Cerpen Sul Ikhsan: Jubaedah


Koper itu terpelanting dan menggelinding berpuluh-puluh meter dari tempatnya kini mematung. Jubaedah terkejut-kejut lantaran ketika ia membuka pintu rumahnya, Rosyidin, suaminya sedang melingkarkan tangannya ke leher seorang perempuan dan menggerayangi tubuh perempuan itu. Tak hanya Jubaedah yang tersentak, Rosyidin dan seorang perempuan yang sedang digerayanginya pun ikut-ikutan tersentak ketika tiba-tiba saja mendengar pintu terbuka yang disusul bunyi nyaring sebuah benda terpental. Sontak Rosyidin gelagapan. Ia kemudian lekas berdiri menghadap Jubaedah yang sedang mematung dan bercucuran air mata lalu buru-buru menarik resleting celananya yang turun, mengelap sisa pejuh yang bercecaran di selangkangannya dan mengait kancing bajunya satu per satu dengan tergesa-gesa.   

***

Betapapun Jubaedah menangis hingga suaranya sampai menirukan bunyi gelegar halilintar atau debur ombak yang menghujam batu karang, ayahnya Jumadil—seorang duda berumur kepala empat, buruh serabutan, dan tukang mabuk kecubung di pos ronda itu—tak bakal mengurungkan niatnya memberangkatkan Jubaedah, anak satu-satunya, untuk pergi ke Arab Saudi menjadi pembantu rumah tangga. Keputusan itu sudah saklek, tak goyah digeser angin, tak runtuh diterjang badai. Sebab seperti kebanyakan anak-anak perempuan dari keluarga miskin lainnya yang seusia Jubaedah di kampung itu, menjadi pembantu ke Arab Saudi merupakan satu di antara dua pilhan yang wajib dipilih selain dinikahkan paksa. Tetapi, Jubaedah sendiri menolak untuk memilih keduanya—pun sama dengan perempuan lain di kampung itu. Ia tak mau menjadi pembantu di negeri nun jauh di sana, apalagi menikah dengan sembarang laki-laki yang tak tahu menahu asal usulnya atau tak pernah terpikirkan sebelumnya bahwa laki-laki yang kelak seranjang dengannya pernah ada di muka bumi ini.

Konon, ayah Jubaedah, juga ayah-ayah lain di kampung itu terobsesi dengan seorang perempuan terkaya, tersukses, tersohor, dan termasyhur seantero kampung. Siti Kamilah namanya. Sosok perempuan yang menjadi simbol kekayaan dan kesuksesan seorang TKW di Arab Saudi. Hartanya tak habis-habis, tinggi rumahnya hampir setara dengan tiang listrik, emasnya bergelayutan di leher, tangan, kaki, hingga kedua telinganya. Namanya menjadi semacam mantra. Setiap ucapannya serupa dongeng tentang surga. Kisah hidupnya seperti seorang suci yang diberkati. Hingga sampai anak-cucu keturunannya selalu dipuja-didamba laiknya anak cucu keturunan seorang terpandang meskipun suatu kali, anak keturunan Siti Kamilah pernah digerebek warga desa sebelah lantaran kepergok kumpul kebo di semak-semak.

Lalu, selain Siti Kamilah, ada satu lagi perempuan yang menjadi pujaan hati orang-orang kampung, yakni Nyi Rosimah. Jika Siti Kamilah digelari sebagai sosok pembantu rumah tangga luar negeri termasyhur sekampung—atau barangkali sedunia, Nyi Rosimah digelari sebagai perempuan pintar pemikat hati dewan perwakilan rakyat yang hartanya tak habis tujuh turunan-tujuh tanjakan. Setiap kata yang diucapkan Nyi Rosimah serupa sabda. Gaya hidupnya menjadi kiblat bagaimana seharusnya seorang perempuan memilih dan hidup. Pola tingkah lakunya seolah menjadi panduan mutlak cara hidup mulia seorang perempuan. Dan anak cucu keturunanya, seperti anak cucu keturunan Siti Kamilah, juga tak lepas dari puja-damba orang-orang kampung meskipun pernah suatu kali, salah satu anak cucu keturunannya dicari-cari polisi lantaran terjerat kasus pencucian uang dana desa.

