Devy Rianita Hanifah: Nestapa Sinta dan Puisi Lainnya


Filosofi Wayang

 

barangkali di dunia ini hitam dan putih tak benar-benar ada

: sebab barangkali saja yang sejatinya ada hanyalah ragam warna yang netramu tangkap.

 

/1/

di singgasana candik ala

merah rekah membuai serpihan-serpihan dosa

: seperti Rahwana yang terkisah tak beradab

      sedang di negeri Alengka

ia adalah narapati gagah perbawa

—nan amat dermawan—

membuai rakyatnya dengan kereta-kereta emas.

/2/

pun di singgasana candik ayu

langit suah meriwayatkan segala yang putih

bersih tiada debu;

kalis tiada cela

serupa Bisma yang penuh wibawa

      dengan rela melepas takhta

      demi cinta kasihnya pada sang ayah

—sedang di lain sisi, ia adalah panglima kubu Kurawa—

yang meski ia tahu adalah salah

      : tapi ia telah telanjur terbanjur sumpah

menjadikan Baratayuda sebagai jalan untuk menemu akhir;

     pun di sana jua ia telah lama tahu riwayat takdir

ihwal pertemuannya dengan sang pujaan hati

: menuju nirwana

melepas sumpah —memadu kasih bersama Amba—

 

Klaten, 16 Januari 2022

 

Mataram dan Paksa Khianat

            : Raden Ayu Lembah

 

“di bawah atap masa, tragis suah meriwayatkan anyir kisah

  yang nyalar meredupkan cinta dalam dosa dan kebimbangan.”

//1//

sebermula babad romantika paksa

lahir di belantara wangsa,

     kesah telah menjejal rasa

     manakala cinta dipertaruhkan atas nama singgasana takhta.

//2//

pun demikian pula dengan Raden Ayu Lembah

yang hidup dalam genggam hasrat sang ayah

     nan dengan penuh paksa mengubur hak romantika

     demi gelar ratu di atas kursi kemuliaan.

“bagaimana mungkin seorang putri mampu menolak penyatuan paksa romansa?”

     melalui jalan perjodohan

     takdir menjadikannya permaisuri Raden Mas Sutikna dengan hati amat nestapa.

//3//

hingga setiba waktu terlampau iba

menyaksikan sedan membelukar, —mekar di hatinya

     celah khianat lambat laun kian hidup

     menggenggam kesetiaan nan perlahan hirap mengabu.

//4//

pun kian hari bimbang tak lagi mampu diemban

memuncak di tubuh malapetaka

     : memahkotai nafsu yang tak lagi mau mengalah.

“kini waktunya kau bebas memadu rasa.”

     di pikat seorang patih, hati tak lagi mampu menahan hasrat

mencipta dosa di pangkuan permaisuri

pun turut jua mengucurkan darah nestapa mengaliri cela berahi.

“nyawa adalah bayaran paling pantas 'tuk menebus hina khianat!”

     dosa nyalar mekar dalam belukar duka

     di antara maut patih Raden Mas Sukra

juga maut Raden Ayu Lembah di tangan Pangeran Puger, —ayahnya sendiri

 

Klaten, 15 Februari 2022

 

Menemu Maut di Pangkuan Serapah Janji

                          : Sukrasana pada Sumantri

 

//Prakata//

betapa peradaban teramat baka mengukir wiracarita

dari bumi antah-berantah yang subur ditumbuhi suratan karma.

 

//Wiracarita I.//

harap mekar di singgasana hati

mengiringi langkah Sumantri mengembara menuju bahari Mahaspati

: meninggalkan Sukrasana —sang adik terkasih— merana dengan kesal

dan sebongkah gundah.

“Kakang Aci, aku ikut, Kakang..”

      jauh di belakang, kasih dengan pasti meniti tapak;

sedang kauanggap ia petaka

Sukrasana —raksasa bajang kesayanganmu—

meluruhkan tangisan mega, tatkala duka membelukar di hadapan narapatimu

 : sukmanya hirap di genggaman rasa malumu.

“bagaimana mungkin seorang patih rupawan memiliki rayi berburuk rupa?”

     atas nama wibawa

: maut adalah bayaran yang Sukrasana dapat atas nama baktinya

kepadamu Sumantri —kakang yang dirindu-rindukannya.

 

//Wiracarita II.//

sedang setelahnya tubuhmu lekat akan aroma sesal

dan serapah dengan subur membelukar

: memahkotai takdirmu.

“tunggu aku datang menjemput di raga raksasa musuhmu.”

     serupa kutukan yang menjelma benih-benih karma,

dan mekar di dalam bayang-bayang baktimu sebagai kesatria.

 

//Wiracarita III.//

hingga setiba takdir teramat pesat

      —membawamu kepada ajal—

: di tanah Alengka, baktimu sebagai patih tak lagi jaya.

