Yanuar Abdillah Setiadi: Malam Bulan Juni dan Puisi Lainnya


Malam Bulan Juni

 

Malam melahirkan sepi

Sunyi diasuh oleh kami

Sebagai peranti menulis puisi

 

Tukang siomai menjajakan

kentang, tahu isi, kubis yang dipanaskan dalam

sebuah tungku dari bara

api Sapardi di Bulan Juni.

 

Hujan meneteskan air

dari belahan bumi lain

saat Sapardi mencuci sajak-sajaknya

dengan embun di pagi Bulan Juni.

 

Deru kendaraan bermotor

sesekali lalu-lalang menghempas

debu-debu yang masuk

ke dalam lorong sunyi

yang ditempuh Sapardi sendirian.

 

Semuanya berkelindan

dalam sepi yang berkobar

menyisakan abu-abu Sapardi

yang menjadikannya abadi.

 

Purbalingga, Juni 2021

 

Memasuki hatimu

 

Singgah dan  mampir

ke hatimu aku harus

melewati berbagai pintu.

Pintu pertama, komunikasi

Pintu kedua, sosialisasi

Pintu ketiga, eliminasi

Pintu keempat, tahu diri.

 

Purbalingga, Januari 2022

 

Buah Kelapa

 

Suatu hari kau pergi ke kebun

ayahmu. Kebun dipenuhi dengan

pohon kelapa yang menjulang layaknya

cita-citamu di masa kecil. Kau menemukan

buah kelapa muda yang sudah terjatuh

dari tangkainya. Buah itu mungkin jatuh

karena hujan yang bijaksana, sepoi angin

yang bersahaja, atau tupai yang rakus dan perkasa.

 

Kau tengok kanan-kiri, tanpa pikir panjang

kau menukar kepalamu yang telah termakan usia

dengan buah kelapa muda.

Setidaknya kau tak akan merasakan sakit kepala

karena utang yang kian menumpuk dan hidup

yang kian suntuk.

 

Purbalingga, Januari 2022

 

Burung Prenjak di Kepalamu

 

Prenjak mengerami kata-kata

di jidatmu. Kata yang ia ambil

dari sebuah pohon yang disirami

dengan air matamu saat kau

patah hati.

 

Saat Prenjak berkicau,

kata-katamu riang gembira.

 

Saat Prenjak tertidur,

Kata-katamu khidmat mendengkur.

 

Saat Prenjak jatuh cinta,

Kata-katamu tergoda terpana.

 

Jidatmu serupa sangkar yang

melahirkan kata-kata sukar layaknya

semak belukar. Ia juga bisa

melahirkan kata-kata bijaksana

hanya saat tertimpa bencana dan

petaka.

 

Purbalingga, Januari 2022

 

Selepas Hujan

 

Ia mengais mimpinya yang

berceceran di jalan menuju

sekolah. Ia juga memungut

riak asa yang tergenang di selokan,

tempat yang sama ketika selembar nilai

yang enggan dilihat dibuangnya dengan segan

 

Sewaktu kecil mimpinya

deras mencurah seperti hujan

berkilau lantang layaknya petir

lebat serupa angin

 

Selepas hujan,

yang tersisa hanyalah

hatinya yang lapang seluas genangan,

mimpinya hanya

sebatas angan yang enggan disebut kenangan.

 

Purbalingga, Januari 2022

 

Toleransi

 

Hujan berderai

pada sekuntum bunga

tanpa sempat menanyakan

agama apa yang dianut

sang bunga.

 

Matahari menyinari padi di ladang yang

berjurai

menunduk sujud

tanpa sempat menanyakan

perihal siapa yang menanam dan menuainya

apakah pribumi ataukah

non pribumi

 

Sungai mengalir dan menggilas

semua batuan yang ada di

wadas tanpa sempat menanyakan

hal-ihwal dari mana batu itu berasal

 

Tuhan mencurahkan kasih dan rahmat-Nya

kepada seluruh insan

tanpa sempat menyelidik

apakah ia mukmin ataukah

kafir.

 

Purbalingga, Januari 2022

 


Yanuar Abdillah Setiadi, lahir di Purbalingga, 01 Januari 2001. Mahasiswa Pendidikan Bahasa Arab UIN Saifuddin Zuhri Purwokerto. Santri Pondok  Pesantren Modern El-Furqon Purwokerto. Karyanya telah tertulis di berbagai media di antaranya; Majalah An-Nuqtoh, Litera.co, Tajdid.id, dan Mbludus.com. Kontributor covid-19 pandemi dunia (2020), lintang 3 (2020), dan di ujung tanjung  (2020), Facebook: Yanuar Abdillah Setiadi, Instagram: @yanuarabdillahsetiadi.

 

Posting Komentar

0 Komentar