Ahmad Rizki: Malam di Kedai Indonetea Rempoa dan Puisi Lainnya

Malam di Kedai Indonetea Rempoa

: Buat Mahardika dan kroni-kroninya.

 

Jalan ramai di Rempoa barangkali adalah sejarah minum teh yang panjang.

Dari 2373 SM sampai 2022, mungkin Kaisar Shen Nong,

orang-orang meminum Teh untuk pengobatan.

Namun, F. Valentijn melihat tanaman itu di pekarangan rumah Camphuys.

Dan, ribuan biji teh ditanam di Kebun Raya Bogor, dan segenap daerah lainnya juga ditaburinya.

Ketika menikmati segelas Teh oolong, mungkin Dinasti Ming memperkenalkanya, rasa pahitnya membawaku pada suara yang bergema dari Wu Liang.

Ketika menikmati teh putih, wewangiannya memunculkan Dinasti Tang, kelas sosial atas-bawah terasa seperti bom waktu.

Ketika menikmati teh hitam, mungkin beberapa orang di Cina menyebutnya berwarna merah, kulihat orang Tibet, Mongolia dan Siberia memperdagangkan balok-balok teh hitam dipadatkan menjadi mata uang de facto.

 

Jalan ramai di Rempoa barangkali adalah sejarah gemerlapnya kebesaran teh di dunia.

Ketika kuteguk teh hijau, mungkin Cina memperkenalkan aromanya, rasanya membawaku kepada Taiwan, Tiongkok, Timur tengah, Jepang dan Asia tenggara.

Ketika meneguk teh Kombucha, Kredo keabadian terasa segar, orang-orang mengatakan ini sebagai ramuan purba.

 

Jalan ramai di Rempoa barangkali adalah pintu dimensi masa lalu.

Barangkali teh menggodaku dengan rayuan meditasi dan rayuan pengobatan, persis seperti ritual Zen. Atau teh menggodaku dengan Lu Yu dengan buku Ch'a Ching. Atau cha-no-yu yang mengajarkan menjunjung tinggi kesempurnaan, kesopanan, pesona, dan keagungan. Atau Yesuit Jasper de Cruz. Atau $100 per pon dan Elizabeth I, dan populer di Belanda. Atau Peter Stuyvesant membawa dan memperkenalkan teh ke New York.

 

Jalan ramai di Rempoa barangkali adalah teh yang dibawa Andreas Cleyer ke Jakarta. Atau riuh Cultuurstelsel dan Johannes graaf van den Bosch. Atau 3.193 hektar tanaman teh di seluruh Jawa. Atau 967 juta Gulden keuntungan VOC. Atau thea assamica tiba di Nusantara. Atau pecahan-pecahan sejarah yang gamang lainnya.

 

Jalan ramai di Rempoa barangkali adalah kenyataan masa kini. Lagipula, untuk apa melongok masa lalu kenikmatan dan manfaat segelas teh, toh kenyataan sejarah bangsa yang besar saja sangat mudah dilupakan. Ya, jalan ramai di kedai teh Indonetea adalah malam yang jatuh di keheningan pinggiran kota yang menguber-uber globalisasi, metaverse, dan kecepatan teknologi industri lainnya.

 

Jalan ramai di Rempoa barangkali adalah sejarah minum teh yang panjang.

Namun, yang terlanjur terlupakan adalah sejarah manfaat dan kenikmatannya.

 

Rempoa, 2022

 

Subuh dengan Kretek di Tangan

 

Nyanyian ayat suci menggema

ke penjuru kampung, sebatang

kretek di tangan terasa

nikmat dan menyenangkan.

 

Orang-orang mengatakan komposisi cengkih dan tembakau (yang dirakit dengan tangan) yang pertama kali nongol di Kudus 1900-an itu sengaja diciptakan Haji Djamari (atau nama-nama yang tak kusebutkan lainnya) dengan itikad pengobatan. Barangkali, De Kretek Konning dengan Tjap Bal Tiga  (nama asli Nitisemito) juga berpikir demikian.

