Esai Chubbi Syauqi: Menyoal Mahasiswa Berambut Gondrong

Rambut bagi manusia memiliki peranan penting dalam sejarah kehidupan. Rambut tak hanya berguna sebagai pelindung sekujur tubuh dari panas, dingin, atau berbagai hal yang dapat melukai,  melainkan juga berdampak pada estetika. Oleh karenanya, manusia acap kali menjadikan rambut sebagai mahkota. Saya sendiri adalah manusia yang menganggap rambut bak mahkota. Ia mesti dijaga, dirawat serta diruwat. Rambut juga menjadi anasir visual kompleks, di mana model penampilannya memberikan citra positif atau negatif. Umumnya rambut perempuan akan identik dengan panjang, sedang rambut laki-laki identik dengan rambut pendek. Apabila hal ini berkebalikan, maka akan muncul stigma negatif. Sebagaimana contoh, perempuan yang berambut pendek, ia akan distereotip sebagai perempuan yang kurang baik (jalang), tidak cantik, bahkan tidak sopan. Lalu, jika laki-laki yang memiliki rambut panjang (baca: gondrong) maka akan distereotip sebagai laki-laki yang susah diatur, tidak disiplin, hingga dicap sebagai kriminal.

Stererotip atau stigma mengenai rambut bagi laki-laki maupun perempuan tidak lepas dari persoalan sejarah yang melingkupinya. Usut punya usut, perbedaan rambut laki-laki dan perempuan sudah ada sejak zaman Romawi Kuno dan Yunani Kuno. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Kurt Sten dalam bukunya “Hair: a Human History”,  bahwa rambut menjadi citra seseorang. Ia memiliki peran penting serta menjadi penanda jenis kelamin, agama, kekuasaan, hingga kondisi kesehatan seseorang. Menurut Kurt Sten, perempuan dibiarkan berambut panjang agar terlihat sehat, sekaligus menjadi penanda status sosial. Sedangkan laki-laki, mereka memilih berambut pendek karena bekerja di dunia militer. Di Indonesia, gaya rambut gondrong memiliki dinamikanya sendiri dalam sejarah. Pada zaman kerajaan semacam Majapahit dulu, masyarakat Nusantara tak membedakan panjangnya rambut bagi laki-laki atau perempuan. Hal ini dapat kita temui di sejumlah buku, film kolosal, patung arca dan sebagainya.

Kemudian, bila menengok abad ke-18an, tepatnya di Kasultanan Yogyakarta. Rambut panjang (gondrong) laki-laki menjadi penanda status kedudukan yang tinggi (ningrat). Fakta ini saya jumpai dalam buku “Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro, 1785-1855”  (2014) karya Peter Carey. Dikisahkan bahwa Pangeran Diponegoro ketika dirinya ingin membaur dengan rakyat (wong cilik), ia mengaburkan segala identitas keningratannya. Salah satunya adalah dengan memotong rambutnya yang gondrong, karena gondrong menjadi simbol keningratan pada saat itu. Rambut gondrong mulai mendapat stigma negatif, seturut dengan kedatangan pasukan kolonial menduduki Indonesia. Namun, hal itu belum berdampak pada anasir yang serius. Karena masih ada tokoh pahlawan, tokoh kerajaan, tokoh masyarakat yang memiliki rambut gondrong.

Pada masa Orde Lama, laki-laki berambut gondrong dicap kebarat-baratan. Sehingga Sang Putra Fajar mengklaim bahwa laki-laki yang gondrong memiliki sifat anti revolusioner. Anasir rambut gondrong kian memuncak lebih tepatnya di masa Orde Baru, di zaman itu muncul larangan anak muda berambut gondrong. Orang-orang yang berambut gondrong kala itu diganjar tindakan keji dari pemerintah. Dalam Koran Kompas 2 oktober 1973 dengan judul “Semula Kita Senang dengan Situasi Akhir2 Ini” hal itu bermula dari ungkapan Pangkopkamtib Jenderal Sumitro di TVRI yang mengatakan bahwa rambut gondrong membuat pemuda menjadi onverschillig alias acuh tak acuh, wacana tersebut seakan menjadi gong atau tanda bahwa kebijakan pelarangan rambut gondrong telah disahkan. Aparat Negara mulai melakukan razia di jalan terhadap pemuda berambut gondrong.

Dalam buku Dilarang Gondrong! Praktik Kekuasaan Orde Baru Terhadap Anak Muda 1970an, karya Aria Wiratma Yudhistira berhasil merangkum persoalan yang terjadi masa itu. Kekhawatiran pemerintah Orde Baru terhadap rambut gondrong di antaranya adalah membasmi virus komunisme serta membendung budaya hippies yang tengah melanda dunia. Di sisi lain, anak muda yang berambut gondrong kerap melakukan kritik terhadap pemerintah. Boleh dikatakan, bahwa pilihan rambut gondrong menjadi semacam tanda perlawanan terhadap pemerintah. Begitulah, hingga dapat kita saksikan gerakan mahasiswa 1998 yang berhasil menjatuhkan Soeharto, aktivis mahasiswa banyak berambut gondrong.

