Cerpen MA Rizqi: Kematian Orang Gila


Tak ada air mata setetes pun dalam kematian kali ini. Toa masjid pun kali ini membisu, tak terdengar satu kalimat pun kecuali azan salat Ashar. Tak terdengar pula gesek sandal yang berdesak-desakan menginjak jalanan menuju pemakaman. Sebuah kematian yang mati, karena kematian hanya untuk yang hidup. Sedangkan untuk yang mati, kematian adalah ketidakselesaian yang benar-benar telah selesai. Kematian seperti ini terkadang membuat iri, sebab kematian yang dipenuhi tangisan oleh yang hidup terkadang bisa menyiksa terhadap yang mati. Entah karena ada utang yang belum dilunasi; tanggung jawab yang belum purna ditanggung dengan pertanyaan yang belum dijawab; bisa pula karena rasa cinta yang beralih rupa jadi rasa ‘sok’ memiliki.

Langit senja yang disapu kuas emas kebiru-biruan hadir sejenak saat pemakaman seorang jenazah perempuan—yang sejenak pula—selesai dituntaskan. Dua orang penggali kubur, lima orang pria dan seorang modin, nampak menyegerakan diri meninggalkan pemakaman setelah batu nisan yang hanya bertuliskan satu kata nama dan tanggal kematian itu mantap tertancapkan.

Pada sebuah warung kopi yang hanya berjarak beberapa puluh meter dari area pemakaman, mulut dan telinga orang-orang sedang khusyu’ satu sama lain untuk saling memproduksi desas-desus. “Namanya juga Eli Edan yang mati,” dengan langkah perlahan sambil membawa kopi yang baru saja dibuatnya, Tarno mengatakan, “Ya wajar aja kalo nggak ada yang mau ngurus jenazahnya. Itu pun yang ikut paling dipaksa sama Pak Modin.”

“Bukan itu masalahnya, Cak No,” Sergah Ferdi, “yang kami bicarakan itu apa yang menyebabkan Eli Edan itu mati. Siapa tau bunuh diri.”

Desas-desus di warung pada sore itu tak menemukan titik temu. Orang-orang di sana sedang berperan menjadi seorang pengarang bebas yang mengarang kisah kematian Eli Edan untuk dikisahkannya pada kerabat, kolega, anak, istri, suami, kakek, nenek, bahkan hewan peliharaan mereka.

***

Rumah ini adalah rumah warisan dari almarhum kakekku. Letaknya tak jauh dari pasar Krocolo. Di rumah ini, keheningan menjadi barang langka yang super mewah, sebab rumah yang berdekatan dengan pasar akan selalu dan pasti ramai sejak sebelum azan Subuh menghempas kantuk, hingga azan Ashar melukis senja. Segala macam orang dapat ditemui di pasar. Transaksi uang dan tak lupa, transaksi gosip selalu jadi hal yang tak pernah alpha di pasar.

Di rumah yang tak bisa dikatakan luas, namun tak juga dapat dikatakan kecil ini, aku hidup seorang diri. Kedua orang tuaku berada di Jakarta, mengadu nasib di sana dan sukses di sana. Karena wabah yang tak karuan asal-muasal dan selesainya, aku diembani amanah oleh Ayah untuk menempati rumah yang menjadi saksi bisu kakek mengembuskan napas terakhirnya 2 tahun silam.

Awal ketika aku menempati rumah ini, semua rasanya biasa-biasa saja karena aku telah terbiasa hidup mandiri dan sebelumnya aku juga kost sendiri di dekat kampusku. Kehidupan di sekitar pasar Krocolo juga merupakan kehidupan pasar di Indonesia yang sudah lazim ditemui di mana-mana. Mulai dari tawar-menawar pedagang dan pembeli, tukang parkir, aroma yang bercampur, dan semua tetek-bengek keramaian kutemui di sini.

Hari ini merupakan hari ketujuh aku menetap di sini. Karena sibuk membersihkan dan mengurus isi rumah yang lama tak ditempati, aku jadi tak sempat keluar rumah untuk sekadar bersantai dan saling sapa dengan penduduk sekitar. Hari itu juga akhirnya kuputuskan untuk makan di luar sekalian ngopi dan ngobrol-ngobrol dengan orang-orang sekitar.

