Cerpen E. Widiantoro: Mural


Selama lima tahun berdiam di Pontianak, aku tak pernah pulang ke Tanjung Nipah. Maklum. Waktuku tak banyak. Senin-Sabtu  kerja di mall. Libur hari Minggu aku benar-benar  istirahat. Tak pergi ke mana-mana.

Pekan kemarin tak dapat lagi kutahan rindu hendak ke Tanjung Nipah, kampung tempatku lahir dan dibesarkan oleh Pakde Tukijan dan keluarga sampai lulus madrasah aliyah. Ibu wafat satu bulan setelah melahirkan aku dan bapak kabur entah  ke mana. Di rumah Pakde Tukijan pula aku menginap selama dapat libur cuti lima hari.

Pukul tujuh pagi, berjalanlah aku dari rumah Pakde Tukijan hendak ke pasar. Mungkin di sana masih ada yang jual gethuk lindri, dadar gulung, naga sari, lemet ubi, lemper atau arem-arem kesukaanku semasa kecil dulu. Di kiri kanan jalan kusaksikan deretan pohon kelapa. Semak belukar. Rumah-rumah warga yang pintunya terbuka. Beberapa lelaki telah bersiap dengan parang di pinggang, ber-Honda menuju ke kebun kelapa.

Langkahku sampai di pertigaan. Jalan kiri ke pasar, belok  kanan ke ibu kota kecamatan. Di jalan menuju ibu kota kecamatan, rumah pertama sebelah kanan, seorang lelaki muda telanjang dada bercelana panjang selutut dalam pondok beratap daun nipah asyik  mengupas buah kelapa dengan suwik (alat pengupas kelapa dari besi pipih yang lancip dan tajam mirip ujung tombak, bertiang kayu pendek ditancapkan dalam tanah). Buah kelapa yang telah dikupas diletakkannya menumpuk dekat kaki kiri. Di belakangnya tumpukan  sabut kelapa dibiarkan tinggi hampir dua meter.

Di depan pondok si lelaki muda, di seberang jalan beraspal mulus,  sisi kiri jalan ke ibu kecamatan berdiri  rumah lawas tanpa cat yang sepi tak berpenghuni.  Pagarnya tembok tinggi satu meter, panjang kira-kira sebelas meter. Di pagar tembok itulah ada mural bergambar wajah Pakde Tukijan dan tulisan besar mirip pantun singkat;  ada virus jangan keluar, di rumah terus  bisa modhar!

Mural itu kupotret dengan kamera ponsel lantas balik kanan, bergegas pulang ke rumah Pakde Tukijan yang sekarang jadi kepala kampung Tanjung Nipah.

Pakde Tukijan  sedang memandikan burung Cucak Rowo kesayangannya dalam sangkar bambu dengan alat semprot kecil tertawa ringan ketika kuberitahu soal mural. Kutunjukkan gambar hasil jepretanku tersimpan di galeri ponsel. 

“Biarlah, Pram. Risiko jadi pejabat publik, sebagai pemimpin ya gini. Harus siap menerima kritik,” katanya menoleh.  Lelaki berambut gondrong sebahu buru-buru turun dari sepeda motornya parkir di halaman. Lelaki itu pun menunjukkan layar ponsel di tangan. Katanya di dekat pasar ada mural bergambar wajah Pakde Tukijan kedua matanya ditutup, di bawahnya tertulis; aku lapar, hilang nalar bikin onar! Wajah Pakde Tukijan berubah merah.

“Pagi ini saya sudah menerima tujuh laporan tentang mural. Hhmmm ... “ katanya menarik napas panjang, mengembuskannya perlahan. “Ini pasti ada yang ndak beres!”

Kita harus gimana, Pakde?” tanya lelaki berjaket hitam. Kucel. Mata merah. Wajahnya keruh belum mandi.

“Segera cari tahu siapa si pembuat mural! Aku ingin lihat seperti apa orang yang telah melukis wajahku dengan cara begitu,” kata Pakde Tukijan berhenti memandikan burung Cucak Rowo yang berlompatan dalam sangkar bambu, dibiarkan berada di atas kursi kayu sebelum nanti digantung tinggi di sudut teras. “Beri dia  pelajaran biar nyampe  ke Puskesmas!”

