tapi tak ada memar di lengan
atau darah di ujung jari
sembilan sayap malaikat memang kukuliti
tak ada pun warna merah mengikuti
kucoba mengirim pesan pada Jefni
“Tadz, kalau hendak memesan keripik kentang
ke mana aku harus mengirimkan uang?”
diberinya nomor rekening, tak disebutnya sebuah bank
orang-orang tua di desaku memberi pesan itu
“Cobalah bantu lelaki yang tersesat,
nanti kau akan kembali mencium wangi pekat.”
aku tak percaya sebelum mencobanya,
kumakan satu per satu keripik itu
dan benar saja hilang amis darah dari lenganku
pecahan-pecahan keripik itu memasuki nadiku
bernyanyi di dalamnya dengan suara syahdu
kalau kau hendak berdoa lagi, makanlah denganku
karena doaku selalu tentang pengembalian
menusuk jantung pada siapapun yang datang
Hujan di luar, tapi tak ada air di kamar mandi
mungkin seseorang telah bertarung
awannya hingga kemari
“aku sudah meneteskan darah,” katanya
tapi darah setetes tak pernah cukup
leluhurmu meminta tumpah
mereka bertarung lagi; kepala berputar
pinggul bergoyang mengejek penyerang
“aku tak mau diadu, tak mau!” rengek seorang anak di ujung lingkaran
“tapi aku menuntutmu!” ibunya menyesal telah datang
uang sudah pada pekembar
sebungkus nasi kotak di hadapan gendang
“musik itu tak akan berhenti sebelum kau maju,
kalau beruntung kita mungkin akan mendapat sapi.”
“tapi ini Jumat,
orang-orang tidak mengorbankan sapi.”
orang-orang mungkin tidak
tapi leluhur kita meminta tumpah
di pojok ruangan menjadi
saksi tangisan dan air
mata mengalir pagi hari
padahal aku berniat puasa
tapi tak bisa mengendalikan
nafsu kesedihan
bukankah kau baik-baik
saja? Tidak; aku bersedih
atas kematian seseorang asing
atau nyawa tak berhenti
berkabung bersama, bertanya mengapa
aku harus peduli
tidak, aku tidak peduli
aku tak bisa membayangkan
ragaku melakukan hal serupa
diam membisu, ragu bersuara
Kalau begitu siapa lagi saksi-saksimu itu?
apakah mereka hadir di sini?
“Pendosa sepertimu, tak pantas mencintaiku,”
aku ingin mendengarnya darimu
seolah-olah kau iblis wanita
dalam setting ibukota
sedangkan aku antagonis dunia
dari semak-semak bambu
tapi jelas dosamu lebih banyak
membuntingi rahim bumi
melepasnya dalam aborsi
aku mengakui dosa-dosamu
sebagai pembimbing paling murni
“tapi kau tak pernah membalas pesanku,
surat tanpa warna berisi maaf dan ganggu waktu.”
aku sudah membacanya
tapi selalu butuh waktu bagi malaikat
untuk benar-benar memperhatikan
mataku seribu, sayapku satu
aku memata-mataimu
sekaligus mencintai
tanpa henti
0 Komentar