“Nasi lodeh, air putih es, sama kopi satu ya, Cak.”

“Siap, Mas.”

Tak lama berselang, pesananku tiba. Cak Tarno, sebagai pemilik warung yang kelihatannya sangat humble kepada siapa saja mengantarkan dengan sepaket senyum yang tak pernah luntur dari bibirnya.

“Mas yang menempati rumah hijau di selatannya pasar itu, ya?” tiba-tiba saja Cak No menanyakan itu sebelum ucapan terima kasih kusampaikan padanya.

“iya, Cak. Saya cucunya Kakek Tarsim,” sambil mematikan rokok, kulanjutkan, “Sudah seminggu saya menempati rumah itu. Kata ayah, mumpung kuliah dan pekerjaan bisa dilaksanakan dengan daring, lebih baik menempati rumah kakek aja biar ada yang merawat.”

“Oh iya, benar begitu, Mas.” Ucap Cak No sambil mengambil piring dan gelas sisa pelanggan, “Ngomong-ngomong, sambil kerja apa, Mas?”

“Saya cuma jadi penulis lepas di media massa, Cak.”

“Oh, kayak wartawan-wartawan gitu?”

“Ya, kurang lebih seperti itu, Cak.”

Karena sedang tak urung menjelaskan perihal apa itu penulis lepas—yang barangkali tak ada definisi baku juga terkait apa itu penulis lepas—akhirnya ku-iya-kan saja pertanyaan Cak Tarno tersebut.

Hari ini warung Cak Tarno terlihat sepi, karena memang hari ini adalah hari Senin Kliwon, sedangkan di pasar Krocolo, hari pasarannya adalah setiap Senin Legi dan Kamis Pon. Sehingga di hari-hari biasa yang ramai hanya pedagang sembako, sayur-mayur, dan lauk-pauk.

Pagi setengah siang ini menjadi kesempatan bagiku untuk bertanya-tanya dengan Cak Tarno terkait kultur kehidupan di sini pada umumnya. Sebab—berdasarkan petuah bijak bestari—di mana bumi dipijak, di situ langit di junjung. Bagi orang Jawa juga terkenal dengan istilah empan papan, oleh karenanya sangat penting bagiku untuk mengetahui seluk beluk wilayah ini agar diriku memahami batas-batas dan keindahan-keindahan yang mungkin saja tak kutemukan di wilayah lain.

“Mas, kamu tahu gubuk kosong yang ada di depan rumahmu itu, kan?” Aku terkejut, di tengah kekhusyukanku menikmati makanan Cak Tarno, tiba-tiba ia menanyai dengan nada mengintrogasi. “Kamu nggak pernah nge-cek atau lihat apa gitu di sana?”

“Oh, gubuk itu… emang itu ada pemiliknya ya, Cak?”

“Ada, Mas. Yang tinggal di situ tuh baru meninggal 8 hari yang lalu. Namanya Eli. Orang-orang biasanya menyebutnya Eli Edan.”  Cak Tarno berjalan menuju kursi di hadapanku. “Orang-orang di sini pada penasaran, Mas, sama kematiannya. Dia ditemukan mati di pasar lalu diurus sama Pak RT sini dan Pak Modin.”

“Orang-orang tahu nggak asal-usul si Eli itu, Cak?”

“Jangankan asal-usulnya, Mas.” Sambil terkekeh, “kematiannya aja nggak ada yang tahu, bahkan nggak ada yang urus kalo nggak disuruh sama Pak Modin.”

Ah, betapa mengenaskan hidupnya. Sampai detik ini, selama ia masih bernyawa dan berjiwa, ia adalah manusia. Bahkan sampai detik terakhirnya menanggung nyawa, kita sebagai manusia juga perlu memperlakukan dirinya sebagai manusia. Itulah didikan yang kudapat dari orang tuaku.

“Baiklah, Cak. Terima kasih infonya.” Sambil bergegas untuk membayar seluruh pesananku tadi, “Aku balik ke rumah dulu, Cak.”