Orang-orang percaya Roro Mendut dengan klobot yang terkena lidahnya akan terbayang erotisme. Orang-orang percaya bahwa Sultan Agung pernah mencicipi kretek buatannya. Orang-orang juga mengatakan Rara Mendut sangat mandiri dan teguh pendirian.

 

Nyanyian ayat suci menggema

ke penjuru kampung, sebatang

kretek di tangan terasa

nikmat dan menyenangkan.

 

Orang-orang mengatakan Portugis (kira-kira tahun 1600-an) datang ke Nusantara dengan membawa tanaman tembakau. Orang-orang juga mengatakan Cornelis de Houtman membangun perkebunan tembakau di Banten—begitu juga (Deli Maatschappij) tembakau Deli didirikan. Orang-orang mengatakan program tanam paksa sangat berkaitan dengannya.

 

Nyanyian ayat suci menggema

ke penjuru kampung, sebatang

kretek di tangan terasa

nikmat dan menyenangkan.

 

Orang-orang mengatakan tembakau sudah purba umurnya. Orang-orang mengatakan tembakau jadi perlawanan farmasi dunia. Orang-orang mengatakan cukainya besar jumlahnya. Orang-orang mengatakan rasanya luar biasa.

 

Nyanyian ayat suci menggema

ke penjuru kampung, sebatang

kretek di tangan terasa

nikmat dan menyenangkan.

 

Ciputat, 2020

 

Ketika Kuteguk Kopi

 

Ketika kuteguk kopi, pintu

dimensi membawaku

kepada Ethopia, tapi juga mampir

ke pemukiman Suku Gala. Dari

 

rasa pahit yang itu, tak kulihat

permusuhan antarnegara, tapi

celakanya Paus Clement VIII

melarangnya. Barangkali

pedagang muslim meneguk

kopi untuk menahan gelombang

laut yang kejam, atau sekadar

untuk menghitung penghasilan

pada siang hari Selasa.

 

Ketika kuteguk kopi, suara

Ibnu Sina terdengar

menegurku sebanyak dua puluh

tiga kali, dan Kiva Han mengejekku

sambil tertawa.

 

            Betapa melankolia bermalam di Venice, dan menghirup wewangian Ceylon, dan membayangkan Louis XIV bertemu Edward Lloyd’s, dan Charles II murka, dan 800 kedai kopi berjejeran di Soho, dan Café de Procope berdiri, dan Belanda membawanya dari Mekkah ke Bogor, dan lambat laun Louis XIV mengizinkan tanaman itu di Jardin des Plantes, dan kedai kopi Florian bertahan di Florence.

            Betapa asyiknya melihat Gabriel du Clieu dan Francisco de Mello membawa biji kopi ke Martinique dan Brazil. Atau Johann Sebastian Bach dengan Coffee Cantata yang menyajikan perjalanan spiritualitas. Atau ketakutan Bir nasional Jerman kepada kopi. Atau Fernando Illy berhasil membuat mesin espresso. Atau kedai kopi 1920 meledak di Amerika. Atau New York dengan La Pavoni. Atau Brazil dengan Nestle. Atau tentara perang Amerika membawa kopi untuk ditawarkan kepada segenap negara.

 

Ketika kuteguk kopi, gerai

Starbucks 1971 dibuka, tapi

wewangian dan rasa tetap sama.

Dari

 

kenikmatan rasa pahit

dan lika-liku sejarahnya, tak

kulihat permusuhan di antara manusia,

tapi celakanya komoditas tetap

serakah dan persis seperti neraka.

Barangkali tak pernah musnah

kopi dari dunia, hanya menghilang

akibat persaingan dagang dunia—

itupun kalau masih ada harganya.

 

Ketika kuteguk kopi, abad

tergelincir di gilingan mesin kopi,

tapi kenikmatan masa depan

tercampur di antaranya. Dari

 

gelas-gelas kopi yang dipesan

orang-orang masa kini, tak

kulihat kemurungan di matanya,

tapi pergulatan persis tak ada bedanya.