Percaya atau tidak?  3 dari 10 mahasiswa memiliki keinginan untuk gondrong saat kuliah. Ada berbagai alasan yang membuat mahasiswa menginginkan gondrong yakni, mulai dari bosan dengan rambut pendek, biar dikira anak nyeni atau nyastra yang lengkap dengan totebag dengan quotes ala anak anak indie atau biar dikira anak aktivis. Saya sendiri merupakan mahasiswa yang dulu pernah gondrong selama 2 tahun, alasannya cukup masuk akal, karena saya menjadi aktivis dengan bergabung di HMI (Himpunan Mahasiswa Islam). Di sisi lain, ada berbagai dorongan yang membuat saya kekeh salah satunya ucapan Cak Nun dalam kanal Youtube yang saya tonton, Lontarannya berupa “Lanang ora brengosan, ora gondrong, ora kumisan, ora ngrokok, ora ngombe kopi, njur ngopo kowe dadi wong lanang ”. Kalau kata anak-anak aktivis, gondrong itu sebagai perlawanan stigma negatif, namun bagi saya hal yang patut dilawan yakni ketombe yang terus beranak pinak hingga rasa gatal yang tak berkesudahan karena saya cenderung kurang merawat rambut, saya biarkan dia tumbuh secara natural dan membentuk ekosistem. Memiliki rambut gondrong itu riweuhnya minta ampun, tiap hari harus keramas dan nunggu keringnya itu yang malas, kalau panas dikit gak ada AC langsung keringatan dan rasa gatal-gatal menggeliat terus menyiksa.

Saya adalah tipikal gondrongers tanpa kuncir (ikat rambut), karena kuncir membuat jidat saya terlihat seperti jidat ikan lou han. Ya, ikan hias air tawar yang memiliki keunikan jenong di dahinya hehe. Namun beberapa teman saya justru merasa riweuh dengan rambut yang awut-awutan, ada yang menawarkan sisir bahkan ada yang sengaja memberi karet gelang untuk rambut saya. Menjadi mahasiwa gondrong saat kuliah banyak deritanya. Salah satunya menjadi pusat perhatian, di dalam kelas saya sering diminta duduk di bangku depan ketika kelas dimulai, “Ayo mas yang gondrong duduk di depan” . Kadang menjadi bahan pelampiasan oleh  dosen yang tengah memberikan materi “Coba mas yang gondrong memberi tanggapan ke kelompok presentasi” dan lain sebagainya. Bahkan, gara-gara rambut panjang saya hampir dikeluarkan oleh dosen yang tengah mengisi kelas. Kadang pula saya risih dengan gombalan-gombalan dari teman hingga dosen yang mengatakan “Kamu lebih ganteng dengan rambut pendek dan rapi”.

Berbagai hal diskriminatif terus menghampiri saya, hingga pada akhirnya saya terpaksa harus memotong rambut saya. Hal ini dilatarbelakangi oleh tahapan administrasi seleksi penerimaan beasiswa. Pada tahap wawancara, pihak pemberi beasiswa mengharuskan saya untuk memotong rambut saya. Apa boleh buat, akhirnya saya sepakat untuk mencukur rambut saya. Refleksi dari pengalaman saya ini mempertegas bahwa mentalitas Orde Baru masih terus dilanggengkan hingga hari ini. Ada banyak orang yang beranggapan, mereka yang memelihara rambut gondrong sebagai tipikal manusia yang tak mau diatur, bebal, dan sering sekali disebut, tidak mengenal sopan santun. Tidak mengherankan, dalam film-film borjuis para penjahat digambarkan dengan rambut gondrong, memakai kacamata hitam, dan bertatto. Ya memang stigma itulah yang melekat pada gondrongers.

Para dosen yang terhormat, terlalu gegabah bila mengaitkan rambut gondrong dengan kemampuan berpikir (kecerdasaan), moral dan proses belajar seseorang. Bahkan, dunia sains pun mengamini bahwa tidak ada korelasi rambut panjang terhadap kecerdasaan seseorang. Banyak pula manusia-manusia yang gondrong tetapi memiliki otak yang encer, sebut saja Einstein, Newton dan lainnya. Apabila dunia pendidikan menganggap rambut gondrong identik citra buruk, seperti kriminal. Lalu, apakah dengan berambut pendek menjamin citra baik. Coba lihatlah realitanya, bukankah para koruptor yang memiliki pendidikan tinggi berambut pendek justru bertindak sangat kriminal.

Pada hakikatnya ukuran moralitas mahasiswa bagian dari civitas akademika bukan semata dilihat dari penampilan fisiknya, melainkan pengetahuan fundamentalnya. Sebagaimana Paulo Freire, pendidikan haruslah berorientasi untuk membebaskan manusia dari kungkungan rasa takut dan tertekan akibat otoritas kekuasaanya (penindasan). Konsep pendidikan Paulo Freire, secara ideal mestinya diterapkan di Indonesia, agar menyelesaikan segala bentuk ketimpangan sistem pendidikan kita, baik secara teoritik maupun praktik di lapangan.

 

Chubbi Syauqi lahir di Banyumas, 1 Maret 2000. Dia tercatat sebagai Mahasiswa Jurusan Tarbiyah, Prodi Manajemen Pendidikan Islam UIN Prof KH Saifuddin Zuhri Purwokerto. Dia tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) serta terdaftar sebagai anggota Sekolah Kepenulisan Sastra Peradaban (SKSP) Purwokerto.

Posting Komentar

0 Komentar