Niatku untuk ngobrol dan bersantai lebih lama di warung Cak Tarno kuurungkan. Aku bergegas kembali ke rumah dan mengetahui apa yang ada di gubuk depan rumah kakek. Apa dan mengapa yang membuat orang-orang menjadi tak ada empati terhadap Eli, yang katanya gila tersebut.

Matahari sudah berada di atas ubun-ubun, pertanda hari sudah siang. Rasa ingin tahuku membakar langkahku ke gubuk itu.

“Ngapain, Mas, ke gubuknya orang edan?” Terdengar teriakan dari Bu Katinem, pedagang sayur yang lapaknya berada 4 meter di samping kiri gubuk itu.

Teriakan Bu Katinem itu tak sempat kuhiraukan. Aroma menyengat menyembul dari dalam gubuk itu. Aroma basin dan bau makanan yang membusuk. Ada ulat dan belatung juga di dekat kasur lusuh yang sepertinya menjadi tempat Eli mengistirahatkan tubuh. Ada 2 celana dalam laki-laki juga di sekitar kasurnya. Ah, apakah mungkin Eli mencuri celana dalam laki-laki untuk memuaskan hasrat biologisnya? Rasanya musykil. Dalam gubuk berukuran 3x4 meter itu, tak ada apa-apa yang berharga, kecuali sebuah buku catatan  yang kutemukan di balik kasurnya. 

Aku keluar dari gubuk itu, lalu menjumpai Bu Katinem yang sedang memberesi sisa dagangannya.

“Bu, Eli ini emangnya sering bikin usil di sekitar sini, ya?” Tanyaku padanya.

“Enggak, sih, Mas. Dia itu pokoknya edan. Aneh. Nggak pernah ngomong. Kalo mau makan juga dengan minta-minta dengan bahasa isyarat gitu, Mas.”

“Lah, dia bisukah, Bu?”

“Enggak juga. Lhawong dia biasanya merintih-rintih kok di gubuk. Dia kan sering dipake sama preman-preman itu lho.” Ujar Bu Katinem sambil menggelagatkan kejijikannya.

Bu Katinem bercerita panjang lebar tentang Eli sambil memasukkan sisa-sisa sawi, bayam, dan cabai ke dalam plastik untuk dibawa pulang. Dari Bu Katinem pula, aku tahu bahwa Eli adalah seorang perempuan muda dengan gangguan jiwa dan tak pernah mau bicara kepada siapa pun. Selain itu, Eli juga menjadi pemuas hasrat para preman pasar yang kere karena tak mampu menyisihkan uangnya untuk ke prostitusi. Bahkan Bu Katinem sering juga mendengan umpatan para preman ketika hendak menyetubuhi Eli: “Namanya Eli, ya, cocok buat pemuas peli (penis). Biadab.

***

Kisah tentang Eli benar-benar menyita perhatianku. Pada mulanya, sebagai penulis lepas, kiranya menarik menuliskan tentang sebuah kematian yang benar-benar mati. Ya, kematian Eli menurutku adalah kematian yang benar-benar mati karena bagi yang hidup pun, kematiannya tak berarti apa-apa. Namun itu semua hanya angan-angan awal. Semua persepsiku berubah setelah mendapat keterangan mengenai Eli dari Bu Katinem, Cak Tarno, beberapa orang di sekitar sini, dan yang paling utama adalah dari buku catatan yang kutemukan di bawah kasur Eli beberapa hari yang lalu.

Eli ternyata seorang mahasiswi di sebuah kampus ternama di Yogyakarta. Di buku catatan itu, dia menuliskan biografinya secara singkat. Nama aslinya adalah Nur Laili, asal dari Bandung, Usianya 23 tahun. Sekilas memang janggal jika seorang terpelajar, masih muda, dan cantik—ujar orang-orang sekitar yang mengetahui Eli—menjadi seorang pemurung yang tak pernah berbicara pada siapa pun dan menggunakan pakaian yang lusuh. Parahnya, ia hanya pasrah ketika tubuhnya digerayangi habis-habisan oleh preman-preman pasar.

“Orang-orang mengatakan aku gila, padahal justru mereka yang gila, karena tak pernah menyadari bahwa hidup wajar menurut mereka itu sesungguhnya lautan luka dan gumpalan derita.”