“Siap!” jawab lelaki itu berdiri lantas pergi. Sewaktu lewat di depanku sedang duduk tercium aroma rokok bercampur bau apek dari jaketnya. Perutku seketika terserang rasa mual!

Lelaki itu pergi, ponsel Pakde Tukijan berdering. Seseorang  menghubunginya. Pakde Tukijan menerima panggilan itu, mendekatkan ponsel ke telinga kiri.

“Hallo. O, soal mural ya? Okey, gini. Sebagai pemimpin di kampung ini saya menghargai setiap kritik. Silakan saja. Ndak apa-apa kalo ada yang kritik pake mural! Anda wartawan dari mana? O, Karimata Post.”

Pakde Tukijan diam sesaat. Ponsel berpindah ke telinga kanan. Jemari kirinya menggaruk-garuk kepala yang rambutnya dicat pirang mirip bule.

“Semua orang bebas berpendapat tentu dengan cara-cara yang konstitusional. Mural jangan ditakuti tetapi harus diapresiasi sebagai bentuk karya seni.” kata Pakde Tukijan diam sesaat lantas bersuara lagi;

“Soal siapa yang buat muralnya jangan tanya saya. Wong saya juga ndak tau. Biar saja. Di era keterbukaan dan demokratisasi seperti sekarang orang mau kritik masak ndak boleh? Yaaa sampeyan mau ngobrol  di rumah saya boleh, di kantor monggo, di warung kopi juga ayo,” suara Pakde Tukijan menutup pembicaraan. Ponsel diletakkannya di meja.

“Wartawan, Pakde?” tanyaku.

“Yaa, biasalah. Untuk berita besok katanya. Soal mural udah rame!” jawab Pakde Tukijan duduk di depanku.

“Pakde ndak marah?”

“Hhmmm,” Pakde geleng-geleng kepala,  menyungging senyum tipis. Ponselnya berdering lagi.

“Ya, hallo,” sambut Pakde Tukijan menatapku. “Tiga juta? Lima juta? Oke, nanti saya transfer. Ingat, kalo sampe ada apa-apa, jangan pernah bawa-bawa nama saya,’  Pakde Tukijan menutup ponsel, melipat kedua tangan di depan dada.

Sebuah mobil Kijang lawas berhenti di muka rumah. Dari dalam mobil, turun lelaki kurus berkemeja batik lengan pendek corak bunga-bunga kecil warna biru muda dipadu celana cokelat tua.

“Pakde, seseorang tak dikenal telah menikam  si Kliwon di pasar.  Sekarang dia dibawa keluarga ke Puskesmas,” katanya memberi laporan. Dahi Pakde Tukijan berkerut.

“Kliwon yang mana?” tanyanya.

“Pelukis kita, Pakde. Keponakan saya yang jago bikin mural,” jawab si lelaki kurus.

“Innalillahi! Gimana keadaannya sekarang?”

“Kritis! Mungkin karena banyak darah keluar,”

“Pak Sekdes cepat proses bantuan biaya dari kas kita yang pasti diperlukan. Setelah rapat dengan Pak Camat nanti siang saya akan menjenguknya,” kata Pakde Tukijan.

“Siap, Pakde. Matur nuwun. Saya segera ke kantor dulu baru berangkat  ke Puskesmas,” pamit lelaki kurus. Pakde  Tukijan menyungging senyum mengangguk diam. Pun aku!

Seketika muncul dalam benakku lelaki gondrong yang kucel jaketnya bau rokok bercampur apek ndak ketulungan. Dalam hatiku bertanya-tanya apakah dia yang begitu cepat melaksanakan tugas dari Pakde Tukijan sehingga ada korban luka parah harus dibawa ke Puskesmas? Bukankah tadi kudengar Pakde Tukijan maunya begitu?

Ya, Allah, Gusti! Tak mau tahu dan terlibat lebih jauh soal Pakde Tukijan, mural dan lelaki kucel itu kuputuskan segera pamit keluar dari Tanjung Nipah kembali ke Pontianak meski libur cuti baru dua hari.

Kalimas, 23 Oktober 2021.

*****

 E. Widiantoro

Posting Komentar

0 Komentar