Tetapi, sebagaimana seorang tokoh termasyhur yang kemasyhurannya melambung tinggi nun jauh menyembul langit sana, sudah barang tentu kemasyhuran itu turun temurun sampai ke keturunannya, tak peduli seburuk dan sebejat apa perangai anak-anak mereka. Namanya selalu harum dan selalu didamba-dipuja lantaran tertutup oleh kemasyhuran orang tuanya. Barangsiapa yang berani, baik secara sengaja atau tidak sengaja, menjelek-jelekkan anak cucu keturunan Siti Kamilah dan Nyi Rosimah, ia pasti dicap pendosa dan terlaknat di mata orang-orang kampung.

Siti Kamilah dan Nyi Rosimah, meskipun telah meninggal puluhan tahun silam, namanya masih tetap menjadi kebanggan orang-orang kampung. Setiap orang yang menyebut namanya, niscaya bergetarlah jiwa dan raga mereka, bergidiklah sekujur tubuh mereka, bercucur deraslah keringat mereka. Kisahnya masih terus berdengung di pojok-pojok warung kopi, pos-pos ronda, menjadi kisah motivasi penambah semangat di pengajian-pengajian, dan  menjadi kisah inspiratif di sekolah-sekolah. Dan, pekuburannya—yang  terletak di ujung kampung, yang terjuluk sebagai dua kuburan paling bergengsi sekampung lantaran hanya dua kuburan itu lah yang bertembok batu bata dengan nisan besar lengkap dengan nama, tanggal lahir, tanggal kematian, berikut jasa-jasanya semasa hidup, yang sudah barang tentu berbeda jauh dengan kuburan orang-orang kampung biasa—menjadi keramat dan selalu ramai didatangi orang-orang kampung untuk dimintai karamah bagi mereka yang hendak menikah atau berangkat ke Arab Saudi untuk menjadi pembantu rumah tangga.

Bertahun-tahun setelah kematian Siti Kamilah, namanya masih selalu dijadikan senjata para orang tua di kampung itu ketika hendak memberangkatkan anak-anak perempuan mereka menjadi pembantu ke Arab Saudi dan Nyi Rosimah, namanya selalu dijadikan contoh betapa bahagianya seorang anak perempuan yang menikah dengan pilihan orang tua mereka. Sedangkan bagi mereka—anak-anak perempuan miskin, namun pembangkang seperti Jubaedah dan beberapa perempuan lain di kampung itu—yang menolak untuk berangkat ke Arab Saudi atau menolak untuk dinikahkan paksa dengan alasan ingin melanjutkan sekolah hanya akan menjadi bahan tertawaan orang-orang kampung. Sebab, sosok siapa yang bisa dijadikan panutan bagi orang-orang kampung bahwa anak-anak perempuan mereka yang sekolah tinggi bakal sesukses Siti Kamilah atau Nyi Rosimah? Tak ada. Tidak ada!

Sebut saja kisah Romdanah, anak tukang tambal ban yang memilih untuk melanjutkan sekolahnya dibanding menjadi pembantu di Arab Saudi atau menikah dengan pilihan orang tuanya. Kisahnya hingga kini menjadi lelucon bagi orang-orang kampung lantaran sosok Romdanah mati dengan tetap membawa gelar guru honorer-nya hingga ke liang lahat. Semasa hidupnya, tak ada satu pun, dari ujung jempol sampai ujung rambutnya, yang layak dijadikan panutan dari sosok Romdanah. Harta orang tuanya habis untuk biaya sekolahnya. Setelah lulus, ia menikah juga dengan seorang guru honorer yang sampai ajal menjemputnya tak pernah sekali pun dilirik oleh Dinas Pendidikan untuk diangkat menjadi seorang pegawai negeri sipil. Kehidupannya terlunta-lunta, hutang di mana-mana, kedua anak perempuannya akhirnya terpaksa berangkat menjadi pembantu rumah tangga di Arab Saudi untuk melunasi hutang-hutang Romdanah dan suaminya.

