Cerpen Komariyah: Peristiwa di Balik Mimpi


Ke mana lagi kaki harus melangkah, sedangkan anak panah yang tertancap di tepi jalan sudah tak terlihat? Bagaimana caranya aku keluar dari hutan yang rimba ini, yang penuh dengan kebuasan, dan ketidakpastian? bagaimana kalau seekor serigala atau harimau melihatku seorang diri? mereka pasti akan menerkamku dan mencabik-cabik tubuhku menjadi bagian-bagian kecil, dan akhirnya perut mereka akan penuh dengan potongan tubuhku yang mungkin akan terasa sangat lezat di lidah mereka.

Aku duduk di bawah pohon yang rindang, bersandar pada tubuhnya yang begitu kokoh walaupun sudah terlihat begitu tua. Mungkin usianya sudah lebih dari lima puluh tahun, itu hanya mungkin karena aku sendiri tidak tahu sejak kapan keberadaan pohon ini, tapi melihat lingkaran diameternya yang begitu besar, aku pun meyakini jika pohon ini sudah melebihi usiaku.

Aku masih duduk termangu dalam kesendirian dan kebingungan. Aku masih memikirkan segala kemungkinan yang akan terjadi menimpa diriku. Sekarang aku layaknya seekor semut yang merasa terancam di setiap keadaan. Aku seperti menjadi makhluk kerdil yang tak berguna dan tidak bisa berbuat apa-apa. Lagi pula apa yang bisa dilakukan seorang manusia di hutan belantara, seorang diri, tanpa senjata, atau pun alat-alat yang akan mendukung untuk bisa bertahan di tempat yang buas ini?

Sekarang keadaanku begitu memilukan, perutku menjadi sangat lapar, seperti seorang musafir yang sudah berhari-hari tidak merasakan nikmatnya nasi, lauk pauk, atau pun sekadar menyantap ubi rebus yang dihidangkan emak setiap pagi. Ah, betapa aku sangat merindukan itu semua. Merindukan rumah yang selalu hangat dan menyenangkan, walaupun tidak pernah dalam sehari di rumah tidak ada keributan dari hal-hal kecil yang selalu mengundang keramaian, tapi walaupun begitu rumah masih menjadi tempat ternyaman untuk berlindung dan menenangkan diri dari segala penat.

Aku ingin pulang, tapi bagaimana caranya? sedangkan lorong-lorong di hutan ini menjadi sangat gelap, cahaya langit sudah meredup, mungkin sebentar lagi hari akan berganti malam, dan artinya harapan untuk pulang semakin menipis, sebab mungkin takdirku tak akan panjang, dan mungkin telah digariskan oleh Sang Penulis Takdir bahwa kehidupanku akan berakhir di hutan belantara ini, seorang diri, tanpa emak, adik, bapak, dan tanpa kekasihku yang selalu menungguku dengan tabah.

Betapa aku sangat merindukan kekasihku, gadis manis dengan mata yang selalu cemerlang, penuh kasih, dan penyayang. Sungguh aku sudah menyia-nyiakan waktunya dengan memberikan harapan-harapan kosong kepadanya, bahwa esok aku bisa mempersembahkan pelangi yang paling indah di pangkuannya. Menumbuhkan bunga-bunga mawar dan melati di taman cintanya. Tapi semua itu omong kosong, karena aku tidak bisa, dan tidak akan pernah bisa mempersembahkan itu semua.

Aku tidak bisa membayangkan wajahnya saat ini, berapa banyak bulir air mata yang sudah keluar dari matanya yang indah itu, sungguh aku tidak rela, tapi nyatanya aku sekarang tidak bisa berbuat apa-apa, aku tidak bisa menenangkan dirinya, aku tidak bisa menghapus air matanya, aku tidak bisa menyandarkan kepalanya di bahuku, sungguh sekarang aku menjadi kekasih yang tidak berguna, dan aku merasa sangat berdosa kepadanya. Oh kekasihku, semoga kamu masih tabah dalam penantianmu, dan doa-doa masih kau rapal demi keselamatan kekasihmu yang tidak tahu diri ini.

