Mbah Parmin adalah orang gila yang sering berkeliaran di desaku, kadang warga memberikan nasi bungkus untuk beliau makan. Mbah Parmin sering berteriak-teriak sepanjang jalan, lalu kadang menyebut bintang dan malaikat. Hal seperti itu yang membuat tetangga di sebelah rumahku kesal, sehingga kadang menyiramnya dengan beberapa gayung air, itu membuat tubuhnya basah kuyup lalu pergi dengan raut wajah yang sedih.
Aku kadang merasa iba dengan nasib beliau, di usianya yang senja masih berkeluyuran kemana-mana. Mbah Parmin tidak memiliki siapa-siapa lagi, keluarganya meninggal dalam musibah kebakaran yang terjadi sepuluh tahun yang lalu. Mbah Parmin berhasil menyelamatkan diri saat itu, namun karena terlalu sedih dan stress dengan kematian keluarganya, beliau kehilangan kejiwaannya dan menjadi orang gila yang berkeluyuran di desaku.
Senja dengan langit berwarna biru, menambah keindahan saat mata memandangnya, terlihat sosok yang kukenal selama ini. Kakek itu berjalan membungkuk karena usia, berjalan menyusuri jalan dengan menari-nari layaknya berada di sebuah panggung, beliau adalah Mbah Parmin.
Saat itu keluargaku merasa iba, lalu ibu menyuruhku memberinya sepiring nasi dan lauk pauknya seperti tempe, tahu, sambal dan juga sayur asem. Memang keluargaku jarang memberi Mbah Parmin makanan, namun kami berharap supaya makanan itu kelak dapat menjadi amal di akhirat nanti.
Mbah Parmin menikmati makanan itu dengan lahapnya, setelah meminum air putih yang kuberikan, Mbah Parmin berterimakasih lalu memutuskan pergi. Tetangga sebelah rumahku menatap hal tersebut tidak suka, lalu Ia mendekati rumahku dan tiba-tiba berkata. "Oalah wong koyok ngunu kok yo diwenehi mangan? Palang diusir wae ben ora marahi penyakit! (Astaga orang seperti itu kok dikasih makan? Lebih baik diusir supaya tidak menimbulkan penyakit!)"
"Astagfirullah Bu, ora apik ngomong ngunu, iku yo manungso, kulo nggeh maringi niku damel amal ten akhirat mbenjang. (Astagfirullah bu, tidak baik bicara seperti itu, itu juga manusia, saya juga memberi itu untuk tabungan amal di akhirat nanti.)"
"Mbuh sakarepmu! (Terserah apa maumu!)" kata tetanggaku itu dan memutuskan untuk pergi.
***
Pagi dengan mentari yang cerah menyinari bumi, aku berangkat ke sekolahku. Waktu sudah menunjukkan pukul 06.00 dan aku melangkah melewati masjid, terlihat Mbah Parmin tengah mengepel lantai, namun yang membuat aneh adalah Mbah Parmin mengepel menggunakan sikat gigi. Hal itu malah membuat orang sekitar makin mengoloknya, mengatakan dirinya tak pantas di masjid, ada juga yang menyuruhnya pergi ke kandang sapi saja karena itu tempat yang pantas. Kejadian selanjutnya tak kalah membuat orang tercengang, karena Mbah Parmin memanjat pohon sambil tersenyum. Selain itu beliau juga berteriak-teriak dengan girangnya, membuat warga yang kesal melemparinya dengan batu.
Hari berganti dan sudah seminggu kejadian tersebut berlalu, namun Mbah Parmin tak henti-hentinya membuat kehebohan, saat itu beliau meminta balon helium yang dijual pedagang. Pedagang itu memberinya dua balon berwarna merah dan biru, setelah itu Mbah Parmin menerbangkannya ke langit dengan selembar kertas yang ikut digantungkan dengan balon tersebut. Aku yang saat itu memperhatikannya merasa makin penasaran, lalu aku mencoba mendekatinya, tapi ada seseorang yang mencegat langkahku.
"Hari gawe opo kowe nyedeki wong gendeng iku gak ono gunane lho? (Hari untuk apa kamu mendekati orang gila itu gak ada gunanya?)"
"Kulo enten perlu pak, culno tangan kulo! (Saya ada perlu pak, lepaskan tangan saya!)
Setelah tanganku dilepaskan oleh bapak yang mencegatku tadi, aku memutuskan kembali mendekati Mbah Parmin yang saat ini masih asik menatap balon yang baru saja diterbangkannya.
"Mbah njenengan lagi nopo?" (Mbah anda sedang apa?)
"Mumbulke balon, iku ngunu ngilingno aku karo anak lan bojoku." (Menerbangkan balon, seperti itu mengingatkanku dengan anak dan istriku.)
"Waktu sedurunge kobongan kuwi, anakku ngajak mumbulke balon, jarene iku ngirimno surat nang gusti Allah, tulisane seumpomo anakku lan bojoku wis ora ono mugo-mugo bapak terus dijogo karo Gusti Allah kang akarya jagad. (Waktu sebelum kebakaran itu, anakku mengajak menerbangkan balon, katanya itu mengirimkan surat untuk Allah, tulisannya seumpama anak dan istriku sudah tidak ada, semoga bapak selalu dijaga oleh Allah yang maha pencipta.)
Setelah aku mendengar penjelasan Mbah Parmin, jantungku berdetak kencang. Tak terasa air mata mulai menetes membasahi pipiku, aku merasa terharu dengan kisah itu.
***
Suatu hari Mbah Parmin telah dipanggil oleh yang maha kuasa, namun yang membuat semua orang kembali tercengang, Mbah Parmin meninggal dalam keadaan masih sujud saat sholat dzuhur. Beliau meninggal dengan raut wajah tersenyum dan sumringah, lalu dari tubuhnya keluar bau yang sangat harum melebihi bunga bidara. Hal tersebut membuat semua orang tercengang, mereka yang selama Mbah Parmin masih hidup selalu menyakitinya, merasa sangat bersalah lalu meminta maaf pada jenazah Mbah Parmin. Aku juga selalu mendoakan beliau agar diberikan tempat yang terbaik di sisi Allah.
Agus Sanjaya lahir di Jombang, 27 Agustus 2000. Juara 2 Lomba Menulis Cerpen Nasional (Komunitas Sekolah Seru, 2019), Juara 3 Event Menulis Puisi Nasional (Arras Media, 2021), serta Juara 2 Lomba Menulis Puisi Ramadan COMPETER Indonesia. Buku pertamanya berjudul Akar Kuning Nenek, serta keduanya berjudul Lima Sekawan terbit di Guepedia tahun 2020. Saat ini ia tengah sibuk kuliah, menimba ilmu di COMPETER Indonesia dan Kelas Puisi Bekasi (KPB). Karya-karyanya banyak terangkum di antologi bersama, juga di media online seperti: Riau Sastra, Kosana.id, Cerano.id, Sastra Indonesia.org, Nolesa.com, Metamorfosa.co.id, Suku Sastra.com, Dermaga Sastra, Pahatan Sastra, Tirastime, Mbludus, Negeri Kertas.com, Inside Lombok, Suara Krajan.Com, serta Ngewiyak.Com.
0 Komentar