Coba pergilah ke pemakaman di kampung itu. Pekuburan Romdanah dan suaminya ambles dan tak berbentuk laiknya sebuah kuburan. Bambu-bambunya tenggelam ke dasar, batu nisannya hilang entah kemana, serta rumput-rumput ilalang bermekaran di sana-sini. Dan, mudah bagi orang-orang kampung untuk memilih siapa di antara mereka yang dijadikan panutan. Lihat saja bagaimana bentuk kuburannya. Dari bentuk kuburan, mereka bisa menilai seberapa terhormatnya sosok itu.

Maka, sia-sia rasanya, Jubaedah mengurung diri di kamarnya untuk mogok makan, mogok mandi, mogok mencuci, mogok masak, dan mogok-mogok lainnya hanya untuk menolak keputusan ayahnya yang meminta ia berangkat ke Arab Saudi dengan alasan ingin melanjutkan sekolah. Selain nanti ayahnya menjadi bulan-bulanan orang-orang kampung lantaran tak becus mendidik anak, Jubaedah pun tentu saja bakal dijuluki sebagai seorang perempuan pembangkang yang disumpah bakal bernasib sama nelangsanya dengan sosok Romdanah.

Sebenarnya, kisah Siti Kamilah, Nyi Rosimah, atau si Romdanah hanyalah kisah-kisah usang yang sudah puluhan tahun dirawat dan dituturkan ke setiap generasi demi generasi. Tentu saja, setiap generasi mencoba peruntungan memilih panutannya masing-masing. Sampai sekarang, belum ada contoh serupa yang bernasib sama seperti panutan mereka, baik Siti Kamilah maupun Rosimah—sang legenda itu, meskipun berkali-kali kisah-kisah itu diturun-temurunkan, dipuja-dambakan, atau dikeramatkan. Malah, para penganutnya banyak yang bernasib sial, semisal tak pulang-pulang ke kampung halaman lantaran menjadi pembantu permanen di Arab Saudi, ada juga yang malah makin melarat ketika dinikahkan paksa, dan ada juga yang mati di tali gantungan lantaran tak sengaja membunuh anak majikan seperti apa yang dialami Rusniti, ibunya Jubaedah.

Orang-orang yang memilih peruntungan dengan menyekolahkan anaknya setinggi-tingginya juga tak jauh berbeda dengan pendahulunya, Romdanah. Para sarjana-sarjana itu—khususnya sarjana-sarjana perempuan di kampung itu— selain ijazahnya hanya digunakan sebagai pajangan ruang tamu, nasibnya pun paling keren menjadi tukang penjaga loket bank atau pegawai di pabrik-pabrik yang berdiri di dekat-dekat kampung itu yang kemudian tetap saja, anak-anak mereka nantinya terpaksa dinikahkan atau diberangkatkan ke Arab Saudi menjadi pembantu untuk memenuhi kebutuhan hidup seperti makan, jajan seblak, membeli kuota internet, bedak, sepeda gunung, atau telepon keluaran terbaru.

***

Jubaedah masih mengurung dirinya di pojok kamar selama dua hari satu malam tanpa makan, minum, dan mandi. Wajahnya sampai pucat pasi, suaranya serak, perutnya keruyukan, kepalanya pening, dan matanya sembab. Ia masih saja bersikeras untuk menolak keputusan ayahnya dan tetap mempertahankan keinginannya untuk melanjutkan sekolah walaupun ia menyadari sendiri bahwa keinginannya itu serupa melempar batu menembus langit. Tidak mungkin. Tidak mungkin. Sekali lagi, tidak mungkin. Bukan saja karena ia seorang perempuan, tetapi sebenarnya yang menjadi penghalang paling besar ialah lantaran ayahnya miskin. Jangankan untuk melanjutkan sekolah, ayahnya mati hari ini pun, ia tak tahu bagaimana cara membayar tukang gali kubur untuk menguburkan mayat ayahnya. Pekerjaan ayahnya yang hanya buruh serabutan itu hanya cukup untuk makan dua kali sehari dan sisanya dibelikan kecubung untuk mabuk-mabukan di pos ronda. Jangankan untuk membayar SPP, meminta lima belas ribu rupiah untuk membeli kutang baru di pasar malam saja, ayahnya tak menyanggupi.

