Dari Kopi Menuju Sadar
Di kantin kampus yang sepi
Kursi-kursi mengerling mencari tuannya
Ibu kantin mendaras buku kecil
Meja-meja memanggil penduduknya; kopi, nasi, rokok, serta suara canda
Aku masih menunggu
Di kantin kampus
Aku tidak ingin digantung
Tidak ingin mampus
Sembari menunggu aku ingin mendamaikan hati
Alih-alih menyibukkan kecemasan
Aku memesan kopi
Sebab kata orang bijak "meminum kopi menghilangkan dahaga sepi"
Aku masih melihat Ibu kantin mendaras buku kecil itu
Dengungan suaranya mendamaikan
Nada yang terbunyi melaram sunyi
Ibu kantin masih mendaras
Aku hendak memesan kopi
Hatiku berkata "lebih dosa mana memutus orang ngaji atau membiarkan kesepian melanda?"
Sebab dikatakan orang bijak "buih perbuatan tidak baik berawal dari kesepian"
Aku duduk lagi dari berdiri
Aku memejamkan mata
Terdengar suara "Silakan diminum kopinya, Mas"
Ibu kantin duduk di hadapanku
Menghentikan ngajinya
Aku masih takjub
Apakah suara dari dalam hati akan lebih didengar Tuhan?
Aku masih takjub
Tuhan selalu mengerti maksud hamba-Nya
Aku bertanya "Apa pembeli lebih penting, Bu?"
Jawabnya ringan "Sebab dengan itu aku bisa menentramkan orang lain"
Aku bertanya lagi "Mengapa Ibu menghentikan ngajinya?"
Jawabnya ringan "Sebab, Tuhan juga menyuruh hambanya untuk baik sesama"
Ibu kantin pergi meninggalkan pelajaran
Bahwa, tetap baik meski tidak terlihat begitu baik
Aku harus sabar menunggu dosen
Aku menyeruput kopi
Dosen membalas chatku,
"Maaf, Nak. Bapak sedang sakit, kamu tidak perlu revisi lagi. Kamu lulus"
Aku menghampiri Ibu kantin
Segera kubayar dan terima kasih.
Anomali Perindu
Api menjadi padam
ketika senyummu kuhela dalam anganku
panasnya merebah sendiri
sewaktu kugelar bersama
Senyummu mengandung kapuk
kembang-kempis menidurkan linglung bagi mata yang menjamahnya
dalam menyadur senyummu
perlu membasuh mata dengan rindu
Kelak bila basuhan berhenti membasahi
akan kunyalakan senyummu dalam hati
supaya asapnya memanggil hujan; senyummu terus membasahi rinduku yang tidak karuan
Obituari Malam Minggu
Ia masih sendiri
Memeluk nisan
Tempatnya menguburkan harapan
Air matanya meneteskan duka
Bibirnya semakin kering; tak tampak lagi hujan senyuman, tak pernah lagi bersuling sayang
Ia hanya memiliki sisa kenangan
Di pelukannya menjadi khayalan
"Dulu, setiap malam minggu kau rutin menjahitkan puisi, yang kau sulur dari senyum dan sepasang mataku. Dulu, saban aku mengucap kangen, segera kau kirimkan sepaket puisi beserta nyanyian, sebagai ganti pelukmu."
Ia pasrah pada sepi
Tubuhnya remuk terkoyak kepalsuan
Di atas ranjang tercecer luka
Menghabisi diri dengan gantung cinta
0 Komentar