Aku mendongakkan kepalaku ke langit, berharap takdir baik akan membersamaiku, dan malam ini aku bisa selamat dari maut di belantara hutan yang buas ini, dan dari rasa lapar yang semakin perih mencabik-cabik lambungku. Aku meraba-raba ransel yang aku bawa, mungkin saja masih ada sisa roti, atau ubi rebus atau apapun yang bisa mengganjal perutku yang teramat perih.

Tapi ternyata di ranselku, sudah tidak ada sisa makanan, perutku semakin merintih perih, seperti fakir yang sudah satu minggu tidak makan dan tidak minum, dan sialnya aku benar-benar merasakan apa yang mereka rasakan ini, dan kali ini entah aku harus berpasrah, atau masih harus kembali bertaruh demi harkat dan martabatku di hadapan takdir. Aku tidak mau terlihat lemah, menyedihkan, dan tidak berdaya, setidaknya jika hari ini benar-benar akhir dari perjalanan takdirku, masih ada yang akan dibanggakan dari kisah perjalananku.

Aku mencoba melawan rasa lemah pada tubuhku, energi seakan hanya tinggal sisa dari semangat untuk melawan takdir, aku meraba apapun yang ada disekitarku, dan berharap bukan ular, atau binatang berbisa lainnya yang tengah bersemayam di sekitar tempat dudukku. Dengan rasa takut dan tangan gemetar aku masih berusaha menemukan apapun yang bisa menjadi alat untukku bertahan malam ini. Dan tiba-tiba aku menemukan beberapa batu berukuran sedang. Dan seketika wajah guru sejarahku pak Tris tergambar jelas, bagaimana ia selalu mengulang-ulang bagaimana manusia purba bisa bertahan hidup di alam yang bebas dan buas. Aku ingat bagaimana cara manusia purba menghasilkan api untuk memasak, cukup dengan menggosokkan dua batu berlawanan arah timbullah api.

Tapi sudah hampir seratus gosokan, dan mungkin sudah lebih, aku tidak tahu pasti, sebab aku tidak menghitungnya, dua permukaan batu saling berlawanan, tapi percikan api tak juga timbul, mungkin ada yang salah dengan caranya, ada yang terlewat atau mungkin kekuatan manusia purba dan aku sungguh berbeda, tenagaku hampir habis, dan mungkin tidak lama lagi aku harus mengakui kekalahanku pada takdir, pada alam, pada pohon-pohon, dan pada binatang buas yang sedang awas memperhatikan gerak-gerikku. Menunggu diriku lengah dan menyerahkan tubuhku dengan pasrah.

Aku sempat terlelap saat menyandarkan tubuhku pada pohon yang masih menjadi tempat ternyaman untuk berlindung, sebab aku tahu, pohon dan tumbuh-tumbuhan lainnya adalah makhluk yang paling tulus dan ikhlas di bumi ini, ia yang memberi tanpa mengharap balas, ia yang tetap tabah walau segala yang ia miliki di jarah.

Dalam tidurku yang sebentar, aku bertemu dengan Shanum, kekasihku yang bermata jernih dan cemerlang. Kulihat ia sedang tertawa-tawa di taman belakang rumah, memetik bunga mawar yang sudah bermekaran, ia menciumi setiap mawar yang ia petik. Shanum tampak bahagia, tapi seketika wajahnya menjadi muram, bunga mawar yang dipegangnya jatuh berhamburan ke tanah, aku ingin memeluknya, menenangkannya, tapi tubuhku seperti tertancap di pohon ini, terpasung seperti si gila yang penuh dosa.

Darah bercucuran dari tangannya, menetes pada bunga-bunga yang baru saja ia petik. Aku tidak tahu sebab apa, mungkinkah duri-duri bunga itu telah melukai kekasihku, ataukah sebenarnya akulah yang menyebabkan luka itu, akulah duri yang telah menggores luka pada tubuh Shanum? Mungkinkah aku? Laki-laki yang teramat mencintainya? Rasanya itu tidak mungkin, aku bukan duri pada mawar itu, akulah sekuntum mawar yang selalu memabukkan Shanum dalam aroma tubuhku yang semerbak.  