Maka sebenarnya, pilihan paling aman bagi dirinya adalah berangkat ke luar negeri untuk mengumpulkan pundi-pundi uang yang kelak bisa Jubaedah gunakan untuk melanjutkan sekolah atau menguburkan ayahnya. Tetapi, ia selalu ketakutan ketika mendengar hal-hal yang berbau pembantu rumah tangga, TKW, atau Arab Saudi. Ia masih mengalami trauma. Ia takut bernasib sama seperti ibunya, Rusniti yang tewas di tali gantungan Arab Saudi.

Sembari mendengarkan teriakan ayahnya yang persis seperti bunyi harimau kelaparan itu, Jubaedah masih saja menimbang-nimbang jalan hidup mana yang ia akan pilih.

“Dah, kau jangan berpikir yang tidak-tidak. Ayah melakukan ini untuk kebahagiaan kamu, Dah!” teriak ayahnya.

“Ayah bohong! Ibu ke Arab Saudi tidak bahagia. Dia mati di tali gantungan. Apa kau ingin aku bernasib sama dengan ibu?!” bantah Jubaedah dengan suara yang parau.

“Sudah, Dah, jangan kau ungkit itu melulu. Ibumu sedang bernasib sial saja. Siapa tahu kau bernasib seperti Nyi Siti Kamilah. Hidup kita kan setiap harinya mengundi nasib. Pikirkan itu, Dah!”

“Siapa orang kampung ini yang bernasib sama seperti Nyi Siti Kamilah keparat itu. Itu hanya dongeng.”

“Tutup mulutmu, Dah! Kau nanti dilaknat orang-orang kampung!” gertak ayahnya.

Jubaedah diam.

“Keluarlah, Dah. Kita ini orang miskin. Kau tak usah centil sok-sok-an mau kuliah segala. Untuk beli telur sekilo saja, ayahmu ini tak mampu, apalagi untuk kuliah, Dah! Ayo keluar! Kau mau mati konyol di kamarmu, Hah!? Kalau kau mati bagaimana ayah menguburkanmu?! Kau mau dikubur seperti kucing?!”

Jubaedah masih diam.

 “Aku ingin kerja di sini saja. Aku tak mau ke Arab. Aku takut. Lagipula aku punya ijazah.”

“Kau mau kerja apa di sini? Kuli panggul? Buruh pabrik? Buruh tani? Kau ini perempuan! Memang kau berani merantau ke kota? Kau hanya lulusan Aliyah kampung. Mereka yang lulusan sarjana saja banyak yang luntang-lantung. Kau tahu tidak, Dah, ijazah-ijazah semodelmu itu banyak yang digunakan untuk bungkus gorengan, Dah.”

Jubaedah diam.

“Atau begini saja. Kemarin ayah sempat ngobrol dengan Mang Romli. Kau tahu anaknya, si Rosyidin itu? Bagaimana kalau kau menikah saja dengannya kalau kau memang tak mau ke Arab? Meskipun si Rosyidin itu bodoh, dia rajin mencari uang.”

Jubaedah masih diam. Tetapi ia kemudian berpikir mengenai pilihan kedua dari ayahnya. Betapa ia juga memikirkan kata-kata ayahnya bahwa hidup ini ialah undian nasib. Daripada ia menghilangkan rasa traumatiknya dengan memilih berangkat ke Arab yang bisa jadi akan bernasib sama dengan ibunya, barangkali menikah dengan Rosyidin adalah pilihan yang lumayan baik baginya. Pikirnya. Ia juga mengenal Rosyidin. Seorang laki-laki, yang ia tahu, pendiam, tak banyak tingkah, tetapi pekerja keras.

