang memplester dinding.

“Kalau kita nggak kerja ambil lemburan seperti ini, uang kita nggak akan cukup membayar sekolah anak!”

“Betul! Apalagi anak kita yang setelah ini mau lulus sekolah. Ambil ijazah pasti butuh banyak uang. Belum lagi membayar tunggakan-tunggakan.

Mereka berdua kembali asyik dengan pekerjaannya masing-masing. Supri dan Jono memang menjadi buah bibir yang terkenal di kalangan mandor bangunan dan jajaran para kuli. Bagi para kuli, Supri dan Jono adalah sosok yang menginspirasi. Etos kerja mereka berdua di ranah pembangunan menggema sampai ke desa seberang. Mereka selalu menjadi orang pertama yang bersedia untuk lembur, termasuk siang ini. Di saat kuli lain memanfaatkan tanggal merah untuk beristirahat, mereka berdua tetap meminta pekerjaan lembur kepada mandor. Kuli-kuli selalu mengatakan Supri dan Jono ora nduwe udel atau dianggap tidak punya rasa capek. Saking terkenalnya Supri dan Jono, tidak jarang mereka menjadi rebutan mandor-mandor yang menerima proyek pembangunan. Jam terbang mereka berdua dalam dunia kuli dianggap sudah mencapai derajat yang tertinggi. Jadwal mereka membangun selalu penuh dalam satu bulan.

Untuk urusan kemampuan, Supri dan Jono sering terlihat lebih pintar dibanding dengan sarjana-sarjana teknik sipil yang datang ke lokasi pembangunan. Kedua bintang kuli ini hanya kurang beruntung saja karena tidak bisa sekolah teknik sipil. Banyak bangunan di kota ini yang didirikan oleh tangan-tangan mereka. Pagar beringin di  tengah alun-alun, kos-kosan, bank cabang, rumah dinas kepala perusahaan, perumahan mewah, sampai terminal bus. Hampir semua bangunan di kota pernah merasakan terampilnya tangan dari Supri dan Jono.

Supri dan Jono adalah kuli yang ikhlas dan matang. Mereka tidak iri ketika rumah yang didirikan sudah jadi, dan siap ditempati. Keduanya memahami bahwa posisi mereka adalah seorang pembangun, bukan penghuni. Berbeda dari kuli-kuli lain yang terkadang masih merasa iri dan sakit hati karena merasa hanya bisa membangun rumah orang lain tanpa pernah bisa membangun rumah sendiri. Supri dan Jono berbeda. Membangun rumah di mata mereka adalah seni yang menggugah dan memuaskan nurani.

 “Jon! Ayo makan dulu! Leren!” teriak Supri dari ruangannya.

Gas! Lanjut setelah makan siang,” jawab  Jono.

Mereka berdua beranjak dari ruangan masing-masing. Tinggal satu sisi tembok yang belum diplester oleh Jono, sedangkan Supri hanya tinggal memasang satu ruas keramikKeduanya keluar dari rumah dan menuju warung nasi rames langganan. Supri memesan nasi dengan lauk sambal terong, ati ampela dengan kerupuk. Jono memesan nasi dengan lauk oseng tempe dan kacang panjang, beserta tahu bacem dan peyek.

Ratna mau kuliah?” tanya Jono.

“Iya. Daftar pesi, pesikoli, opo lah itu. Lewat jalur undangan yang pakai nilai itu. Aku suruh coba mendaftar lewat jalur itu, supaya biayanya lebih terjangkau.”

“Oh, jurusan psikologi. Nah, bagus itu. Kita pernah bangun rumahnya psikolog di RW sebelah. Yang di depan balai desa itu lho! Tiga tahun yang lalu. Suami istri psikolog semua itu. Rumahnya begitu. Luasnya minta ampun!”

Supri terdiam dengan pikiran mengawang.

“Oh iya, aku ingat. Yang garasinya ada di bawah tanah itu. Wah, boleh juga. Semoga anakku lolos dan berhasil jadi psikolog. Jadi dia bisa membangun rumah sebesar itu.”

Jono mengangguk sambil terus mengunyah makanannya.

“Kalau Sadam mau kuliah, Jon?”

“Iya. Dia juga mau kuliah. Daftar jurusan teknik sipil. Mewarisi kemampuan bapaknya,

Supri tertawa.

“Pasti kamu yang mengajari dia masuk teknik sipil, kata Supri.

