Cerpen Reni Asih Widiyastuti: Kado dari Tuhan

Darah itu lambat laun menjelma menjadi bah luka yang kian hari semakin membuat dadaku sesak. Sejak kehadirannya, aku sering kali berkirim surat lewat nada-nada resah kepada Tuhan:

“Tuhan, apakah detak jantungku sebentar lagi akan berhenti?”

Gadis berusia 19 tahun itu sedang melamun di atas tempat tidur rumah sakit. Ia menatap jarum infus yang menghias pergelangan tangan. Sejenak lalu, seorang perawat datang, mengecek botol infus dan mengukur tekanan darahnya.

“Saya ambil sampel riaknya ya, Dik. Kalau yang ini, buat besok. Nanti biar bisa segera kita cek di laboratorium. Jadi bisa ketahuan penyakitnya apa,” ucap si perawat seraya meletakkan sebuah botol kosong sebagai tempat sampel riak di atas meja.

Ia hanya mengangguk pelan. Seolah malas rasanya merespons perkataan si perawat. Si perawat pun berlalu meninggalkannya yang masih saja membisu, sambil memandang taman rumah sakit.

“Aku benci keadaan ini! Bau obat-obatan, orang-orang berbaju putih, berbagai erangan dan tangisan, dan lain sebagainya! AKU TERAMAT BENCI!”

Mula-mula terbit gerimis dari mata yang tak disadarinya kemudian menjelma menjadi hujan. Ia meringkuk lemah. Ah, mengapa detak jam dinding terasa lebih lambat? Batinnya. Membuatnya semakin tak bisa tidur saja. Entah berapa lama ia termenung, sampai kedua matanya pun terpejam, menjeda sejenak keresahan yang sempat singgah.

Ia terbangun pagi-pagi benar. Sambil mengerjap-ngerjap mata, berdeham, membiarkan riak keluar dari kerongkongan dan menaruhnya ke dalam botol kecil, sesuai dengan instruksi dari perawat. Rasanya ingin tidur lagi, tapi matanya lebih tertarik dengan bunga-bunga di taman rumah sakit. Sembari mendorong tiang infus, ia pun beranjak keluar, lalu mulai mengamati bunga itu satu per satu.

Tak lama, seseorang menyapanya dari kejahuan. Ia senang sekali atas kehadiran orang tersebut yang akhirnya datang menemaninya. Segera dipetiknnya salah satu bunga dan menyelipkan ke dalam saku baju.

“Bu, apa benar Tuhan rutin menyiram cinta yang Dia beri buat kita? Kalau rutin, kenapa bisa layu?”

Seseorang yang dipanggil ibu itu mengelus rambutnya dengan punggung tangan yang terlihat mulai mengeriput, seraya memberikan kantong plastik berwarna hitam. Segera dibukanya untuk melihat isinya. Ah, arem-arem! Ibu memang selalu ingat kudapan kesukaanku dari dulu, batinnya. Arem-arem itu secepat kilat ia lahap. Matanya berbinar. Seakan menunjukkan betapa sedap nasi berbungkus daun pisang itu. Nasi yang di tengahnya berisi sambal goreng tahu dan kentang. Tanpa bertanya pun, ia tahu itu buatan ibunya sendiri. Sebab terasa dari isinya yang melimpah, tidak seperti di warung-warung kebanyakan.

“Kenapa kamu bisa bilang layu? Buktinya apa?”

“Ibu bisa lihat, sekarang aku sakit. Kalau Dia mencintaiku, kenapa Dia memberiku penyakit seperti ini, Bu?”

“Huss ... justru kamu sakit seperti sekarang itu tandanya Tuhan sedang cinta sekali denganmu. Setidaknya jadi pengingat, biar lebih dekat dengan-Nya. Yaitu dengan cara selalu bersyukur.”

Ia menganggut-anggut dan mencoba mencerna penjelasan dari ibu. Sejak itu, ia jadi lebih mampu menata suasana hati. Tak gampang menyalahkan Tuhan, malah justru semakin menanti bentuk cinta lain dari-Nya, atas kegigihan melawan penyakit yang sama sekali tidak pernah terlintas sedikit pun di dalam pikirannya.

