Esai Naufalul Ihya’ Ulumuddin: Ternyata, Tujuan Sempro (Seminar Proposal) Adalah untuk Dapat Boneka, Bunga, dan Cokelat

Setiap mahasiswa semester akhir (7 dan 8) pasti akan berjumpa dengan sempro atau akronim dari seminar proposal. Nah, seminar proposal ini menjadi langkah awal menyelesaikan studi. Sempro menjadi medan pacu mahasiswa menuju sidang dan lulus.

Tapi, belakangan ini, saya sebagai salah satu mahasiswa semester akhir merasakan langsung betapa riskannya kondisi dan mentalitas pendidikan tinggi kita. Ternyata, sempro tidak melulu dimaknai sebagai ruang diskusi akademis yang berkualitas. Melainkan, menjadi ajang seserahan boneka, bunga, dan cokelat.

Bagaimana tidak? Wong sebelum sempronya dimulai, boneka, bunga, dan cokelatnya sudah disiapkan untuk foto dan diunggah ke media sosial dengan caption “happy semprotulation” sebagai kata-kata sakti sekaligus pamer bahwa mereka sudah menjadi sang intelektual. Padahal, gagasan ilmiahnya belum tentu berkualitas dan mencerminkan taraf mahasiswa tingkat akhir.

Beberapa kali saya ikut bergabung di acara seminar proposal teman-teman saya. Tidak sedikit yang gagap menjawab pertanyaan dari dosen penguji dan peserta seminar yang notabenenya rata-rata adalah teman seangkatan. Bahkan, beberapa mahasiswa malah bernegosiasi agar teman-temannya tidak memberikan pertanyaan yang sulit saat dirinya sempro. Lebih riskannya lagi, sogok menyogok juga terjadi dengan tujuan membungkam pertanyaan temannya di hari sempronya nanti.

Menurut saya, ini tidak ideal bagi lingkungan akademis seperti universitas yang harusnya menghasilkan intelektual berkualitas. Dengan ini, sempro hanya menjadi acara sampingan. Posting foto dengan boneka, bunga, dan cokelatlah yang menjadi acara intinya.

Tentu ini bukan semata kesalahan mahasiswa. Tapi, juga ada andil kesalahan dari sistem pendidikan tinggi yang ada. Rasa-rasanya, nyaris tidak ada sempro yang tidak lulus, dianggap gagal, dan mengulang. Jadi, Ketika mahasiswa telah mendapat persetujuan untuk mengajukan sempro, maka 99% pasti lulus dan penelitiannya pasti dilanjutkan, meskipun judul dan segala tetek bengeknya berubah total. Barangkali, inilah salah satu sumbangsih sistem pendidikan tinggi dalam persoalan sempro yang akhirnya menjadikan mahasiswakepedean dan yakin untuk menyediakan terlebih dahulu boneka, bunga, dan coklat untuk foto-foto ria setelah sempro. Hal ini bisa terjadi, karena mereka paham betul bahwa proposalnya pasti disetujui, meskipun isinya kacau balau. Mereka tidak peduli sefatal dan sebanyak apa revisiannya yang penting sempro dan foto-foto pamernya sudah terlaksana.

Mahasiswa akhirnya tidak peduli dengan kualitas proposalnya. Mereka hanya peduli seberapa imut boneka yang sudah dibeli atau diberi oleh teman-temannya, seberapa indah bunga pemberian dari pacarnya, dan seberapa banyak cokelat yang bisa dipamerkan. Aneh, tapi nyata.

Harusnya ada potensi yang lebih besar untuk proposal hasil sempro tidak dilanjutkan, kendatipun sudah diseminarkan. Proposal dengan kesalahan fatal seperti salah konsep, metode, judul, yang akhirnya harus mengubah total sudah selayaknya mengulang dan menjadwalkan seminar proposal pengulangan. Dengan begitu, mahasiswa akan memiliki rasa was-was, khawatir, dan deg-degkan tentang nasib proposalnya. Sehingga, mahasiswa tidak dengan entengnmya asal maju sempro dan merayakannya sebelum hasil seminarnya dinyatakan benar-benar lulus.

Harusnya lagi, mahasiswa fokus belajar masalah yang ingin diteliti, pemahaman teori di proposalnya, dan cara kerja metodenya. Bukan malah sibuk pilih-pilih boneka, pose foto, dan jenis cokelat yang pas untuk foto-fotonya setelah sempro. Padahal, sempronya saja belum dimulai.

Nah, teman-teman mahasiswa, termasuk saya, sudahlah jangan terlalu berlebihan. Sesuaikanlah perayaan dengan substansi proposalnya. Alangkah lebih baiknya, uang untuk perayaan yang berlebihan itu bisa dialokasikan untuk biaya penelitiannya nanti. Jadi, tidak terbuang sia-sia hanya untuk hal yang sama sekali tidak mencerminkan kualitas proposalnya yang barangkali amburadul. Menghamburkan uang hanya untuk hal-hal yang bersifat narsistik itu rasa-rasanya kurang bijak. Saya jadi teringat petuh dari Erich Fromm yang menyebutkan bahwa sifat narsistik bisa membuat kita mabuk dan lupa daratan.


Naufalul Ihya’ Ulumuddin

Posting Komentar

0 Komentar