“Dia awalnya mau ikut-ikut nasib kita begini. Jadi kuli setelah lulus SMA. Langsung aku marahi. Aku sudah capek cari kerja, malah cita-citanya cuma jadi kuli. Aku bekerja justru supaya dia tidak jadi kuli seperti aku,

Supri terkekeh mendengarkan sahabatnya yang bercerita dengan nada meninggi.

“Lalu?”

“Aku bilang sama Sadam, kalau mau jadi kuli, harus jadi kuli yang berpendidikan tinggi. Terus aku cerita ke dia jurusan teknik sipil. Aku tahu juga karena kita berdua sering mengobrol dengan mahasiswa magang atau mereka yang baru lulus itu. Eh, dia tertarik dan mau mendaftar jurusan itu.”

Supri kembali terkekeh. Mereka berdua kembali melanjutkan makan sampai makanan di piring masing-masing habis. Setelah keduanya membayar makanan, mereka melangkah kembali menuju area proyek. Keduanya menyalakan sebatang rokok.

“Sepertinya anak kita pacaran ya, Jon?”

Jono terkekeh, dan mengangguk.

“Iya. Aku pernah tanya ke Sadam, dan dia mengaku. Ternyata Ratna dan Sadam itu sudah pacaran sejak SMP. Anak kecil udah pacaran.

Kalau memang mereka pacaran, aku bersyukur, Jon. Kita selalu sibuk bekerja. Ditambah kita duda. Anak semata wayang kita jarang diperhatikan. Aku sendiri kadang merasa bersalah, tapi juga tidak punya banyak pilihan. Kalau aku berhenti bekerja, Ratna tidak makan, tidak bisa sekolah. Aku sempat khawatir dengan pergaulan Ratna. Tapi setelah beberapa kali aku lihat dia gandeng dengan Sadam, aku justru lega. Setidaknya kalau anakku dibuat patah hati, aku tinggal menjotosmu.”

Jono tertawa terbahak-bahak.

“Aku juga merestui, Pri. Aku selalu berpesan ke Sadam bahwa dia adalah orang yang akan mengubah sejarah dan masa depan. Bukan hanya untuk dirinya sendiri, melainkan juga mengubah hidupku, dan hidup kita juga. Banyak kegagalan kita, Pri. Kita tidak bisa kuliah. Kerja mati-matian. Sekarang kita berdua berjuang agar mereka bisa kuliah. Aku selalu berharap masa lalu kita yang buruk itu tidak akan terulang di Sadam dan Ratna. Cukup kita saja yang jadi tukang bangunan, mereka jangan.

Supri tersenyum, begitu juga dengan Jono. Mereka telah sampai lagi di area pembangunan. Matahari masih terik namun kaki mereka mantap menjejak takdir. Keduanya kembali bekerja. Supri menyelesaikan memasang keramik dan Jono menyelesaikan plesteran dinding. Lagu campursari Didi Kempot kembali dimainkan dengan volume maksimal.

***

Di sebuah kamar yang remang-remang dengan cahaya lampu akuarium sebagai satu-satunya penerangan, Ratna menangis sambil memukul punggung Sadam berkali-kali. Lagu dangdut diputar dengan volume maksimal. Sadam memeluk Ratna erat, namun Ratna masih meronta dalam tangis tanpa bisa melepaskan diri. Pelukan Sadam menjerat erat seperti halnya takdir yang harus diterima.

 Tangisan Ratna terdengar senak. Sadam terus memeluk kekasihnya yang masih saja meronta. Di tengah remang-remang yang pilu, di balik selimut dan seprai yang kusut, sebuah test pack tergeletak. Sadam mendekatkan bibirnya sedekat mungkin dengan telinga Ratna.

“Aku akan berhenti sekolah dan bekerja. Aku akan menikahimu. Sungguh. Jangan digugurkan. Ini adalah anak kita. Cucu ayah kita.” ***

 

Kutoarjo, 19 Mei 2021

 


[1]Alat-alat yang digunakan tukang bangunan untuk memplester dinding. Penamaan alat berdasarkan konteks masyarakat kecamatan Kutoarjo, kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Penamaan alat yang berbeda dapat ditemukan di masing-masing daerah.

 

Kristophorus Divinanto lahir di Cilacap. Selain menulis, kegiatan yang dilakukan sehari-hari adalah menjadi guru sekolah dasar. Memiliki hobi membaca manga. Pemilik akun Instagram @kristophorus.divinanto.

 



Posting Komentar

0 Komentar