Aku terperanjat, dan aku bersyukur semua yang kusaksikan hanya dalam mimpi. Dan semoga kekasihku baik-baik saja, walaupun aku tidak di sampingnya, tapi aku berjanji akan bertahan di hutan belantara ini untuk menemukan jalan pulang, agar aku bisa menghapus segala kesedihan dan kerisauannya terhadap aku.

Aku sangat tahu betapa ia sangat mengkhawatirkanku saat ini, apalagi atas kepergianku yang serba tiba-tiba, tanpa pamit atau sekedar pesan singkat melalui whatsapp ataupun telegram, sebab aku tahu Shanum tidak akan mengizinkan aku pergi untuk berpetualang di hutan belantara ini, sebab ia pernah bermimpi sesuatu yang buruk akan menimpaku, tapi kupikir mimpi hanyalah bunga tidur. Dan yang kutahu mimpi selalu menggunakan hukum terbalik dalam penafsirannya.

Kata emak, jika seseorang bermimpi dan dalam mimpinya adalah suatu yang buruk maka yang terjadi sebenarnya adalah hal baik, dan begitu pula sebaliknya.“Kalau dalam mimpi seseorang sedang menangis, artinya ia sedang tertawa dan bahagia, kalau orang dalam mimpi sedang tertawa artinya ia sedang menangis dan sedih, dan begitulah seterusnya” Kata emak di suatu malam saat ia menenangkan seoarang bocah yang tersentak bangun dari tidurnya karena mimpi buruk, hingga bocah itu kembali terlelap pulas dalam pangkuannya.

***

Di kegelapan malam yang semakin gelap, tiba-tiba emak berada tepat di hadapanku, di tangan kanan kirinya ubi rebus, dan secangkir kopi hitam pahit di tangan kanannya.

“Le, ayo bangun sudah siang ini, ini kopi sama ubi rebusnya, emak tahu kamu pasti lapar, soalnya semalam kamu belum sempat makan malam” Ucap emak pelan, sambil menaruh kopi dan ubi rebus di meja.

Aku masih diam kikuk melihat pemandangan itu, aku sedikit memukul kepala, menggelengkan kepala ke kanan dan ke kiri, mencubit pipi, dan mengucek-mengucek kedua mataku untuk memastikan orang yang berada di hadapanku adalah emak.

“Mak ini, beneran emak?” kataku dengan bimbang

“Lha, ya iya toh le, kalau bukan emakmu, emak siapa lagi. Kamu ini masih ngelindur atau gimana? Makanya kalau tidur itu baca doa, jangan biasakan pulang kerja langsung tidur.

Cahaya matahari pelan-pelan membasuh gelap, saat tirai yang menutupi kaca seketika emak singkap, begitu silau dan membuat kepala semakin pusing. Aku melihat sekelilingku, tak ada pohon, tak ada dedaunan, tak ada rumput liar, atau binatang buas yang sedang memata-mataiku.

“Ayok, Le. Kok masih bengung, cepat mandi, setelah itu sarapan dan minum kopinya biar kamu nggak linglung lagi. Ini hari sudah cukup siang, apa kamu lupa kalau hari ini hari pernikahan Shanum, kamu nggak mau kan datang terlambat ke hari bahagia Shanum?”

Aku terbangun dari mimpiku yang mengerikan, tapi kenyataan lebih mengerikan dan menakutkan dari yang ada dalam mimpiku semalam.

***

Cincin melingkar di jari manisnya, melati menghiasi sanggul, dan mawar mengelilingi pelaminan yang dengan beraneka warna, matanya tetap jernih dan cemerlang, tapi sekarang tatapan mata itu bukan lagi tertuju padaku, senyumnya sekarang ia hanya persembahkan untuk kekasihnya, bukan aku. Bukan kepadaku, kekasih yang mengumbar janji, dan memberikan harapan-harapan kosong untuknya. Tiba-tiba saja semua terasa hampa dan menyakitkan.

Langit semakin gelap, cahaya senja kini memudar, dan malam telah tiba.  

 

Komariyah, mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Islam Malang.


Posting Komentar

0 Komentar