Cerpen Abdullah Mushabbir: Klien No. 36


Pumpkin, pumpkin

You’re gonna kill me

Pumpkin, pumpkin

La, la la la la, la

(The Regrettes - Pumpkin)

Ia terkejut melihat seorang wanita masuk ke kamarnya. Ia sedang mendengarkan Pumpkin dari radio ketika wanita itu masuk begitu saja, menggeser jendela dan bertengger di sana. Kamu siapa? Apa yang hendak kau lakukan? Wajahnya menunjukkan tanda tanya. Namun wanita itu lebih terkejut: ia tak menyangka laki-laki yang menghubunginya sebulan lalu itu duduk-duduk saja di hadapannya, menghadap pada dinding penuh dengan poster gadis-gadis jelita..

“Apa yang kau lakukan?” Wanita itu bertanya.

Hening di udara. Butuh waktu lama untuk laki-laki itu membalas pertanyaannya, “Bukannya aku yang harus mengatakan itu?”

“Tidak. Aku yang seharusnya mengatakan itu.” Wanita itu menimpali.

“Kenapa?”

“Karena kau berjanji akan mati hari ini.”

Hening di udara untuk kedua kalinya. Wanita dan laki-laki itu menatap mata satu sama lain. Keduanya tak berjanji untuk berkompetisi, namun tak ada yang mengedipkan mata. Pada suatu titik laki-laki itu kalah dan mengumpulkan kesadarannya. Ia kini berusaha memahami apa yang terjadi di hadapannya.

“Begini,” ia memulai. “Seharusnya kau mengetuk pintu lebih dahulu, memperkenalkan diri dan meminta izin untuk masuk–itupun kalau kita saling mengenal. Namun kita tidak saling mengenal, jadi tolong beri penjelasan apa yang sebenarnya terjadi.”

“Jangan bilang kau lupa.”Jawaban wanita itu membuat runyam suasana. Laki-laki pemilik kamar semakin tidak mengerti.

“Melupakan apa?”

“Janjimu,” balas si wanita. “Kau berjanji akan mati hari ini?”

“JANJI MACAM APA ITU?” si pemilik kamar meledak. Ia berdiri dan melempar meja kecilnya ke jendela. Wanita itu hanya menutup wajahnya agar tidak terluka. Pakaian hitamnya cukup keras dan banyak pelindung terpasang di tubuhnya. Ia bahkan tidak peduli kalau lelaki itu melempar kompor. “Dan kita tidak saling mengenal! Aku tak perlu berjanji apapun kepadamu!”

Berbanding terbalik dengan si lelaki, wanita itu cukup tenang. Ia melepaskan pegangannya pada jendela dan tak lagi bertengger di sana. Akan repot kalau penduduk di sini melihatku. Ia menghembuskan napas, lalu duduk sembari merapikan barang-barang yang terlempar di lantai. “Bagaimana kalau kau duduk dahulu, dan kita membicarakannya.” Hening di udara. Lelaki itu masih tidak percaya dengan penglihatannya, namun memutuskan untuk keluar.

“Jangan kabur.”

“Santai saja, aku hanya ingin mengambil segelas air.”

Lelaki itu turun dari lantai dua, masuk ke dapur dan duduk di meja makan. Ia meminum air langsung dari teko, lalu menenangkan diri. Berkali-kali ia menarik napas dan menghembuskannya. Hatinya penuh kekhawatiran dan berbagai macam skenario berkelebat dalam pikirannya. Ia sadar tak seharusnya kabur dari situasi itu, melihat tidak adanya tanda bahaya. Namun wanita itu berkali-kali mengatakan “mati” seolah-olah wajar dan tak perlu dipikirkan dua kali.

Empat tahun setengah berkuliah mengajarkannya untuk tidak cepat membuat kesimpulan atau bersikap hanya dengan mengandalkan asumsi. Semua hal memerlukan jawaban dan penjelasan. Dalam hal ini, otaknya mulai menyusun pertanyaan apa saja yang hendak ia ajukan. Satu per satu pertanyaan itu muncul seiring dengan anak tangga yang ia naiki. Namun ia berjalan terlalu pelan, atau karena pikirannya yang kalut tanpa ia sadari, ia berpikir terlalu lama. Ketika ia hendak mengarah ke kamarnya, ia bisa melihat wanita itu mengintip dari balik pintu. Ia sedikit terkejut, namun berusaha menyembunyikannya.

*****

“Namaku Zahra, kita bertemu sekitar sebulan lalu…”

Selanjutnya adalah cerita yang tidak bisa ia tampung dalam kepalanya. Zahra adalah pembunuh bayaran dengan tiga tahun pengalaman. Pada suatu saat, ia mendapat panggilan dari sebuah nomor tak dikenal, yang kemudian disimpan dalam ponselnya sebagai Klien No. 36. Ketika ia menghubungi klien itu, ia akhirnya bertemu dengan dirinya, namun lelaki itu masih belum juga memahami apa yang terjadi. Sebulan yang lalu? Rasanya aku sedang berada di pulau lain.

