Cerpen Abdullah Mushabbir: Makan Malam Olivia


Seseorang mengetuk pintu. Karim menjemput suara itu sembari berteriak agar seseorang di baliknya memencet bel saja. Namun tak ada tanggapan. Pintu tetap diketuk dan Karim tahu tamunya sudah datang; tamu yang berjanji akan berkunjung ke rumahnya, menikmati hidangan yang ia buat dengan susah payah bersama sebotol bir besar yang ia bawa sendiri. Namun baru kali ini janji itu terlaksana; mereka tidak sempat duduk bersama karena selalu bertemu di jalanan.

Kalau ditanya, mereka akan beralasan bahwa, “Jalanan adalah sumber penghidupan kami. Tak pantas bagi kami untuk mengganggu satu sama lain.” Dan benar saja, mereka tak pernah duduk bersama kalau bertemu, karena pedang terhunus di antara keduanya, pemukul-pemukul besi berayun dengan darah dan luka. Setiap terik matahari adalah perhitungan tentang strategi, sedangkan malamnya mereka akan mengistirahatkan tangan terkepal. “Besoknya kami akan bertarung lagi, salah satu dari kami harus mati suatu hari.”

Namun malam itu mereka tidak beristirahat. Pertemuan mereka adalah bagian dari gencatan senjata, namun ada yang lebih penting daripada persaingan usaha. Si tamu akan melaksanakan pernikahan esok hari, dan tuan rumah menawarkan diri untuk menyuguhkan meja makannya sebagai sumber kebahagiaan. “Selamat datang,” ia membukakan pintu, menyambut dua botol wiski yang dibawa tamunya. “Namun aku tak akan minum, kau tahu itu.” 

“Ya.” Tamunya menjawab dengan pasti. Senyumnya menyentuh kedua telinga, lalu menepuk pundak sang tuan rumah. “Berikan saja kepada tamumu selanjutnya.”

“Kalau begitu kau harus datang lagi.” Karim mempersilahkan tamunya masuk, melepas sepatu dan melihat-lihat muram rumahnya. “Saya tidak punya banyak tamu.” 

“Apakah aku perlu menikah dua kali untuk itu?”

“Tak perlu. Kau bisa datang untuk merayakan perceraian.” 

Keduanya tertawa. Tawa yang murni, asli dan tak mengandung sedikitpun kepalsuan. Karim benar-benar berharap lelaki itu bercerai suatu hari nanti, dan tamunya menerima harapan itu dengan tangan terbuka. Karim mempersilahkannya duduk di meja makan, namun tamunya hendak melihat-lihat dahulu sekujur badan rumah. “Kau tinggal sendiri? Seperti yang kudengar.”

“Kadangkala adikku datang. Adikku dari luar pulau.” 

“Ah, aku juga mendengar cerita itu. Bukankah adikmu pebisnis di sana?”

“Ya. Ia mendirikan perusahaan kertas.” 

“Kenapa kau tak membantunya? Masa depanmu akan lebih cerah.”

“Kalau aku pergi, tak ada yang bisa melawanmu.” Karim merapikan celemeknya untuk menatap mata sang tamu. Wajan berisi pasta udang siap disajikan, namun ia memasak lebih banyak. Karim mengambil buah-buah segar dari atas meja dan memotongnya untuk makanan penutup. Ia akan menyimpannya di kulkas untuk hidangan terakhir. “Dan kau tahu, aku tak bisa membiarkanmu menguasai semuanya. Kota ini terlalu luas untuk dirimu sendiri.” 

“Hei, aku bahkan tak pernah bersikap serakah! Aku hanya ingin menjaga toko-toko orang asing yang dibuka di pojok kota.”

“Karena itulah aku membencimu,” Karim berhenti sebentar untuk melemparkan jawaban. Memenangi perdebatan lebih baik baginya daripada hidangan yang tidak memanjakan lidah. “Kenapa kau membiarkan mereka masuk dengan seenaknya? Mereka hanya pendatang dan tak berhak atas negeri kita!” 

Sang tamu tak menjawab apa-apa. Ia memilih tertawa dan menyalakan radio di samping televisi. Stasiun rock kesukaannya memutar lagu teranyar Shinedown, The Saints of Violence and Innuendo. “Biarkan aku menikmati musik ini, jangan sampai terganggu.”

“Jangan memecahkan apa pun.” 

“Oke.”

Tell me the truth or tell me a lie

Tell me what I gotta say to get outta this room alive

Show me the answers or give me a clue

There's not enough space in the miles between me and you

Oh no, here we go

Here come the saints of violence and innuendo

So tell me the truth, are you really surprised?

