Sepasang Kekasih yang Memayat
Air genteng itu berjatuhan
Menunggu kering oleh angin kemarau
Di pelataran telapak kakimu
mengoyak awan dalam seribu petir
Menenggelamkan cerah dalam mentari embun
Aku menunggumu dalam sunyi
Menguli waktu berhari-hari
Walau kau menguap di langit
Dalam gerimis pagi
Mataku lelap dalam tubuhmu
Sedang kau, malah memayat dalam tubuhku
Melihat Cermin Retak
Aku melihat cermin
Bayanganku seretak dingin es
Sendiri dalam kumpulan angin-angin mendung
Serta jasadku menangis dikoyak demam siang hari
Kita terus bercakap umur
Saat kue dalam nisan lilin menyambut senja dan gagak-gagak turun mencium embun pagi
Menari di Kuburan Tua
Aku menari dalam cahaya kunang-kunang
Mayatmu menatap senyum tangis yang sekarat
Oleh kepergian musim yang menyayat nyanyian-nyanyian dzikir
Melemparku keluar dari Rahim yang kau tikam
Dalam doa kramat yang membelatung
Aku mengitari jasadmu yang sumringah
Selagi esok rindu terbenam
Dalam tarian orang-orang malam di kuburan tua
Kau masih tersenyum gelap
Lantas gerimis mulai mabuk
Kau kucincang diam
Selepas senyummu melahirkan peluru yang hampir menempel beku di perutku
Aku terus gali kuburan baru di teras rumahku
Dari tiap-tiap potongan tubuhmu
Namun kau hanyut diseret tuhan di dalam Firdaus
Pelataran Subuh
Mendung hilang
Matahari membakar gerimis pagi
Barangkali subuh
burung-burung terbang
Sayap-sayapnya meliuk dicumbu angin
Tenang dalam irama
Seperti mayatmu
M.A. Haris Firismanda, pegiat Bahasa Sastra. Bisa dijumpai di akun @ar_05ff pernah belajar Sastra di Malang selama empat tahun. Saat ini tengah menempuh jenjang Pascasarjana Kajian Sastra dan Budaya Unair.
0 Komentar