Vania Kharizma: Habituasi Belaka dan Puisi Lainnya


Habituasi Belaka

kita tak pernah mengenal benar mengapa
blokade mengimpit ruas aspal yang lebarnya
tak seberapa ketimbang nganga kantuk si
tukang asongan
atau bakul jahe gepuk yang hobi begadang,
mengetuk-ketuk mangkuk dengan stainless steel
menjadi sebuah sebab aku sukar terpejam
dan cuma leha-leha di sofa, melahirkan sorotan
banyak-banyak di Instagram
memancing manusia-manusia malam
untuk ia jadikan tumbal penunggu pagi

tatkala tiba rawi merogoh antariksa
di mana harap gemar bergelantung di awan
dan bintang yang bersusah-payah memikul
impian berlaksa-laksa manusia
tiba jua hari yang genap melahirkan teka-teki
setiap piring yang terisi pasi sebuah nasi
akan sebangku pula pada sebuah enigma

kita tak pernah tahu jikalau
apa yang kita tunaikan makanan, atau racun
kita membayar racun cuma hendak melariskan
toilet mall seharga 2.000 rupiah
kita membayar makanan cuma hendak
mengaram lapar yang lama berdeging onar
oh, tapi di dompet cuma kartu kuota
kita tak punya arta
kehidupan lunas dibayar scan barcode!
oh, kita juga tak perlu penat bersolek
toh wisata juga pakai masker!

tak apa, nenenda nanti dulu kita suap edukasi
biar paham kalau bumi sudah gaul
yang kalau mau ketemu tinggal google meet
atau vidcall
nanti dulu bapanda kuberitahu seluruhnya
jalan-jalan juga perlu barcode

oh, kita sedang diintai!

banyak hama menjelma penguntit
ular di ladang yang gemar menyergap tikus,
kini purna menjelma maha netizen
keduanya memiliki kesenangan serupa
dan hidup cuma sebuah habituasi
tidak ada lagi pdkt, cocok-cocokkan

(Solo, 2021)

 

Najasah

malam itu hanya selenggang isak
purna tangis terkuak di nganga sedan
yang perlu cuma melelang sakit di dada
sebab cuaca tengah bercanda
seperti pancaroba bulan lalu, kan?
tapi kau gemar merintis kesedihan
yang semestinya tak perlu gelisah
cuma butuh tabah pun karam gelebah

tapi tidak di rumpang malam
yang nyalang nanar matamu sembab,
hidungmu yang lebam separuh,
ketir ragamu yang berupaya diam
dan tidak sepenuhnya patuh pada maumu
sebab getarnya ialah rapuh hatimu
yang utuh membekas sakit sebuah kalimat
seperti kerakal barangkali?
yang utuh membekas pahit sebuah kalimat
seperti robusta barangkali?

dan kau memilih geming.

cuma tinggal nama-nama cemar
di kepala mereka
sebelum abjad pamungkas ialah kau
bertengger di ujung sana
hanya tinggal menanti tiba gertak dan
mata yang mendilak mengiris wajahmu

kau hanyalah ibu yang terus menahan sakit
sepanjang malam kelahiran
tanpa pagi yang menyumbangkan bahagia
sebab namamu najasah, kerap diolok
sebab namamu najasah, serapah menohok

(Solo, 2021)

 

Ingar Hening

segenap lengang berupaya legawa
menjemput pulang keramaian yang dahulu
tak pernah lagi bercengkerama di akhir pekan
tiap obrolan sekadar mengobral dentum ilat
yang mengecap kata-kata sembrono
dan ugahari pesta kecil-kecilan
seperti fantasi penggemar jefri nichol
yang ada hanya gaduh di tengah sepi
yang ada hanya ingar di tengah hening

dan seluruh enas berupaya menampakkan
wajah yang wajar
dengan senyum tipis dan gingsul mengintip
mengado kebahagiaan yang sederhana
agar lekas hadir penawar luka
walau cuma nadir dan doa belaka
semenjana,
yang ada hanya gaduh di tengah sepi
yang ada hanya ingar di tengah hening

(Solo, 2021)

 

Seni Balada

tiba tarhim melampahi pagi ranum
yang cuma sejengkal khidmat hening
dan sesekali patera melagukan sedih
yang mereka suguh menaruh hormat
atas kepulangan nama-nama haru

mereka hanya berdeging kejur
kuyup air hujan di musim kayau
yang tertanam diam
selama petang temaram
dan selama hidup cuma lontar
     "babi, babi, binatang!"
tanpa tahu di tong tubuh hanya
getar yang tak mengenal adil,
pincang sebelah hingga rubuh
ke tanah, pada senoktah kalimat
mengintai hari-hari kemelut

hanya kulai kaki yang terbantai
separuh patah menyisakan jejak,
mereka lukis segenap-seluruhnya
dan betapa syair masihlah ber-
keras kepala
mereka tak ingin meleraikan makna
biar kesedihan tergenang sudah
biar kesedihan tak meluruh sudah
hanya pemahat yang mematung
menatah reca air mata
di musim parau menghidu latung

(Solo, 2021)


Vania Kharizma. Perempuan 18 tahun yang sukses memaafkan dosa pandemi. Lahir dan dibesarkan di Kota Solo, Jateng. Kegemarannya selain mendengarkan lagu dan mencuci piring ialah menulis puisi. Puisinya sukses memenangi beberapa kompetisi nasional yang diadakan Universitas di Indonesia sebagai Juara 1 seperti STAHN Mpu Kuturan Singaraja Bali (Bulan Bahasa Oktober 2020), Universitas Nahdliatul Ulama Indonesia (HIMA Sosiologi 2021) Universitas Airlangga (Lingua Fest Fakultas Kedokteran, 2021) dll. Bisa bersua dengannya melalui Instagram: @vaniakharizma | Email: vaniakharizma@gmail.com

Posting Komentar

0 Komentar