 “Bagaimana, Dah? Kenapa kau diam? Kau mati?

 “Baiklah.”

 “Baiklah apa?”

 “Aku mau menikah dengan Rosyidin.”

“Serius, Dah? Kalau begitu keluarlah. Ada telur dadar di dapur. Makanlah, lalu mandi. Nanti kita bicarakan ini dengan Mang Romli.”

***

Entah untung atau buntung, tak ada angin tak ada hujan, sepulang kerja, Rosyidin tiba-tiba ditawari menikah oleh ayahnya. Ia—selayaknya laki-laki normal lainnya—sebenarnya memendam keinginan untuk lekas menikah. Tetapi karena ia tipikal orang pemalu dan pendiam, jadilah di usianya yang menginjak dua puluh delapan tahun itu, belum ada satu pun perempuan yang ia dekati atau mendekatinya. Rosyidin pun menerima dengan pasrah-pasrah saja lantaran inilah barangkali kesempatannya untuk menikah sembari semesta kepalanya membayangkan bersetubuh dengan seorang perempuan di ranjang sebagaimana yang sering ia lihat di film-film porno atau cerita-cerita kawan kerjanya yang sudah lebih dulu menikah.

Sebulan kemudian, pesta pernikahannya digelar dengan amat sederhana. Ia pun resmi menjadi seorang suami dari seorang perempuan berusia delapan belas tahun, Jubaedah. Ia pun tinggal di rumah Jubaedah bersama ayah mertuanya, Jumadil.

Sebulan, dua bulan, tiga bulan, empat bulan usia pernikahan Jubaedah dan Rosyidin tampak adem-ayem saja. Rosyidin tetap menjalani kegiatan rutinnya. Berangkat kerja pukul setengah delapan dan pulang pukul empat sore. Yang menjadi pembeda ialah, kini ia memiliki istri. Itu artinya ada yang mengurusi segala keperluannya. Ada yang memasak untuk makannya, ada yang mencuci semua pakaiannya, ada yang memijit tubuhnya ketika pegal-pegal, ada tempat berkeluh kesah untuk bercerita, dan ada tempat untuk mencurahkan nafsunya dan tidak lagi melakukan ritual bermain sabun atau memilin-mengusap kelaminnya sendiri sebelum tidur seperti yang biasa ia lakukan. Jubaedah pun begitu. Baginya, memasak, mencuci, bersih-bersih rumah, memijit ayahnya adalah kegiatan yang lazim ia lakukan. Yang baru adalah ia memiliki suami di mana kegiatan malamnya menjadi bertambah yakni mengangkang.

Empat bulan usia rumah tangga mereka, Rosyidin mulai kesal dengan ayah mertuanya, Jumadil. Ayah mertuanya ini ongkang-ongkang kaki menikmati uang bulanan yang ia berikan kepada Jubaedah. Rosyidin juga sering memergoki mertuanya mabuk kecubung dan sering masuk-keluar tempat pelacuran. Lantaran kebiasaan ini, Rosyidin lambat laun kesal dan jengkel dengan perangai ayah mertuanya. Makan tinggal makan, tidur seenaknya, menyuruh Rosyidin ini-itu, dan rutin meminta uang.

Hingga pada suatu hari, Rosyidin mulai berubah sikapnya. Ia jadi lebih mudah tersulut emosinya, sering telat pulang ke rumah, serta lebih senang berlama-lama di warung kopi. Dari warung kopi inilah, ia banyak mendapat nasihat dari orang-orang kampung untuk lebih baik berpisah tempat tinggal dengan ayah mertuanya dan membangun rumah sendiri bersama Jubaedah. Namun, Rosyidin menyadari bahwa sebagai seorang buruh pabrik yang gajinya hanya dua juta lima ratus ribu rupiah sebulan itu tentu saja tak bakal mungkin bisa membeli sepetak tanah dan mendirikan bangunan di atasnya. Ia kemudian terngiang-ngiang dengan nasihat dari salah satu orang kampung untuk membujuk Jubaedah berangkat ke Arab Saudi. Karena selain cara itu atau cara menggelapkan dana desa, warga kampung tak bakal sanggup membangun rumahnya sendiri. Sebagai seorang suami anyar dan pemuda yang jarang nongkrong, ia telan mentah-mentah nasihat itu seperti sebuah titah yang turun dari langit. 

