Banjir Malam Imlek
seusai malam pecah berhamburan
menghalau bintang hingga tunggang langgang
tak ada roh-roh jahat pemakan sheng qi
seperti cerita masa kanak-kanak
yang ada hanya mendung terlalu murung.
cahaya warna warni, bau mesiu, asap
dan sisa derai tawa terbungkus lampion
nyalanya telah padam.
jalan menyembunyikan tapak singa dan jejak naga
pada lumpur yang dikirim jauh dari hulu.
"ambilkan cahaya itu, Ma"
rajuk bocah bercheongsam merah
ibunya sibuk menghalau sisa muntah
dari sungai yang tak mampu menampung kesedihan.
dia ingin memasukkan lampion ke dalam
amplop pembungkus surat ayah pernah
dikirim dari musim dan negeri entah
sebagai angpau yang tak beralamat.
hujan kemalaman, sepertinya kelaparan
hingga melahap semua hidangan keceriaan
yang telah susah payah dikumpulkan
lalu mereka berdua buru-buru meniupi awan
berarak-arak di langit mimpi.
Karawang, 2022
Kacamata Ibu
jangan percaya pada kedua mata itu,
ibu.
mata yang pandai berpura-pura
seakan mulai lamur lalu menyalahkan umur
membuat kabur setiap bayang benda dan warna.
mata yang tiba-tiba terkantuk begitu saja
terantuk bilangan usia.
lihatlah linangan itu
bagaimana bisa menetes begitu saja
tanpa menangis?
percayalah padaku yang terus menatih arahmu.
tetap membacakan tanda dan cerita
meski kau jauh berpeluk lelah dan lelap.
rela meminjamkan beningku
untuk berkaca
menampung tiap tetes lelehan itu
untuk membasuh debu.
untukmu, ku akan tetap
erat berpegang pangkal telinga
meski sebatang hidung
yang sok merasa mancung
terus berusaha menggelincirkanku.
ibu,
ijinkan aku menjadi mata
untukmu.
Karawang, 2022
Sikat Gigi Ibu
di bibir pantaimu aku menunggu
gigi-gigi putih yang dulu berbaris rapi
kini tersapu ombak satu-persatu.
kubayangkan gerai rambutku
melembut di lautan mulut
menggelitik pipi gusi hingga bersemu merah.
menyapu secuil makanan yang suka
main petak umpet di antara geligi
-menghindar dari jilat lidah-
hingga tenggelam dalam ludah.
namun deraiku akan menjelma ombak
menggempur karang congkak
lebur larut dalam riak.
kuhalau kuman yang menyusup diam-diam
lalu bergelayut menyayat
batang tenggorokan hingga meradang.
di bibir pantaimu masih menunggu
betapa tubuh merindu erat genggammu,
namun engkau enggan menyentuhku.
membuat gigi dan gusi itu berselisih
tentang siapa yang terlampau malas bebersih.
karang jahat serupa penjajah
menggusur dan menggeser hingga
gigi demi gigi rela mengalah
tanggal satu demi satu, pasrah.
kali ini ijinkan aku tetap setia
mengunyah setiap
butir makanan untukmu,
ibu.
Karawang, 2022
Winarni Dwi Lestari, lahir di Tuban, kini tinggal di Karawang, Jawa Barat. Saat ini menekuni usaha property. Studi terakhir Sarjana Univ Telkom. Puisi pernah dimuat di media cetak maupun online. Pecinta puisi dan masih terus belajar menulis puisi.
0 Komentar