Kalimat itu merupakan kalimat pembuka pada buku catatan Eli. Kueja lagi kalimat itu sambil mengernyitkan dahi. Merenungi kembali kata-kata itu. Tak lupa, segudang pertanyaan masih mencair dalam kepalaku: Siapa sebenarnya Eli? Mengapa Eli menjadi sedemikian misterius? Apakah benar Eli gila, atau memang orang-orang yang gila?

Lembar demi lembar. Jam demi jam. Tak terasa langit di luar sudah gelap. Aku beranjak dari meja belajar untuk menghidupkan lampu dan sesekali mengistirahatkan mata yang penat karena fokus membaca tulisan-tulisan Eli yang berisi sekitar 40 halaman.

Secangkir kopi kubawa ke beranda rumah. Menikmati malam yang sedikit gerimis dengan bau yang khas pasar dan kumpulan imajinasi terkait Eli, yang kata orang-orang itu edan.

Tidak. Eli tidak sedang dalam gangguan jiwa. Ia tidak gila. Justru orang-orang—bahkan aku sendiri—yang gila. Eli memilih jalan demikian karena jika bukan ia, maka tak ada lagi peringatan dalam hidup sekarang ini. Ya, Eli adalah pengingat. Mengingatkan kita bahwa kehidupan seorang perempuan saat ini dipaksa terdiam. Tubuhnya pasrah sepasrah-pasrahnya. Sekalah-kalahnya. Mengapa demikian? Dari buku catatannya, Eli menuliskan bahwa mulutnya telah disumpal oleh  para aktivis kampus yang diam-diam menegakkan penis. Dengan begitu ia memilih diam hingga ajal menjemputnya. Dalam hal ini, aku mengira ia sepertinya perrnah diperkosa oleh seniornya.

Biar dia dianggap gila. Karena yang menganggap gila adalah orang gila itu sendiri. Eli, sejak 3 tahun silam meninggalkan keluarga, kampus, dan lingkungannya karena teramat hampa melihat manusia yang tak lagi manusia. Ia berjalan-jalan dari kota ke kota, dari penginapan ke penginapan, hingga uangnya habis, akhirnya gubuk kecil di dekat pasar ini jadi pemberhentian terakhirnya beberapa bulan silam.

 Terlalu banyak mulut, sedikit telinga yang berfungsi. Begitulah kenyataan yang dihadapi Eli. Eli juga telah meniadakan dirinya, sehingga ketika para preman bejat itu menyetubuhinya, ia tak merasakan apa-apa, meski sesekali keluar desahan dari mulutnya.

Pada halaman akhir bukunya, ia menuliskan:

“Mengapa kematian menjadi sesuatu yang menakutkan bagi banyak orang? Oh, pantas saja mereka menjadikan kematian menjadi hal yang menakutkan. Sebab mereka tak akan pernah memaknai kehidupan dan enggan menjadi manusia yang hidup. Mereka mati. Mereka gila. Karena itu, aku sangat cinta terhadap kematian. Dengan kematian, aku semakin merasa hidup. Adanya kematian menjadi hidupku menyala. Api itu lestari, dendam itu terus membakar.”

NL, 2021

Oh, Eli… andaikan kau masih hidup. Setidaknya aku tidak sendirian di rumah ini. Entah apapun anggapan orang, dalam hal ini, manusia adalah manusia. Tapi nasib berkata lain. Tak apa, setidaknya engkau menjadi pengingat bagiku dan penyengat bagi yang lain. Menyengat kebiadaban.

Yogyakarta, 2022

 

MA Rizqi, lahir pada bulan keempat tahun 2000 di Kediri. Saat ini sedang menghirup napas Yogyakarta, sambil kuliah, sambil ngopi, sambil membaca, sambil menulis, sambil freelance, dan sambil-sambil ini itu agar anu. Buku pertamanya berupa antologi puisi berjudul Sunyi-Senyap Menusuk Aksara (Guepedia, 2020) serta buku keduanya berupa antologi cerpen yang ditulis bersama kedua kawannya berjudul Dunia Tak Seberisik Isi Kepala (Penerbit Bakbuk, 2021).

 

Posting Komentar

2 Komentar