Barangkali tak ada kopi

yang terakhir di bumi, hanya saja

manusia yang pasti akan binasa dan

tak mungkin menikmatinya lagi.

 

Ciputat, 2019

 

Kutemukan Bossa Nova di Ciputat

 

Malam jatuh di fly over samping

Plasa Ciputat. Iringan gitar

Joao Gilberto dengan chord

miring persis Jaz, kutemukan

di Brazil 1950-an, orang-orang

menyebutnya sebagai Jaz Brazil,

Latin dan Samba. Dari

 

          Tom Jobim dengan Garota de Ipanema yang memunculkan mitos nona Heloísa Pinheiro, atau Astrud Gilberto, atau Baden Powell de Aquino dengan Estudos, atau Babel Giberto, atau Carlos lyra, atau Chico Buarque, atau Edu lobo dan Maria B dengan Edu e Bethânia, atau Elis Regina dengan O Bem do Amor dan Em Pleno Verão, atau Elza Suares, atau Gal Costa dengan Fantasia, atau Gilberto Gil (seorang pemusik sekaligus politikus) dengan RealceTropicália: ou Panis et CircencisExpresso 2222, atau Hermeto Pascoal, atau O AmorO Sorriso e a Flor, atau Lisa Ono (seorang perempuan Brasil yang besar di Tokyo) dengan Dream, atau Marcos Velle, atau Nara Leão Vento de Maio, atau Paula Morelenbaum, atau Rosa Passos, atau Antonio Pecci Filho (dikenal sebagai Toquinho) dengan Bella la vitaDoce VidaLe storie di una storia sola, atau sampai Vinícius de Moraes (O Poetinha) dengan Canção do Amor Demais, semua dirasa cukup nikmat didengarkan.

 

Malam jatuh di fly over samping

Plasa Ciputat. Nyanyian Bossa Nova

terdengar proaktif dari kemacetan

dan gemuruh bintang-bintang.

 

Barangkali gitar klasik, drum perkusi, cabasasurdo,

dan clave, dan vokalis mirip opera membawa sejarah

kegembiraan, kemegahan dan kesepiannya. Katanya,

 

Bossa Nova menjadi musikalitas orang-orang Borjuis

dengan makanan-makanan yang tak masuk akal harganya,

dan menjadi penunjang eksistensi Brazil di Muka dunia.

Atau John Coltrane mncoba eksperimen Jaz dengan unsur

Bossa Nova untuk memanjakan pendengar Jaz Amerika serikat.

Atau menjadi oposisi kelas pekerja dengan Música popular brasileira.

 

Malam jatuh di fly over samping

Plasa Ciputat. Iringan

suara Rafika Duri dengan Tirai, Tersiksa lagi (lagu asli dari

Utha Likumahuwa), dan suara-suara lainnya yang tak dapat

kusebutkan satu persatu, barangkali terasa sepi

dan nikmat daripada gemuruh lampu jalanan.

 

Malam jatuh di fly over samping Plasa Ciputat.

Alangkah damai menikmati komposisi samba

dengan chord 7, 9, atau variasi 1, 2 dan 3 dengan

piano dan 4, 5 dan 6 dengan gitar, atau tempo 139-an,

atau ketukan side stick, atau gabungan keromatik dan arpegio.

 

Malam jatuh di fly over samping

Plasa Ciputat.

 

Iringan gitar

Joao Gilberto dengan chord

miring persis Jaz, kutemukan

di Brazil 1950-an, orang-orang

menyebutnya sebagai Jaz Brazil,

Latin dan Samba, tapi kini

kutemukan suaranya di Ciputat.

 

Ciputat, 2021

 

Ahmad Rizki, menggelandang di Ciputat, Tangerang Selatan. Beberapa puisi omong kosongnya termaktub di media daring. Buku puisi yang terlanjur terbit, Sisa-Sisa Kesemrawutan (2021). Informasi tambahan dapat ditemukan di Instagram @ah_rzkii email ahrizki048@gmail.com

 

Posting Komentar

0 Komentar