Mukti Irawan: Epistimologi Nuzula dan Puisi Lainnya


Epistimologi Nuzula

Pada sayap Jibril yang kiri

Membawa nama-nama terukir.

Dinding gua yang gigir

Belajar membaca huruf dingin

Pada pori-pori angin.

.

Dari dinding mahfudz ke dinding izzah

Merayap dengan pompa segumpal darah

Dari hira sunyi, alpa hingar bingar

Diskotika Metropolis.

.

Pada 17 yang gersang

Segumpal kata yang gamang

Kalimat-kalimat populis

Bagi fakir baca tulis

Miskin bahagia dan senang.

.

Perintah pertama membaca.

Perintah terakhir dilarang makan babi.

Keduanya adalah kesenangan estetis.

 

Membaca Atas Nama

Dia diajarkan membaca atas nama.

Lalu lambat laun namanya semakin hampir seratus.

Jibril hanya menyuruhnya mem-beo atas nama.

Tapi, bacaannya tidak ada.

Kita hanya beo atas nama.

.

Jika, Dia maha literat dan sastrawiyah mengapa tidak menurunkan Huruf-huruf yang terbaca?

Sehingga kita, tidak buta huruf atas hampir seratus namanya.

Pun, Atas namanya kita buta huruf-hurufnya.

.

Perintah pertama bukan baca, kan?

Itu hanya memberi makan ego orang sastra, ahli sastra, aktivis literasi, dan penjaga kios buku.

Padahal perintahnya hanya menyimak, menurut, mem-beo.

Lalu, menebak segumpal darah berisi apa,

Dan gagu saat sebut nama-nama.

 

Menggugat Tuhan yang patriarkis

Aku tahu kau tak diwajibkan untuk ke masjid

Sebab itu kau memilih

Ber’itikaf pada keningku

Pada takhiyat paling akhir.

.

Lalu salah siapa jika jelmaan sesembahan menjadi dua?

 

Mukti Irawan, arek Kabupaten Pasuruan. Sementara di malang. Abadi atas kemalangan. Berkantor pada Instagram @kadalisme.


Posting Komentar

0 Komentar