“Kalian bertemu di mana?” Lelaki itu mencoba bertanya. (Kita akan terus menulisnya sebagai Klien No. 36)

“Kalian? Kita.” Wanita itu berusaha mengoreksi. “Kita bertemu di Pusat Perbelanjaan itu, sama-sama memesan red velvet karena kita menyukainya. Lalu kau dengan takut dan wajah pucat mengatakan hendak bunuh diri.”

“Bunuh diri?” Klien no. 36 masih tak percaya. Ia memang menyukai red velvet karena rasanya, namun bunuh diri?

“Ya. Kau ingin bunuh diri.” Wanita menarik lengan bajunya, mencontohkan. “Tanganmu penuh goresan-goresan tipis: kau sudah mencoba memotong urat nadimu sendiri, namun tak berani.”

Seketika saja Klien No. 36 melihat lengannya dan menunjukkan pada si wanita bahwa tak ada luka. “Aku bukan orang yang kau temui.”

“Tapi itu benar-benar dirimu! Aku masih mengingatnya!”

“Lalu kenapa aku hendak bunuh diri?”

“Nilai kuliah? Keluarga? Nasib cinta? Tak tahulah aku apa alasanmu! Untuk apa aku peduli?” Di titik ini wanita itu hendak berdiri dan meluapkan kemarahannya. Ah, ada-ada saja kelakuan orang-orang ini!  Ia kemudian teringat dengan berbagai permintaan klien-klien sebelumnya, namun tak ada yang seaneh ini. Mungkin mereka hanya ingin targetnya dibunuh ketika sedang mandi, atau menembak tepat di mulut sedangkan ia bukan sniper yang berpengalaman di militer, tapi hanya bermodalkan pisau dan keberanian. Ia tak percaya kali ini, di hadapannya, ada orang yang meminta agar dirinya sendiri dibunuh, namun tak jadi.

“Kalau begitu kau tidak punya alasan untuk membunuhku, bukan?” Lelaki itu mencoba membela diri. “Toh aku juga tak punya alasan untuk mati.”

Wanita itu tak bisa menjawab. Ia tiba-tiba teringat dengan kejadian lain yang juga melibatkan lelaki itu. Ia pernah bertemu lagi dengan Klien No. 36! Namun mereka tak hanya bertemu, tetapi juga saling melepas baju. Lelaki itu memasang wajah jijik ketika wanita itu mulai bercerita. Ya, mereka menikmati surga dunia, menjadikan ranjang yang mereka tempati di penginapan murah itu sebagai lautan imajinasi. Berbagai posisi mereka coba. Bahkan momen ketika keduanya benar-benar mencapai puncak secara bersamaan juga ada.

“Kau sangat hebat malam itu.” Wanita itu mengatakannya seolah-olah memberikan testimoni. Namun lelaki itu masih tidak bisa membayangkannya, sekeras apapun ia mencobanya. Wanita di hadapannya memang tampak… lumayan… cantik: wajah putih tirus, rambut hitam pendek sebahu, dan tubuh yang… proporsional? Entahlah. Tak seharusnya Klien No. 36 mencoba memikirkan kemungkinan mereka tidur di atas satu kasur.

“Seharusnya aku tak sehebat itu.” Ia membalas sekenanya, berharap wanita itu tak melanjutkannya. “Lagipula di mana kalian bertemu sehingga harus saling membuka baju?”

“Hei, jangan bilang kau melupakan itu juga!!!” Wanita itu mulai marah. Ia mengambil pisau dari balik sabuknya dan menghunuskan ke wajah klien itu. “Kita bertemu di zona merah kota. Sudah seharusnya kita membuat surga kecil di sana!”

“Tapi aku tak pernah ke sana! Sekalipun!”

“Lalu siapa yang aku temui selama ini?”

“Aku tak tahu!”

“Bagaimana dengan kenyataan bahwa ini nomormu? Bukankah aku harus membunuhmu saat ini? Sekarang juga?”

“Tapi aku tak berniat mati sekalipun. Kau bertemu dengan orang yang berbeda!”

“Aku masih mengingatnya!” Wanita itu berhenti berteriak. Ia memberikan kesempatan pada dirinya sendiri untuk mengatur kesadaran. Kini ia berbicara dengan lebih pelan. Malam sudah larut dan tak seharusnya pembunuh sepertinya berteriak dengan klien yang juga target pembunuhannya. “Kalau begitu aku akan kembali di lain waktu. Di saat itu, aku sudah membunuhmu.”

Lelaki itu mengantarnya ke jendela. Wanita itu memanjat dinding dan melompat ke atap. Ia sempat mendengar suara derak genteng, namun kemudian hening kembali di udara. Setelah yakin wanita itu benar-benar pergi, ia kembali duduk di lantai, menyandarkan kepala pada kedua tangan. Matanya menatap poster-poster wanita cantik di dinding, dan salah satunya adalah Zahra; dengan wajah putih tirus, rambut pendek sebahu, dan tatapan dingin dari kedua matanya yang indah.

Ia seharusnya mati malam ini, namun hening di udara kembali menemaninya. Radio memutar lagu baru dalam daftarnya.

 

I need you so much closer

I need you so much closer

I need you so much closer

I need you so much closer

(Death Cab for Cutie - Transatlanticism)


Abdullah Mushobbir 

Posting Komentar

0 Komentar