Suatu hari, pukul dua dini hari, seorang perawat tiba-tiba memeriksa tensi dan mengambil sampel darahnya. Sambil bersusah payah membuka mata, sayup-sayup ia mendengar pembicaraan perawat itu dengan ibu di balik pintu.

“Bu, tolong segera kirim sampel darah ini ke laboratorium, sekalian menunggu konfirmasi ketersediaan darahnya. Soalnya, nanti kalau ternyata darah yang disediakan tidak cukup, Ibu disarankan untuk mengambil darah di PMI terdekat.”

Begitulah kira-kira percakapan mereka. Setelah itu, ia tidak mendengar apa-apa lagi. Mungkin ibu sudah melesat ke laboratorium. Dalam hati ia berdoa, semoga segalanya dimudahkan dan dilancarkan. Aamiin.

Besoknya, saat bangun matanya sudah tertumbuk pada kantong-kantong yang menggantung di tiang infus. Ah, ternyata aku sudah mendapatkan transfusi darah, batinnya. Ia melirik meja di sebelah, ada obat di sana. Itu tandanya, penyakitnya sudah berhasil terdeteksi.

Benar, saat ia menanyakan pada ibu, beliau menjelaskan kalau ia menderita tuberkulosis. Seketika tangannya terasa sedingin es. Pertanyaan mencuat tiba-tiba dan menari di kepalanya: Apakah aku mampu untuk sembuh?

Hari-hari berlalu, berbilang bulan, sampai akhirnya genap satu tahun. Setelah rutin minum obat dan kontrol, melalui hasil rontgen, ia dinyatakan sembuh oleh dokter. Katanya, paru-parunya sudah bersih. Tinggal menjaga pola makan dan menghindari hal-hal yang dapat memicu tumbuhnya virus. Ia pun menurut. Apalagi ibunya selalu setia mendampingi.

Dalam perjalanan pulang ke rumah, dengan naik Bus Rapid Transit Semarang, atau yang biasa dikenal dengan sebutan BRT, ibunya sempat bercerita. Hal itu yang semakin membuatnya percaya, bahwa bentuk cinta lain dari Tuhan adalah apa yang sudah dilakukan dan dikorbankan oleh ibu untuknya.

“Ibu sebenarnya takut saat lewat tangga itu. Tapi ibu tidak ada pilihan lain. Demi kamu pokoknya. Sampai di laboratorium, petugasnya bilang kalau tidak ada stok darah yang sesuai dengan golongan darahmu. Ibu jadi panik, lalu akhirnya berangkat ke PMI.”

Serta-merta menyembullah buliran bening dari kedua matanya. Ia memeluk ibunya sangat erat, tak peduli orang-orang memandang heran ke arah mereka berdua.

Ia pulang teriring napas kelegaan. Angin segar mendadak menepis semua kekhawatirannya selama ini. Barangkali, hidupnya di dunia hanya sebentar. Tapi tidak. Lintas di pikiran yang membuatnya terpuruk itu telah sirna. Kemuliaan hati sang ibu mampu menguatkannya, agar mau menjemput kesembuhan, yang kini ia anggap sebagai kado dari Tuhan.

Semarang,  Oktober 2021

 


Reni Asih Widiyastuti kelahiran Semarang, 17 Oktober 1990. Karya-karya alumnus SMK Muhammadiyah 1 Semarang ini telah dimuat di berbagai media, seperti: Kompas Klasika, Padang Ekspres, Solopos, Minggu Pagi, Kedaulatan Rakyat, Koran Merapi, Kabar Madura, Harian Singgalang, Harian Analisa Medan, Medan Pos, Harian Waspada Medan, Bali Post, Radar Mojokerto, Radar Bromo, Tanjungpinang Pos, Bangka Pos, Pontianak Post, Pikiran Rakyat, Majalah JAYA BAYA, Magrib.id, dan ceritanet.com. Buku tunggalnya telah terbit, yaitu Pagi untuk Sam (Stiletto Indie Book, Juni 2019). Penulis dapat dihubungi melalui email: reniasih17@gmail.com.

Posting Komentar

0 Komentar