Dari Arsitektur Duka ke Jalan Lain ke Sebuah Doa
ini sajak semata untuk you yang mendikte duka:
lebaran tak menerbitkan maaf
tapi kukirim berlembar rim sentausa
dan semoga kesedihan tak mencatat namamu
pada senarai indeksnya
ranjau dalam kepalaku yang nunggu meledak
sewaktu ingatan menginjak kekatamu dulu
kini cuma tinggal noktah hitam pada sebuah basin
ujung lorong gulita labirin
– di mana pernah kau sebar api
membakar luka!
tidak. tak ada notasi dendam
telah kuhapus dari entri kamus bahasa kudus
meski nyala api itu membekaskan luka anyar
aku kini mafhum tentang bebunga empati
yang tak harum mekar
di batu dadamu
larik-larik berlalu dalam resonansi kecewa
meski koloni laron diam-diam telah
menghapus sisa-sisa kesedihan
tentu, tak ada haru maaf di antara saf kata-kata
bagi nama yang dulu menulis duka sebagai marginalia
kau pun boleh mengasingkannya
bahkan sebelum baris pertama sempat dibaca
namun terimalah separsel maimun
yang mengalamat padamu sebagai tanda kasihan
beserta mantra bagi mayat-mayat filsafat
biar tak lagi membuat paranoiamu kumat
baiklah, kuhanyutkan sajak ini
dari sebuah estuari negeri Shangri-La
semoga menemuimu sebagai imla:
belas kasih!
(aku masih ingat,
terakhir kita Jumpa kau tak punya)
Bandung, 4-5-2022
Ia Yang Mengetuk Jendela
Suara yang mengetuk jendela rumahMu pada sebuah malam ketika hujan berjatuhan, barangkali adalah seorang musafir yang menangis dan tak lagi bisa bicara sejak dirinya terperangkap gema kesedihan lama. Mungkin, suara yang tak hentinya memanggilMu pada sebuah malam ketika hujan mengetuk jendela adalah kesedihan lama seorang musafir bisu sejak ia putuskan berhenti bicara agar bisa keluar dari gema tangisnya.
Sebelum risih dan mengutuk tubuh pemilik suara itu, semoga Kau ingat sorot mata yang memapasiMu di tengah hujan hingga akhirnya ia selalu datang tiap malam mengetuk jendela rumahMu seolah minta dibukakan pintu. Sepasang mata itu mungkin adalah milik seorang musafir bisu yang tak henti menangis sementara kesedihan lama telah menghapus jalan pulangnya kepada siapa ia mengadu aduh setelah seribu musim mengusir jauh ke negeri asing di mana hujan tak henti jatuh.
Bandung, 19-4-2022
Untuk Siti
1/
Ibarat aku dan kau
cinta hanya mengenal nama
yang malah tak bisa mengeja kata cinta.
2/
Desa musim amarah,
awan muram buram.
Gersang yang panjang ini orkertrasi gusar
bagi mata nanar yang lupa kepada tangis
meski setiap hari hujan kesedihan.
Marah, Siti. Kita semua marah
semenjak dahaga mencekik leher semua orang.
Parang ayahku merebut dirinya sendiri,
juga merebut nyawa ayahmu
pada rerumputan itu – yang tak henti
ia ziarahi sebebas dari penjara.
3/
Garis wajahmu mematri semacam duka.
Aku mengerti, melihatku berarti kau persilakan
ingatan lama membaca dirimu kembali.
Tapi di manakah kita pernah berjumpa, Siti,
ketika yang bisa ditimba dari sumur ini bukan airmata,
sebelum waktu melipat angka usia;
sebelum luka dan rindu hanya mengintai
di balik lembar kalender rumah kita?
4/
Seperti yang lain
kau meninggalkan desa
; melupakan luka atau melukakan lupa,
tak ada beda. Sebab kenangan tempat ini
tak hentinya memburu hari-hari.
Mungkin suatu kelak
desa akan menjadi sunyi kehilangan orang-orang,
dan menjadi lengang hingga tanpa apa
yang bisa dikenang selain kesedihan demi kesedihannya.
Aku dikemas cemas, Siti!
Tiap sore di tegalan sawah
diam-diam aku sering bertanya,
adakah karena ini tanah tersisih
Tuhan melupakan nasib kami?
5/
Waktu mengarah ke mana entah.
Desa kini begitu sepi, begitu asing.
Sementara bayangmu pun kian samar
terhapus udara kering.
Maka ketika rencana pergi meninggalkan desa
dibentangkan di ruang tamu rumahku,
segala risau seakan halau.
Aku membayangkan sebuah perjumpaan dengan kau
dan kita mengitari kota
dengan bus yang tak mengenal terminal.
6/
Di bawah amuk hujan aku menyusuri tujuh desa
sebelum jalan raya. Tapi di sebuah jembatan
maut memapasi ayahku. Ia hanyut.
Aku akhirnya tahu kesedihan macam apa yang dulu
kau sembunyikan di dadamu.
7/
Dari ibumu kudengar sebuah cincin seorang lelaki lain
telah melingkari jarimu.
Sedih teranyar rebah di mataku
yang nyaris lupa kepada tangis.
Tapi percayalah, aku pun berbahagia
atas pernikahan itu asal kau tak mempertanyakannya.
8/
Meski masa kini tak pernah mampu kuseberangi
tapi waktu akhirnya memindahkan segala.
Di rumahku sekarang tinggal seorang istri
yang tiap malam kubayangkan sebagai engkau.
9/
Satu per satu kenangan
berluruhan ke dalam sumur itu
sewaktu mata yang dulu pernah saling tatap
kembali bertemu. Tapi rinduku lebih bising
dari bunyi bahasa. Ia tak mampu dikatakan kata.
Ya, segalanya ranggas, segala kerontang
dan sekali hujan datang, sungai menjadi angkara
kau dan aku tak tahu, hanya saling resah
dan mungkin kita juga diamuk marah.
Tapi, adakah ruang untuk kita
meluapkan atau melupakan air mata
sambil bertanya dan menjawab banyak hal, Siti?
10/
Kau dan aku akhirnya meninggalkan sumur itu,
beranjak dari kedalamannya ibarat mayat
istriku dan suamimu pergi menuju mimpi
cinta kita yang silam.
Tapi percayalah, pada setiap mata di kota ini
kau tak pernah berhenti kucari.
Bandung, 20-3-2022
Saduran bebas dari cerpen “Sumur” karya Eka Kurniawan (Gramedia, 2021)
Angga Saputra, menetap di Bandung sejak hari lahirnya pada 20 Agustus 2000. Saat ini sedang menyelesaikan studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Pernah aktif di Lembaga Pers Mahasiswa “Jumpa” Universitas Pasundan.
Ada pun karya jurnalistik serta ulasan sastranya disiarkan di Jumpaonline.com. Selain itu pernah numpang nama pada beberapa antologi antara lain “Sakhsi” dalam Antologi Puisi Rasa dalam Aksara (Mulya Bookstore, 2020) dan “Dongeng Tentang Kesepian” dalam Antologi Cerita Anak: Dunia dan Harapan Kita (Situseni, 2021).
0 Komentar