Cerpen Delfianty Martin: Dilarang Terlalu Senang!

Sebuah sore yang hangat, di tengah kota, di sebuah coffee shop yang dipenuhi anak muda menyambut penghujung pekan, kulihat ada seorang lelaki tampak sedikit kebingungan. Setelah memeriksa gawainya, ia melihat ke arah sini. Ke arahku dan Laila. Lelaki itu menghampiri Laila, kulihat ia sangat bahagia bertemu wanita ayu yang sejak dua puluh menit lalu duduk di meja bundar tengah ruangan tanpa pendingin ruangan ini. Ingin kubisikkan ke telinga lelaki itu bahwa jangan terlalu lebar tersenyum, sebab ia tak tahu kabar apa yang akan ia terima di ujung pertemuannya. Tapi ya sudahlah, keberadaanku mungkin tak ia anggap.

“Sudah lama menunggu, La?” ucap lelaki itu membuka dialog.

“Enggak kok, baru banget. Mau pesan minum dulu, Ri?”

“Oh, boleh.” Melambaikan tangannya memanggil salah seorang barista yang memang sedang berjalan mengarah ke sana. “Mbak.. greentea satu, ya, terima kasih mbak.”

Tinggi, sedikit berisi, berambut keriting berwarna sedikit coklat, punya gingsul di kanan dan kiri, tahi lalat kecil di pipi kiri, lebih sering menyipitkan mata kala tersenyum. Benar, tidak salah lagi. Ini pasti Rinaldi. Mantan kekasih Laila yang orang tuanya tidak merestui hubungan mereka.

Fisik, hanya karena fisik. Rinaldi tak punya alasan untuk tidak mengiyakan penolakan orang tuanya atas Laila. Memperbaiki keturunan, dalih mereka. Laila yang dulu senang bertualang menjadi teman akrab sinar matahari yang membuat kulitnya terlihat gelap. Cuaca dan air yang jenisnya beragam, makanan serta pola tidur yang tidak teratur membuat jerawat betah berlama-lama di tubuhnya. Ah, kasihan Laila. Namun seiring bertambahnya usia dan perkembangan internet, Laila yang sekarang jauh berbeda dengan Laila yang dulu. Ia lebih sering menjaga makanannya, pola hidup dan juga merawat tubuhnya.  Hari ini, aku bisa lihat dengan jelas tatap mata Rinaldi yang sedikit terbelalak melihat Laila.

“Bagaimana kabar ibumu, Ri? Kau sudah menemukan wanita sempurna sesuai pilihannya?”

“Ah, jangan begitulah. Ibu hanya ingin yang terbaik untuk kita ke depannya.”

Terbaik? Mendiskriminasi orang lain melalui fisik yang ia punya kau bilang pilihan  terbaik? Sinting!

“Sudahlah, kita tidak perlu membahas itu, kan dulu juga karena kau belum pandai merawat diri. Kulit gelap dan jerawat di mana-mana. Siapa yang tidak minder jika punya gandengan seperti itu?”

“Maaf ya, aku membuat kau minder sewaktu denganku dulu.”

“Sekarang tak jadi masalah lagi, La. Lagi pula, tampaknya kau sekarang sudah jauh lebih cantik.”

Dasar. Dia pikir dia siapa? Seenaknya saja berucap seperti itu, apa dia tidak memikirkan perasaan orang lain?

“Ah, enggak. Aku masih begini-begini saja.” Jawab Laila sembari menyentuh sebuah benda di dekat tasnya.

“Eh, kau masih juga senang membawa gantungan kunci itu sebagai benda yang selalu kau pegang guna menenangkan? Kau ini, harusnya tak hanya wajah dan tubuhmu yang kau upgrade, kebiasaan yang semacam bocah itu harusnya kau hilangkan, La. Memangnya kau tidak bisa mengontrol emosimu, ya? Kau tidak malu? Tidak berubah sepenuhnya ternyata. Oh ya, kau mengundangku ke sini, katanya ada yang mau diobrolin. Perihal apa?”

“He he, iya, kan sudah kubilang kalau aku begini-begini saja. Oh iya, hampir lupa. Sebagai seorang teman yang sudah kenal lama, rasanya aneh bagiku jika tak kuucap secara langsung kabar ini. Belakangan, terbesit hanya ingin kubicarakan di telepon, tapi sepertinya lebih asyik jika kita berbincang langsung seperti ini. Ibu sudah menuntutku agar ia segera punya menantu. Ya, kau tahu sendiri kalau aku anak tunggal, mau menyuruh siapa lagi kalau bukan aku? Lagi pula, usiaku juga tak lagi remaja, kurasa sekarang merupakan waktu yang tepat untuk berkeluarga.” Balas Laila.

“Ini maksudnya, kau mengajakku menikah? Aku juga berprasangka yang sama saat ingin berangkat ke sini tadi. Oh, betapa beruntungnya aku, aku tahu betul kalau aku tampan, gagah, dan juga sudah mapan. Wanita manapun pasti mau hidup denganku, termasuk kau. Bukan begitu, Laila?”

Dasar angkuh. Apa dia pikir dia bisa membeli segalanya termasuk hati seorang Laila? Kau salah, Ri. Ternyata isi kepalamu terlalu dangkal, kau angkuh dan mudah merendahkan orang lain. Jika aku jadi Laila, walau sudah berpikir ribuan kali tetap tak akan mau untuk hidup dan menghabiskan sisa usia denganmu, Ri.

“Bukan, bukan begitu maksudku.”

Alis lelaki itu naik sebelah, “lalu?”

“Ini, aku mau kasih ini” ucap Laila, menyodorkan secarik kertas dari dalam tasnya yang tak lain adalah  undangan.   

“La, kau bercanda? Bagaimana mungkin kau akan menikah dengan orang lain, La? Kau sudah gila, ya?”

“Jika kau bertanya bagaimana mungkin aku menikah dengan orang lain, jawabannya adalah mungkin saja, Ri. Aku memang akan menikah dengan orang lain selain kau. Aku akan memilih orang yang tak mempermasalahkan fisik dan sikapku yang kau bilang seperti bocah ini. Justru tidak akan mungkin jika kupaksa kita bersama, sedangkan kau saja masih menyoalkan hal-hal sekecil itu. Sudahlah, hilangkan prasangkamu terhadapku, aku hanya ingin mengabarkan berita baikku ini. Tidak lebih.”

Gawai Laila berdering, ia meraih gawainya dan bergerak sedikit menjauh dari meja itu seraya berpamitan dengan lelaki di hadapannya.

“Maaf ya, aku harus pergi. Sudah ditungguin di depan.” Jelas laila sembari menggenggam gantungan kunci kepunyaannya.

Sejak awal ingin kubisikkan ke telinga lelaki itu bahwa jangan terlalu lebar tersenyum, sebab ia tak tahu kabar apa yang akan ia terima di ujung pertemuannya. Tapi ya sudahlah, keberadaanku mungkin tak ia anggap.

 

Delfianty Martin. Lahir di Tanjungpinang, Kepri. Suka air putih dan senang bercerita. Bisa dihubungi via akun Instagram @delpiaaaaaaaa

 

 

 

Posting Komentar

1 Komentar