You live in a world where empathy goes to die

Tamu itu ikut berteriak ketika mengikuti lagunya, membuat Karim menyipitkan mata, tak menyangka ia akan bertemu dengan lelaki yang memiliki selera musik sama baiknya. Sebelum ia bertanya, tamu itu sudah meminta maaf dan menjawab pertanyaan yang masih tersimpan di kepala, “Kelompok kami mendengarkan lagu-lagu seperti ini. Orang-orang di jalanan menyukainya. Di kelab juga.” Karim sempat berpikir apakah ia musti berkunjung ke kelab juga suatu hari nanti, namun kelompoknya tak terbiasa melakukan itu. Mereka lebih suka berada di rumah ibadah, melakukan sudut panjang di akhir rakaat. 

“Apa kesukaanmu?” tamu itu tiba-tiba bertanya.

“Ha?” 

“Musik. Apa musik yang kau sukai?”

“Apa saja,” jawaban itu membuat sang tamu putus asa, namun Karim menambahkan jawabannya. “Coba cari Synergy.” 

“DGD?”

“Ya. Kau tahu?” 

“Karim, kau temanku!” sang tamu bersikap lebih akrab saat ini. Ia tak lagi memandang Karim dengan kacamata kehormatan atau kebijaksanaan. “Kita seharusnya lebih sering melakukan ini. Kau seharusnya lebih sering bersamaku.” Karim hanya tertawa di dapur, mengupas bawang dan menyiapkan bumbu untuk daging. Kakinya tak berhenti menghentak lantai bahkan sebelum lagu yang ia pesan diputar melalui YouTube di televisi.

“Maafkan aku karena baru menyiapkan makanannya.” 

“Tak apa, santai saja.” Tamu lelaki itu memutar Synergy dan dengan senang hati menyambut teriakan di awal. Seleranya sama. Ia mulai menghentak kepala dan kaki ke udara. Tak peduli kalau-kalau akan ada tetangga yang datang memprotes keributan mereka. “Aku bahkan tak bisa memasak. Aku berharap calon istriku bisa melakukannya dengan baik.”

Waking up

Courage in my cup

Last night was rough

Don't remember much

Waking up

Courage in my cup

Last night was rough

Doing what I love

Hingga akhirnya datang bagian rap yang mereka berdua suka, Karim keluar dari dapurnya dan berduet di depan televisi. 

'Cause I'm like that

Priceless

Finest

Ice white platypus

Blessing the things that I touch

Worship me, worship my stuff

Fitted with a gimmick

Make a cynical wow

Many men went in it

But they couldn't get out

All of the things that we touch

Suck all the life out of us

Kaki mereka terus menghentak, menggetarkan seluruh badan rumah dan sebuah piring di dapur jatuh, pecah berkeping-keping. Di titik itu, DGD berhenti bernyanyi, kedua tamu dan tuan rumah sama-sama mengumpulkan kesadaran mereka dan memutuskan untuk berhenti. Karim kembali ke dapur untuk menyelesaikan masakannya–yang sebenarnya sudah selesai sejak tadi, dan mempersiapkan meja makan. Tamu itu masih di depan televisi, mencari lagu yang lebih pelan agar bisa didengarkan sembari makan malam. Selain pasta udang, Karim juga menyuguhkan steak sapi di atas meja, lalu menuang wiski untuk gelas tamunya. 

“Kau masih ingat kan, perjanjian kita sebelumnya?” Tamunya mengangguk. Mereka mulai makan setelah saling mempersilahkan, lalu diam hingga pagi hari. Sam Fender menyanyikan Seventeen Going Under dari televisi, menemani mereka melihat fajar dan terbitnya mentari di ufuk timur. Sang tamu pergi dahulu, keluar tanpa pamit. Karim berdiri, membuka pintu rumahnya dan melihat gelombang manusia sudah menunggu di hadapannya. Mereka membawa berbagai senjata di tangan, pemukul besi atau kayu bergerigi.

“Kalau kau bisa melawan mereka semua, aku menerimamu dalam resepsi pernikahan kami.” Sang tamu menyetujui klausul itu sebelum mereka makan malam. “Maafkan aku kalau aku sudah merebut wanitamu. Tidak seharusnya aku melakukan itu. Maka, hadapilah takdirmu. Lawan seluruh anggota kelompok kami sendiri, dan aku akan menyerah; kau bisa makan bersama Olivia esok malamnya.” 

 

Abdullah Mushabbir, menulis dan berbagi kehidupannya di instagram dengan nama @diniatkan_murojaah

Posting Komentar

0 Komentar