Benarlah, di suatu sore sepulang kerja, Rosyidin menghampiri Jubaedah yang sedang memanaskan makanan. Ia mengajaknya duduk di belakang rumah untuk membicarakan niatnya pada Jubaedah.

“Tapi, Kang, kau tahu sendiri kalau aku trauma dengan Arab Saudi. Ibu digantung di sana, Kang. Bukannya aku sudah menceritakan soal itu dan kau berjanji untuk tidak menyuruhku berangkat ke sana, sesusah apapun hidup kita. Kau ingat itu kan, Kang?" ujar Jubaedah tak menyangka bahwa suaminya akan membujuk ia untuk berangkat ke Arab Saudi. Ia begitu kecewa. Ia merasa bahwa suaminya tak jauh berbeda dengan ayahnya, juga kebanyakan laki-laki lain di kampung itu. Ia merasa bahwa ia telah keluar dari kandang harimau, tetapi di hari itu juga, ia seperti masuk lagi ke kandang buaya.

“Iya, Neng, aku mengerti. Tetapi kau tahu sendiri bahwa hidup berumah tangga bersama mertua itu tidak enak. Ini demi kebahagiaan rumah tangga kita, Neng.”

Jubaedah diam. Dadanya sesak. Matanya seperti memaksa air untuk mengguyur tanah sederas-derasnya detik itu juga. Jika sebelumnya ada satu pilihan lain untuk menghindari pemberangkatannya ke Arab Saudi yaitu menikah dengan Rosyidin, kali ini tak ada pilihan lain selain menuruti permintaan suaminya dengan mempertaruhkan rasa takutnya. Sebab jika ia menolak, melihat dari gelagat suaminya akhir-akhir ini, rumah tangganya akan menemui malapetaka. Dan itu tentu saja satu hal yang tak Jubaedah inginkan.

 “Tidak lama, Neng. Dua tahun saja. Nanti kita kumpulkan gajimu dan kita gunakan untuk membuat rumah di seberang lapangan bola sana.”

Dengan berat hati, akhirnya Jubaedah menerima permintaan Rosyidin untuk berangkat ke Arab Saudi. Ia mengorbankan rasa takutnya demi cita-cita mulia Rosyidin—juga tentu saja cita-citanya, untuk membangun rumah tangga yang bahagia bersama Rosyidin. Dan Jumadil, ayahnya, merasa senang sekaligus juga sedih mendengar kabar itu. Senang lantaran ia memiliki harapan untuk anaknya bahagia seperti Siti Kamilah. Sedih karena dalam upaya pengundian nasib anaknya ini, ia takut anaknya bernasib sama seperti istri tercintanya, Rusniti, yang mati di tali gantungan Arab Saudi

***

Setelah Jubaedah terbang ke Arab Saudi, Rosyidin kembali ke kehidupan semulanya sebelum menikah dengan Jubaedah. Berangkat kerja pukul setengah delapan. Pulang pukul empat sore. Mengurung diri di kamar sembari membayangkan wajah perempuan sembari mengusap-usap kelaminnya sendiri untuk dapat tertidur pulas. Begitu terus menerus, setiap hari. Bedanya, sebelum menikah, perempuan yang Rosyidin bayangkan bervariasi. Kadang tetangganya, kadang tukang jamu gendong, kadang tukang nasi uduk di pengkolan kampung, kadang sekretaris bos di pabrik, kadang bibi-nya sendiri, atau kadang perempuan lain yang masih ia ingat baru ia temui di jalan. Kali ini, Rosyidin membayangkan Jubaedah seorang. Ia jadi rindu dengannya. Pada tutur katanya yang lembut itu, pada masakannya yang gurih nan enak itu, pada pijitannya yang membikin merem melek itu, dan tentu saja pada cumbuan mesra dan pelukan yang penuh nafsu itu. Semua kenangan-kenangan itu berputar-putar setiap malam di kepalanya.

