Esai Dani Alifian: Melihat Kasus Bupati Langkat dalam Film Ben & Jody

Saat menyebut bupati Langkat, satu hal yang mungkin jadi persoalan: perbudakan manusia. Soal kasus korupsi dari bupati Langkat, itu saya anggap sebagai hal yang biasa dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun, yang membuat saya harus haus 'geleng-geleng kepala' adalah temuan dua kerangkeng berisi 48 manusia yang ada di dalam.

Saya berpikir antara kasus bupati Langkat dan dengan film Ben dan Jody punya kesamaan. Sebelum itu, saya rasa penggarapan film Ben dan Jody tidak terinspirasi dari kasus. Atau sebaliknya film Ben & Jodi tidak mengilhami Bupati Langkat untuk membuat kerangkeng pribadi di rumahnya.

Sebagai orang yang lahir, besar, dan tinggal di pulau Jawa saya cukup asing mengenai desas-desus soal kerangkeng manusia. Saat menyaksikan film Ben & Jodi di bioskop pun tidak pernah menyangka kalau kerangkeng manusia bakal terjadi di dunia nyata.

Kasus bupati Langkat sudah terjadi beberapa hari sebelum film Ben & Jodi rilis. Tapi saya baru tertarik mencari tahu lebih lanjut tentang kasus itu, karena menyaksikan ‘penjara manusia’ dalam scene film Ben & Jody.

Film Ben & Jody menyajikan adegan aksi yang memanjakan mata, itu saya akui. Tapi di balik itu, saya jauh lebih tertarik pada kisah perebutan tanah yang dilakukan oleh perusahaan. Diceritakan, Ben (Chiko Jeriko) sedang tinggal di kampung halamannya dan aktif membela kelompok tani yang tanahnya diambil alih Perusahaan.

Tidak digambarkan secara eksplisit perusahaan apa yang berseteru dengan warga. Namun, dari simbol pengambilan gambar, latar cerita, dan suasananya tampak seperti perkebunan sawit. Saya menduga, yang mengambil alih tanah adalah perusahaan sawit!

Di saat bersamaan, Jody tengah mempersiapkan konsep baru Filosofi Kopi yang akan segera rilis. Namun, jelang acara, Ben yang dijadwalkan hadir tiba-tiba menghilang. Jody sebagai sahabat pun melakukan pencarian untuk menemukan keberadaan Ben.

Ben yang diperankan oleh Rio Dewanto dilacak keberadaannya hingga ke desa tempatnya tinggal. Naas, Jody yang berniat menolong Ben justru tertangkap oleh pembalak liar pimpinan Aa Tubir (Yayan Ruhian).

Ben & Jody dipersatukan kembali dalam sebuah kerangkeng manusia jauh di tengah hutan. Kerangkeng itu diceritakan sebagai tempat berkumpulnya orang-orang desa di kecamatan yang melawan saat tanahnya hendak diambil alih perusahaan. Kerangkeng dibuat dengan menggunakan kayu hutan dengan penjagaan super ketat oleh pasukan Aa Tubir yang bersenjata.

Adegan film Ben & Jody yang merupakan spin-off dari Filosofi Kopi 1 dan 2 saya duga mungkin sudah tidak akan terjadi di dunia nyata. Sebelum akhirnya ingatan membawa saya pada kasus bupati Langkat.

Ada kemiripan alur cerita dari Bupati Langkat dan film Ben & Jodi. Para pekerja dipaksa bekerja pada sebuah perusahaan, tapi saat pekerjaan selesai bukan rumah yang menyambut, melainkan masuk ke sebuah ruangan yang tidak layak jadi tempat tinggal dengan setumpuk manusia yang bernasib sama.

Bupati Langkat yang bernama Terbit Rencana Perangin Angin memang sudah menyangkal kerangkeng itu sebagai lahan untuk pekerja paksa. Namun, saya berhak untuk tidak percaya pada itu.

Bahkan, ada temuan baru yang dirilis Kumparan (3/2/2022) berjudul 'Kisah dari Kerangkeng'. Jumlah penghuni kerangkeng Bupati Langkat yang meninggal diperkirakan lebih dari satu orang.

Ada satu kutipan dalam berita itu yang membuat saya sungguh terbayang film Ben & Jody. "Rupayan pas datang mayatnya, ya menjeritlah orang melihatnya. Rahangnya luka-luka," keterangan dari FD, sepupu korban.

Keberadaan film Ben & Jody jelas membawa suatu pesan dari sang sutradara. Saya meyakini perbudakan yang dilakukan Bupati Langkat masih terjadi oleh oknum lain. Di luar sana, entah di mana. Perbudakan manusia itu ada, dan nyata!

 

Dani Alifian, peronda ruangjaga.com.

 

Posting Komentar

0 Komentar