Sukrasana telah tiba

membawa janjinya

—langit memerih legam beriringan dengan ragamu yang lebur—

: satyawacana Sukrasana telah mencipta wiracarita

yang baka membawa kabar kematianmu

      —atas nama suratan karma.

 

Klaten, 13 Januari 2022

 

Bahasa Cinta Bima

 

tiada kata yang teramat luhur melampaui apa yang tulus terucap

: merambat dari akar hati dan mekar dalam singgasana rasa.

I.

cinta telah tercipta di antara kelahiran

yang hadir melalui embus kemaslahatan

: dari bilik berahi Kurusetra

      —benih kesatria tumbuh dalam gua garba Kunti Talibrata.

II.

ialah Bima,

putra bayu nan teramat gagah

       —lahir dari bisikan angin dan tumbuh dalam buai kasih Hastinapura—

      : dengan ucap yang tak pernah dihiasinya dengan sebongkah berlian fana

ia adalah wujud cinta yang paling nyata;

baginya, tiada penting apa yang keluar dari ucapnya

: sebab hati ialah sebenar-benarnya bentuk dari mana cinta terpahat.

III.

oh, sungguh tiada yang lebih mulia bagi Bima

tiada yang mampu membuatnya melantunkan tutur-tutur permata

      —yang lembut, tenang, dan penuh tata—

: sebab hanya di peribadatan saja baginya cinta dapat ditunjukkan dalam bentuk paling mulia.

 

Klaten, 15 Januari 2022

 

Babad Romantika Dua Strata

 

bilamana takdir telah menyatukan pikat dalam mahligai romansa

pun tiada satu pun rasam duniawi yang mampu melawan benih-benih kasih nirwana.

 

/Babad I./

dari balik usang peradaban,

     kultur telah menjelma sekumpulan raksi romantika

     yang terbang membaur bersama baka wiracarita,

lantas menyerbak diwartakan paksi-paksi kalis romansa.

 

/Babad II./

pun demikian jua dengan cinta yang rekah

memahkotai hati Arimbi

tatkala durja rupawan lawan memikat pandang

       —meski di lain sisi hatinya teriris

           menatap duka yang hadir

           tercipta melalui tangan sang terkasih—

“bagaimana mungkin aku mencintai orang yang menjadi sebab dari kematian kakakku?”

di tengah sengitnya medan laga,

—langit telah menyekap duka

dan menumbuhkan bunga-bunga cinta di gundahnya hati Bima—

“bagaimana mungkin aku mencintai raksasi bagian wangsa musuhku sendiri?”

      tapi sungguh, tiada yang benar-benar mustahil

bilamana takdir telah merayu hati

serupa kisah romansa dua strata

     Arimbi sang raksasi yang berujung jaya membuai hati Bima.

 

Klaten, 26 Januari 2022

 

Nestapa Sinta

 

/Siji/

di negeri Ayodya, bunga subur dirabuk pandang

manusia setengah raksasa nan amat jelita.

/Loro/

hingga setiba di pergantian

kisah tak lagi tenteram

: bunga-bunga layu menyaksikan puing-puing nestapa.

/Telu/

menarik Sinta menuju temaram Alengka

—bersama Rahwana yang terlampau memuliakannya—

“sebab menaklukkan hatimu adalah sebuah kejayaan yang paling tinggi.”

     Sinta terpana,

tapi takdir tak mampu diingkari  

“aku tak mungkin dapat menggandakan cinta yang telah kuserahkan kepada Rama.”

meski sejujurnya ragu suah membelit hatinya,

    selepas tiga tahun Rama tak kunjung datang menjemput kesetiaannya.

/Papat/

pun di pungkas wiracarita, Sinta berujung nestapa

mengarungi takdir di antara bara pembuktian

: meski tetap jua —pembuangan— adalah bayaran yang ia dapat

atas nama kesetiaan yang ia sembahkan kepada Rama, suami tercintanya.

/Lima/

“jika saja kauterima cinta suciku, tak akan kita berakhir nestapa.”

Rahwana sang penguasa malang,

menangisi takdir cintanya nan amat pedih

      —di bawah impitan dendam kembar Sondara dan Sondari.

 

Klaten, 5 Februari 2022

 

Devy Rianita Hanifah, gadis 18 tahun yang lahir dan tumbuh di Klaten, Jawa Tengah. Sesekali menulis puisi sembari menggeluti hobi lainnya yang gemar menghabiskan nasi. Beberapa prestasi yang berhasil ia raih di dunia literasi antara lain, Juara 1 LCPN Biosphere 4 oleh Fakultas Biologi UGM, Juara 1 LCPN Piala Wakil Gubernur Jawa Tengah event oleh KMNU Universitas Diponegoro dalam rangka peringatan harlah yang ke-7, dll. Dapat disapa dalam bentuk manusia virtual yang aktif berselancar di instagram @cederilall__

Posting Komentar

0 Komentar