Malam Bulan Juni
Malam melahirkan sepi
Sunyi diasuh oleh kami
Sebagai peranti menulis puisi
Tukang siomai menjajakan
kentang, tahu isi, kubis yang dipanaskan dalam
sebuah tungku dari bara
api Sapardi di Bulan Juni.
Hujan meneteskan air
dari belahan bumi lain
saat Sapardi mencuci sajak-sajaknya
dengan embun di pagi Bulan Juni.
Deru kendaraan bermotor
sesekali lalu-lalang menghempas
debu-debu yang masuk
ke dalam lorong sunyi
yang ditempuh Sapardi sendirian.
Semuanya berkelindan
dalam sepi yang berkobar
menyisakan abu-abu Sapardi
yang menjadikannya abadi.
Purbalingga, Juni 2021
Memasuki hatimu
Singgah dan mampir
ke hatimu aku harus
melewati berbagai pintu.
Pintu pertama, komunikasi
Pintu kedua, sosialisasi
Pintu ketiga, eliminasi
Pintu keempat, tahu diri.
Purbalingga, Januari 2022
Buah Kelapa
Suatu hari kau pergi ke kebun
ayahmu. Kebun dipenuhi dengan
pohon kelapa yang menjulang layaknya
cita-citamu di masa kecil. Kau menemukan
buah kelapa muda yang sudah terjatuh
dari tangkainya. Buah itu mungkin jatuh
karena hujan yang bijaksana, sepoi angin
yang bersahaja, atau tupai yang rakus dan perkasa.
Kau tengok kanan-kiri, tanpa pikir panjang
kau menukar kepalamu yang telah termakan usia
dengan buah kelapa muda.
Setidaknya kau tak akan merasakan sakit kepala
karena utang yang kian menumpuk dan hidup
yang kian suntuk.
Purbalingga, Januari 2022
Burung Prenjak di Kepalamu
Prenjak mengerami kata-kata
di jidatmu. Kata yang ia ambil
dari sebuah pohon yang disirami
dengan air matamu saat kau
patah hati.
Saat Prenjak berkicau,
kata-katamu riang gembira.
Saat Prenjak tertidur,
Kata-katamu khidmat mendengkur.
Saat Prenjak jatuh cinta,
Kata-katamu tergoda terpana.
Jidatmu serupa sangkar yang
melahirkan kata-kata sukar layaknya
semak belukar. Ia juga bisa
melahirkan kata-kata bijaksana
hanya saat tertimpa bencana dan
petaka.
Purbalingga, Januari 2022
Selepas Hujan
Ia mengais mimpinya yang
berceceran di jalan menuju
sekolah. Ia juga memungut
riak asa yang tergenang di selokan,
tempat yang sama ketika selembar nilai
yang enggan dilihat dibuangnya dengan segan
Sewaktu kecil mimpinya
deras mencurah seperti hujan
berkilau lantang layaknya petir
lebat serupa angin
Selepas hujan,
yang tersisa hanyalah
hatinya yang lapang seluas genangan,
mimpinya hanya
sebatas angan yang enggan disebut kenangan.
Purbalingga, Januari 2022
Toleransi
Hujan berderai
pada sekuntum bunga
tanpa sempat menanyakan
agama apa yang dianut
sang bunga.
Matahari menyinari padi di ladang yang
berjurai
menunduk sujud
tanpa sempat menanyakan
perihal siapa yang menanam dan menuainya
apakah pribumi ataukah
non pribumi
Sungai mengalir dan menggilas
semua batuan yang ada di
wadas tanpa sempat menanyakan
hal-ihwal dari mana batu itu berasal
Tuhan mencurahkan kasih dan rahmat-Nya
kepada seluruh insan
tanpa sempat menyelidik
apakah ia mukmin ataukah
kafir.
Purbalingga, Januari 2022
0 Komentar