Cerpen Ramli Lahaping: Nama Lapangan


Pada satu pagi, empat tahun yang lalu, tiga orang memancang dua tiang besi di tepi lapangan. Mereka lalu memasang plang papan berukuran 2x1 meter, yang bertuliskan "Lapangan Jamal Katom". Dari balik celah dinding kayu rumahnya, Hasim memandang pilu. Batinnya tidak bisa menerima bahwa lapangan persatuan warga dusun diklaim jadi kepunyaan seseorang. 

Tetapi, Hasim diam saja atas ketidaksetujuannya. Ia merasa tak punya daya untuk menentang pemasangan papan nama itu. Bagaimanapun, para warga kadung percaya bahwa Jamal adalah penyumbang utama dalam pelepasan lahan untuk lapangan tersebut. Karena itu, memprotes berarti melawan pembenaran banyak orang yang telanjur salah.

Perkara penamaan lapangan itu bisa terjadi akibat adanya penyumbang misterius dalam proses pembelian lahan. Sang penyumbang hanya menitipkan identitas samarannya saat menyerahkan sumbangan. Tak ada yang tahu sosok itu, kecuali ketua panitia pelepasan lahan, atau Hasim sendiri yang sesungguhnya merupakan sang dermawan tersebut. 

Pada waktu kemudian, keadaan makin pelik, sebab masyarakat tak lagi punya celah untuk mengetahui kalau Hasim, sang imam dusun, adalah sang penyumbang terbesar. Itu karena sang ketua panitia proyek meninggal tanpa membuka identitas Hasim sebagai donator utama, sebagaimana permintaan Hasim sendiri. 

"Aku hanya meminta agar kau tidak membocorkan bahwa aku telah menyumbang," pinta Hasim, kala itu, setelah memberikan seamplop uang.

Sang ketua panitia yang begitu terheran, akhirnya jadi kelimpungan. "Bagaimana jika ada orang yang bertanya? Apa yang harus kujawabkan kepada mereka?"

"Katakan saja kalau penyumbangnya adalah Hamba Allah," jawab Hasim. 

Sang ketua panitia lantas mengangguk-angguk menyanggupi. 

Hasim memang ikhlas berkorban untuk fasilitas umum tersebut. Ia sama sekali tak berkehendak untuk menodai kerelaannya dengan menyampaikan kenyataan. Karena itulah, ia tak ingin emosional dalam menyikapi pengakuan orang lain sebagai sosok penyumbang terbesar itu, sebab ia bisa saja tersulut amarah dan membongkar rahasia ketulusannya sendiri. 

Sumbangan Hasim yang tanpa pamrih, memang didasari oleh niat yang mulia. Sebagai seorang pensiunan guru agama di sebuah SMA, ia merasa sangat prihatin menyaksikan tingkah liar anak-anak muda di sekitar rumahnya akibat lingkungan pergaulan yang buruk. Mereka kerap mabuk-mabukan, berkelahi, berbuat onar, atau bermain layar ponsel tanpa batas waktu. 

Sebagai pendidik, ia pun membaca akar masalah kebobrokan para anak muda tersebut. Ia menaksir bahwa mereka cuma tidak punya ruang untuk mengekspresikan semangat muda mereka secara positif, sehingga mereka melampiaskannya ke dalam hal-hal yang negatif. Karena itu, ia berpandangan bahwa keberadaan lapangan olahraga adalah salah satu solusi yang jitu. 

Akhirnya, Hasim menginisiasi pengadaan lapangan dusun, kemudian menyumbangkan sebagian dari uang tabungannya untuk pengadaan lahan. Ia melakukannya demi kebaikan dan masa depan generasi muda di lingkungannya. Ia memasrahkannya demi kepentingan umum, tanpa mengharapkan apa-apa selain limpahan kebaikan dari Tuhan. 

Tetapi, keikhlasan Hasim akhirnya terusik setelah Jamal Katom, sang mantan narapidana kasus pencurian di pulau seberang, tiba-tiba mengaku sebagai sang penyumbang misterius. Pengakuannya itu terjadi pada satu sore, ketika anak-anak sedang bermain sepak bola. Kala itu, ia emosi setelah menyaksikan anaknya yang bertubuh gemuk dikucilkan dan tidak dimainkan. 

"He, masukkan anakku!" bentak Jamal kepada sejumlah anak-anak di dalam lapangan. "Kalian jangan macam-macam. Aku dan anakku punya hak lebih di lapangan ini. Akulah yang telah menyumbang uang sebanyak dua puluh lima juta rupiah itu, yang merupakan setengah dari jumlah urunan orang tua kalian."

Sontak, sekumpulan anak-anak tersebut terdiam ketakutan, sedang beberapa pemuda di pinggir lapangan jadi terheran dan kagok. 

"Camkan baik-baik. Kalau kalian tidak memainkan anakku, maka aku akan menarik kembali sumbanganku itu, dan kalian akan kehilangan lapangan ini," ancam Jamal. 

Seketika, mereka semua kehilangan nyali untuk menentang, bahkan untuk sekadar menanggapi. Dengan cepat, seorang anak keluar lapangan, dan anak Jamal lantas turut bermain. 

Pada hari itu juga, Hasim kemudian mendengar cerita perihal pengakuan Jamal dari cucunya. Ia pun tak habis pikir dan jadi berat hati menerima kesaksian palsu tersebut. Tetapi hari demi hari, ia tetap berkeras menjaga keikhlasannya dengan tidak menyampaikan kenyataan yang sesungguhnya. Sampai akhirnya, para warga membenarkan dan meyakini pengakuan Jamal. 

Kini, Hasim terus memendam kekalutannya. Ia tentu tak rela kebohongan Jamal terus menjadi kepercayaan warga. Tetapi ia bingung sendiri, sebab ia tak ingin juga membocorkan rahasianya. Padahal di sisi lain, Jamal sepertinya tidak mungkin lagi mengakui kedustaannya, meski ia telah bertobat sekali pun, sebab ia tengah lumpuh terserang strok.

Di tengah jalan buntu, Hasim memasrahkan saja persoalan itu kepada Tuhan. 

Sampai akhirnya, harapan Hasim atas pengakuan Jamal, berada di tubir kemustahilan. Ia tahu bahwa Jamal tampak makin mendekati ajalnya akibat serangan beragam penyakit. Ia bahkan sempat menjenguk duda beranak satu yang sekian lama hidup sebagai tukang bangunan itu. Tetapi ia tak memperoleh keterangan apa-apa selain tanda-tanda penyesalan pada raut wajah sang pengaku-aku yang tak lagi mampu membuka mata dan mulut. 

Dan akhirnya, hari ini, tiga hari sepeninggal Jamal, Hasim menyaksikan keanehan. Dari balik celah dinding kayu rumahnya, ia melihat putra Jamal beserta dua orang temannya tengah berusaha mencabut papan nama lapangan.

Hasim lantas menghampiri mereka. "Kenapa dibongkar, Nak?"

Anak Jamal kemudian tersenyum segan. "Ini wasiat ayahku sebelum meninggal, Kek."

Hasim pun terenyuh atas pemahamannya.***

 

Ramli Lahaping. Kelahiran Gandang Batu, Kabupaten Luwu. Berdomisili di Kota Makassar. Menulis di blog pribadi (sarubanglahaping.blogspot.com). Bisa dihubungi melalui Instagram (@ramlilahaping).


Posting Komentar

0 Komentar