Menjadi seorang pelukis adalah takdir. Takdir dari Yang Maha Kuasa untuk terus berkarya melalui spektrum warna. Menjadi pelukis tidak selalu idealis menjual karya fantastis dengan sentuhan bernada realistis, tetapi menjadi pelukis itu adalah suatu kebebasan. Kebebasan untuk mengekspresikan apa saja yang ada bahkan ekspresi abstrak sekalipun yang mungkin maknanya hanya dimengerti pelukisnya sendiri atau bahkan hanya tuhan yang mengerti maksudnya.
Semua orang pelukis! Semua orang sudah ikut mencampur spektrum warna!
Perkenalkan pelukis amatir sekaligus tokoh utama kita. Tjahjo namanya, seorang paruh baya yang masih saja bergulat dengan spektrum warna. Kali ini pelukis itu aneh sekali, lukisan setengah jadi sudah ditenteng sana-sini. Lukisan berlatar kehidupan hutan beserta komposisi alam semesta lainnya itu memang indah. Namun, ada yang aneh di sana, gambar pohonnya tak biasa, banyak daun di sana tapi tak ada batangnya. Mungkin menurut sebagian orang ini bukanlah lukisan presisi, banyak komponen yang tak sesuai proporsi, lukisan murahan!! Namun, bagi sang pelukis ini bukanlah lukisan biasa. Lukisan ini luar biasa, hanya orang-orang tertentu yang mengerti maksudnya!
Lantas apakah maksud dari lukisan itu?
Kenapa pohon-pohon tak presisi?
Entahlah biarkan karya ini yang menguraikannya, yang pasti Sang Pelukis mulai detik ini siap untuk publikasi lukisan!
*****
Untuk mengawali perjalanannya, pelukis itu memamerkan karyanya di suatu pameran kota. Awalnya tak ada satu pun orang yang menghiraukan keberadaan pelukis aneh itu. Kebanyakan dari pengunjung lebih tertarik dengan karya lukis yang presisi dan memiliki estetika tersendiri. Namun, setelah 2 jam berlalu akhirnya ada seorang bapak paruh baya yang kelihatan berdedikasi dilengkapi jas serta dasi dan juga dikawal oleh belasan orang yang gagah dan kekar.
“Lukisan apa ini?” tanya bapak itu kepada pelukis.
“Lukisan tentang kehidupan di hutan, Pak.” Jawab pelukis.
“Hutan? Hutan mana yang gambar pohonnya gaada batangnya?!” tanya bapak.
“Banyak hutan yang seperti itu, Pak.” Jawab pelukis.
“Dasar pelukis aneh! Simpan karya murahanmu! Jangan kau pamerkan di sini!” ujar bapak.
“Maaf, Pak! Ini bukan lukisan murahan. Hanya orang tertentu saja yang mengerti maksudnya. Pohon yang tergambar tanpa batang itu, sebenarnya ada batangnya. Hanya saja dilukis terpisah.” Pelukis membela diri.
“Dilukis terpisah? Untuk apa?” timpal salah seorang pengawal bapak.
“ Dah lah, kita pindah saja dari lapak ini!”, ucap Bapak sambil melenggang ke lapak sebelahnya.
***
Karena keberadaannya di pameran kota tidak ada yang meliriknya. Akhirnya ia pun pergi ke tepian kota. Setelah sampai di tepian kota, ia mulai memamerkan karyanya. Ia menaruh lukisannya di atas penyangga kanvas dengan posisi menghadap ke arah jalan raya, setelah itu dia duduk di sebelahnya dan menunggu pembeli yang tertarik dengan karyanya.
Satu jam – dua jam keadaannya masih sama. Banyak orang yang berseliweran tapi tidak mampir atau sekadar menanyakan lukisannya. Entah apa yang dipikirkan orang yang berseliweran ketika melirik karya pelukis itu. Mungkin mereka akan berpikiran sama dengan bapak berjas dan dasi kemarin atau mungkin mereka menganggap bahwa pelukis itu orang yang kurang waras. Entahlah terserah mereka saja, yang pasti pelukis itu akan tetap di sana sampai ada orang yang menanyakan lukisannya.
“Waw! FANTASTIS! Berapa kau hargai lukisan ini, Pak?”
Tiba-tiba, pemuda bertopi flat cap warna hijau juga dilengkapi dengan kancing yang menyatukan brim dan crown membuyarkan lamunannya. Mungkin pemuda berparas rupawan itu melihat sisi lain dari lukisan pelukis aneh itu.
“Maaf Tuan muda, sebelumnya bolehkah saya bertanya?”, tanya pelukis.
“Yeah. No prob!”, jawab pemuda.
“Apakah anda seorang seniman? Lebih tepatnya pelukis?”
“Yups. That’s right!” jawab pemuda sekenanya.
“Maaf Tuan saya tidak menjual lukisan ini kepada pelukis.” Ujar pelukis aneh.
“Why? What’s the problem? Saya bisa membayar bapak 2x lipat!”.
