Abdullah Mushabbir: Kepala di Bawah Ranjang dan Puisi Lainnya


Tidak Mencuci Gelas

aku memikirkan berahi

tapi sejak tadi kepalaku menerima wahyu di kamar mandi

“ilham-ilham baru, wanita-wanita jatuh hati”

seharusnya aku menulis itu

tapi hati ini tidak pernah mampu

 

padahal kau pernah berbincang dengannya

menyarankan sebotol arak baru aroma bambu

“tidak, aku tidak mau,” ucapnya

kau selalu berselera babu

dan telingaku di masa lalu

 

“kau sendiri yang bersaksi,

berjanji bersama sang patih menyatukan negeri ini.”

tapi ucapan itu hanya membekas di bibir

tak pernah terdengar dalam pelabuhan-pelabuhan negeri

karena kau tidak pergi sendiri

 

wanita itu menipuku,

dengan segelas arak bambu dan koin-koin perak Kampuchea

maka kukirimkan beribu batu di bawah kepalanya

menyelinap hutan dan rembitan

aku tidak sempat menerima balasnya

 

karena aku tidak mencuci gelas

 

 

Kepala di Bawah Ranjang

 

menemuimu tidak pernah mudah; aku perlu menunjukkan kartu tanda cinta

atau kesetiaan bertabur bunga-bunga

sampah di kasurmu juga perlu dibelah

darinya merayap laba-laba tanpa bejana

 

karena kita memang tidak pernah mudah; sesuatu menghalangi masing-masing diri untuk memulai

piring kotor yang tak dicuci lebih baik

ryan mengatakan untuk menggunakannya saja

hutan di tengah kota tak pernah berisik

 

karena sudah tertanam dalam pot-pot vertikal

aku menggunakan bayanganmu untuk bersembunyi dari mentari

menahan rindu dari bunga-bunga janda

monstera adansonii atau apa namanya

 

dan nanti kalau terjadi lagi apa yang kualami

kuharap kau baik-baik saja dan tak apa

pantai di sudut Jawa memeluk Banyuwangi

kita tak pernah tahu hingga merasakan sendiri

 

kehangatan itu, hanya kutemukan dalam mimpi

 

Tersipu Malu-Malu

:Menyambut Hari Buruh Satu Mei

hendak menyebut nama-nama pahlawan

namun wajah mereka sudah terpampang di pertigaan

kota kecil tetap menyemangati, namun harapan adalah kehilangan

 

pembersih tangan, sikat gigi, tisu basah dan

buku tak laku

 

mereka berbicara tentang teori-teori seabad lalu

berteriak di jalanan sekaligus membisu

 

seketika mereka ditanya dalam sorotan kamera

“aku tak tahu, aku dibayar oleh seseorang

yang mati di abad dua puluh.”

 

mereka juga lahir di eropa barat, menghirup napas pabrik yang berbeda

 

namun kini kita menghisapnya, menyedot bunga-bunga hitam dalam gumpalan penya

 

Abdullah Mushabbir, seorang penulis amatir. Temui saya di Instagram @diniatkan_murojaah

 

Posting Komentar

0 Komentar