 “Bagaimana kau rindu denganku atau tidak, Neng?”

 “Rindu, Kang.”

 “Apa momen yang paling membuat kau rindu, Neng?”

 “Makan sepiring berdua sembari memandangi semak-semak di belakang rumah.”

 “Hanya itu saja?”

 “Jalan-jalan di pinggir sungai sambil lihat ikan-ikan sekarat karena limbah.”

 “Terus?”

 “Minum kopi pagi-pagi di depan rumah sambil lihat ayam mengorek-ngorek tanah.”

 “Terus?”

 “Bercumbu denganmu.”

 “Aku juga. Kalau kau pulang, nanti kita coba semua gaya yang pernah kita tonton.”

 “Baiklah. Ah”

Tetapi tak ada yang tahu bagaimana nasib Jubaedah di sana—di Arab Saudi sana. Lantaran Jubaedah pun tak mau membikin orang-orang di rumah cemas, maka ia memilih untuk tidak menceritakan apapun kecuali yang enak-enak saja. Padahal ia sering kali mengalami segala macam penderitaan yang membuat ia selalu menangis di pojok kamar setiap malam.

Dan, kebanyakan orang-orang rumah memang tak begitu risau selama mereka masih dapat membeli beras, lauk pauk, baju baru, telepon baru, motor baru, membangun rumah, membeli perabotan, dan perhiasan dari hasil kiriman setiap bulan. Begitupun dengan Rosyidin dan Jumadil. Rosyidin tak risau dengan nasib Jubaedah, ia hanya rindu bersenggama. Jumadil juga tak risau dengan anaknya, ia hanya risau apabila Rosyidin—menantunya yang sialan itu, yang semenjak tak ada Jubaedah jarang pulang ke rumahnya dan memberinya uang itu—tak memberikan jatah kiriman anaknya kepadanya.

Karena itulah, Jumadil jadi jengkel dan suatu ketika mengadu yang tidak-tidak kepada Jubaedah dengan mengarang-ngarang cerita bahwa Rosyidin doyan menghambur-hamburkan uang, doyan mabuk-mabukkan, dan doyan main perempuan. Mulanya Jubaedah tak mempercayai omong kosong ayahnya, tetapi lambat laun, manusia biasa seperti Jubaedah, akhirnya terhasut juga oleh ayahnya.

 “Kang, cobalah kau berhenti untuk buang-buang uang, mabuk-mabukkan, dan main perempuan.”

 “Kau bahas itu lagi, Neng? Jangan dengarkan ayahmu yang keparat itu. Dia hanya tak mendapat jatah kirimanmu. Mangkanya dia memfitnahku. Lama-lama kubunuh ayahmu itu!”

Pertengkaran-pertengakaran kecil itu lambat laun semakin membesar, kemudian mengecil lagi, kemudian membesar lagi, begitu seterusnya. Sesekali Rosyidin memang mengunjungi rumah mertuanya. Bukan lantaran ia menghormatinya dan menjenguknya. Tetapi ia ingin menyumpal mulutnya untuk berhenti menuduh dirinya bertingkah yang tidak-tidak dan memastikan bahwa malaikat maut sudah bersedia menjemput ayah mertuanya. Sebulan, dua bulan, ayah mertuanya diam, namun ketika persedian kecubung dan kelaminnya sudah kelojotan, mulutnya kembali berceracau menebar fitnah kepada Jubaedah. Hingga dua tahun sudah Jubaedah di Arab Saudi dan sebulan lagi tenggat waktu kontraknya habis, kabar buruk menimpanya. Ia tak diperbolehkan pulang dan harus, mau tidak mau, menambah dua tahun lagi menjadi pembantu di sana. Kalau Jubaedah menolak, ia akan diperkarakan karena melanggar kontrak kerja dengan majikannya.