“Bukan begitu, Mas eh kang eh Mr Saya hanya menjual lukisan ini dengan orang yang membutuhkannya. Saya rasa Anda tidak terlalu membutuhkannya dan lagi pula Anda seorang seniman, seharusnya Anda bukan membeli lukisan saya tetapi Anda menduplikasi lukisan saya.” Tutur pelukis aneh.
“Kenapa? Apa ada yang salah? Ada apa dengan lukisan ini? Siapa yang pantas membeli lukisan ini? Dan kenapa saya harus menduplikasi lukisan ini? Bukankah plagiasi dilarang dalam seni?”, tanya pemuda bertopi flat cap.
“Kalau Anda mau tahu jawabannya, mending ikuti saya saja”, jawab pelukis.
***
Setelah perdebatan panjang hari itu, akhirnya seniman muda itu pun mengikuti langkah Pelukis aneh. Ketika di perjalanan tak ada sepatah kata pun yang mereka diskusikan, mereka hanya diam-diam saja. Untuk seniman muda keganjilan itu menyisakan tanya yang luar biasa besarnya. mengapa yang tak kunjung juga bertemu dengan “karena…” dan malah kata mengapa itu makin banyak-makin kusut-tak ada benang merah pengurainya. Memang sesekali seniman muda menanyakan sesuatu kepada pelukis aneh itu, namun lagi-lagi pelukis aneh itu hanya menjawab, “ikuti saja langkahku!”.
Setelah perjalanan yang begitu panjang. Sampailah mereka ke sebuah hutan yang sangat asri dan indah, namun rupanya hutan itu tengah dikebiri habis-habisan kalau kata orang sekitar, “katanya mau membuka pabrik di area ini”.
“Pak, kenapa kita malah ke sini! Apa yang akan bapak dapatkan di sini?”, tanya seniman muda.
Pelukis aneh itu malah tersenyum kepada seniman muda sambil meneruskan langkah kakinya tanpa menjawab pertanyaan seniman itu. Bagai kerbau dicocok hidungnya, seniman muda itu pun membuntuti pelukis aneh itu.
“I’m sorry sir. Please answer my question!”, tanya seniman muda sekali lagi.
“Hahaha. Wahai anak muda, bersabarlah dulu. Habis ini kita akan kedatangan tamu luar biasa!”, jawab pelukis dengan gaya slengehannya.
“Tapi siapa yang mau bertamu di tengah hutan yang rusak ini?”, tanya seniman muda.
“Waw! Lukisan yang indah! Berapa harganya, Pak?”
Seorang mandor tiba-tiba mengejutkan mereka. Mandor itu memang penyuka karya seni, terlebih lukisan yang bernada aneh. Mungkin sebagian orang akan menganggapnya aneh juga, tapi ia percaya dalam keanehan suatu karya selalu ada pesan tersembunyi di dalamnya.
“Hei, Pak Mandor! Ngapain Anda di situ!”
Rupanya Pak Mandor itu tidak jalan sendirian, di sampingnya ada bapak berjas dan berdasi yang dulu arogan mengatakan lukisan pelukis aneh itu murahan. Karena ia penasaran ia pun mendekati Pak Mandor itu.
“Oh ini! Lukisan aneh dan murahan yang dipamerkan di pameran kota itu ya!”
“Ah bapak yang kemarin itu ya. Yang menilai sesuatu berdasarkan penampakan fisiknya saja. Perkenalkan nama saya Tjahjo, saya adalah seorang pelukis.” Sapa Sang Pelukis.
“Saya senang bisa bertemu Bapak di sini. Oh ya pak, sebenarnya lukisan saya bukanlah lukisan aneh, hanya saja butuh penalaran ekstra tinggi untuk memahaminya. Saya memang sengaja melukis bentuk pohonnya kurang presisi.” Tambah sang Pelukis memulai pembicaraan.
“Bapak lihat kan di depan bapak. Hutan yang dulunya indah dipenuhi pepohonan sekarang hanya tersisa akar saja. Lukisan ini sengaja saya buat begini karena bapak yang sudah melukis batang pohonnya di dunia nyata. Saya hanya menggambar apa yang bapak belum gambar saja. Jadi di sini yang sebenarnya jadi pelukis aneh adalah Bapak, bukan saya!”, terang pelukis ketus.
“Saya hibahkan lukisan ini untuk Bapak! Semoga bermanfaat!”
Setelah menghibahkan lukisan hutan itu kepada orang yang berhak, akhirnya pelukis dan seniman itu pun pergi meninggalkan hutan yang digadang-gadang akan menjadi “pabrik” tersebut. Dan akhirnya seniman muda itu pun mengetahui maksud dari menduplikasi gambaran pelukis aneh itu.
Aulia Nurrohmah, seorang remaja yang lahir di Surakarta, 13 April 2003. Sekarang ia adalah maba FMIPA di salah satu universitas negeri Surakarta. Pada tahun 2020 kemarin buku pertamanya yang berjudul “Sepucuk Surat untuk Ali dan Fatima” released. Beberapa karyanya juga pernah dimuat di beberapa media, seperti, solopos dan majalah Al-abidin. Dapat dihubungi lewat Instagram “@nurrohmah6” atau blog https://about-self-love.blogspot.com/?m=1.
0 Komentar