Mulanya Jubaedah menolak dan sempat melawan. Tetapi, demi rumput ilalang yang bergoyang, Jubaedah adalah perempuan dari negeri antah-berantah yang kini tinggal di negeri suci nan mulia, negerinya para nabi. Sekuat apapun ia melawan, ia pasti kalah dan harus tetap menurut kalau tak ingin lehernya menggantung di tali gantungan dan ditonton banyak orang berjubah dan berjenggot. Kabar ini tentu saja membikin Rosyidin terpukul.

Mendengar kabar itu, Jumadil, meninggal lantaran terkena serangan jantung. Rosyidin yang sudah dua tahun ini menahan gejolak nafsu, harus meredamnya kembali dengan sekuat tenaga. Ia jadi sering uring-uringan. Doyan kelayaban malam-malam. Suka mabuk-mabukan. Rosyidin juga mencurigai bahwa Jubaedah bermain api dengan orang Arab. Kabar bahwa Jubaedah tak dibolehkan pulang oleh majikannya itu, menurut Rosyidin, hanya berita karangan Jubaedah sendiri.

“Kau pasti sudah sering tidur seranjang dengan majikan laki-laki kan!? Mengaku saja perempuan sialan!”

Jubaedah hanya menangis.

 “Ayo mengaku!”

Tangis Jubaedah semakin nyaring. Telepon ditutup.

Saking tak kuatnya ia mengontrol gejolak nafsunya, Rosyidin yang mulanya tak berani mencoba meniduri perempuan-perempuan di pelacuran, kini, lantaran juga terhasut oleh kawan-kawannya, jadi beringas melebihi almarhum ayah mertuanya. Ia hampir setiap malam mendatangi tempat itu untuk bergonta-ganti pasangan dan bergonta-ganti gaya. Dari pelacur yang kelas ekonomi hingga pelacur kelas kakap, semua sudah pernah ia jajaki untuk bermain berbagai macam gaya.

Uang kiriman istrinya ludes untuk mabuk dan main perempuan. Hingga puncaknya adalah ketika ia sedang asyik mencumbui perempuan ke dua ribu delapan ratus tujuh puluh, istrinya, Jubaedah pulang dan memergokinya.

***

Saking tidak terimanya Jubaedah, ia pun lari ke dapur mengambil sebilah pisau. Pikirannya kalut. Hanya ada satu hal di dalam kepalanya. Membunuh Rosyidin dan perempuan selingkuhannya itu. Rosyidin dan selingkuhannya, yang sedari tadi ketakutan, terkesiap melihat Jubaedah keluar dapur dengan mata menyala dan menggenggam pisau di tangannya. Alih-alih kabur, Rosyidin berupaya menenangkan Jubaedah untuk tidak berbuat sembronoh. Kesempatan ini pun digunakan Jubaedah untuk menyeret baju suaminya dan menusuk perutnya dengan sebilah pisau itu berkali-kali. Rosidin menggelepar di lantai dengan darah yang membanjiri tubuhnya. Selingkuhannya ketakutan dan berteriak meminta tolong mendengar adegan itu. Namun, Jubaedah yang sudah kepalang dirasuki kemarahan, lekas mengejar perempuan itu dan mencabik-cabik punggungnya.  []

 

Sul Ikhsan. Lahir di Serang, 18 Mei 1998. Menulis puisi, cerpen, dan esai. Ia sedang aktif menulis Puisi Jawa Banten  dan tengah menyelesaikan Novel Bahasa Jawa Banten pertamanya. Tulisannya tersebar  di beberapa media lokal dan nasional. Buku kumpulan cerpen pertamanya berjudul Nadran dan Cerita Orang-Orang Kalah Lainnya (2020). Saat ini ia aktif di Komunitas Menulis Pontang-Tirtayasa (#Komentar) dan sedang dipercaya sebagai Pemimpin Redaksi NGEWIYAK.com. Bisa dihubungi melalui @sulikhsan.

 

 

Posting Komentar

0 Komentar