Cerpen Abdullah Mushabbir: Matahari

Ia sedang mengingat-ingat penandaan di kalender: bulan di langit berganti setiap Selasa, janji temu dengan wanita–yang hampir ia lupakan namun bersedia menjalin hubungan kembali–di tanggal 19, hingga warna merah terang untuk hari ulang tahunnya. Ia bosan melihat-lihat komposisi sampo, kalau berniat menghafalnya dia bisa melakukannya. Namun tak ada yang bisa ia lakukan untuk mengeluarkan hajatnya di pagi hari. Perutnya kuat sekali, tak bersedia mengeluarkan sampah-sampahnya kalau tidak diisi buah-buahan atau sayur-mayur. Ini juga salahnya sendiri. Mau bagaimana lagi.

Tiba-tiba saja lantai kamar mandi bergoyang hebat. Air di bak bergelombang hingga tumpah, ia jatuh dari jongkoknya. Segera saja ia membilas lubang pantatnya di keran, mengindahkan kotorannya mengotori air di bak. Orang-orang berteriak di luar, mengatakan, ‘gempa! gempa!’ dan sepertinya berkumpul di luar. Lantai masih bergoyang dan ia mulai pusing. Ia menggeser engsel pintu dan membukanya dengan cepat. Ia berlari tak tentu arah. Pintu rumah di depan menjadi tujuannya.

Namun ia tak melihat pintu rumah. Pula tetangga-tetangga yang suaranya ia dengar tadi. Ia hanya melihat puing batu bata di sekitarnya, kasar dan keras, seolah-olah ia sudah lama tinggal di sana. Debu-debu halus memasuki hidungnya dan membuatnya terbatuk-batuk. Rumput indah yang selama ini ia pelihara dengan mahal lenyap begitu saja. Langit terang memastikan penglihatannya. Tadi turun hujan. Kenapa sudah hilang mendungnya?

Ia mencoba bangun, menyaksikan pintu kamar mandinya runtuh, bersama dengan rumah yang tampaknya bukan rumahnya sendiri. Ia berlari kencang begitu melihat sebagian dinding mengarah padanya, namun tetap saja terjatuh. Tumitnya berdarah. Sebagian kulitnya terkelupas. Lukanya tak terlalu dalam, namun ia hanya meringis menahan sakit. Tak ada air mengalir. Batu-batu reruntuhan tak membantunya membersihkan luka. Untuk sementara, ia akan mengabaikan luka itu dan terus berjalan.

“Yusuf?” Sebuah suara memanggilnya, membuatnya menoleh ke arah matahari terik namun sosok yang memanggilnya membuatnya terlihat seperti siluet di matanya. Itu siluet sesosok wanita. Seorang wanita memanggilnya. “Kamu Yusuf, kan?”

“Siapa?” Tokoh utama kita yang bernama Yusuf ini kemudian bangun, mencoba menjawab pertanyaannya sendiri. Wanita di hadapannya masih menunggu jawaban. Yusuf masih diam untuk memastikan bahwa penglihatannya tidak salah. Kepalanya mencoba berbagai hipotesis untuk kemudian menyampaikan pertanyaan untuk menyesuaikan temuan. “Kamu siapa, ya?”

Wanita itu tertawa kecil, lalu menjawab, “Kulsum. Kita satu fakultas.”

Yusuf tak percaya. Kulsum yang disukainya. Dalam situasi bencana di mana ia masih bingung dengan keadaan dan sekitarnya malah bertemu dengan Kalsum. Wanita itu tak hanya disukainya, tapi kalau sempat mengungkapkan cinta, ia musti akan mengungkapkan cinta. Namun wanita itu sudah menikah. Setidaknya ia sudah menikah dalam kehidupan yang Yusuf ketahui.

***** 

Kulsum adalah mahasiswa seni rupa ketika Yusuf pertama kali menemuinya. Ia sedang menempa sebuah besi agar dapat dibentuk menjadi medium lukis terbarunya. Tugas kuliah yang penuh uji coba membuat wanita itu tertutup dengan alat-alat pertukangan, dan Yusuf menganggapnya liar. Wanita ini berbahaya, begitu pikirannya berbicara. Namun ia tetap datang pada wanita itu untuk mengirimkan pesanan.

“Atas nama Kulsum?” Yusuf memanggil. Ia sedikit berteriak karena suasana lokakarya cukup bising. Wanita yang sejak tadi diperhatikannya itu menoleh, berdiri dari jongkoknya, lalu berlari. Ia mundur sedikit untuk memberi ruang pada wanita itu, lalu menyerahkan sepucuk kertas. “Ini nota untuk pesanan besinya.”

“Makasih, pak.” Kulsum mengambil kertas itu dengan cepat, mengecek isinya, “Udah dibayar, kan ya Pak? Saya transfer kemarin.”

Yusuf mengiyakan, memberi acungan jempol dan hendak pergi. Besi-besi yang wanita itu pesan sudah diturunkan sebelumnya. Namun, belum sempat menyalakan mobil, wanita itu datang mengetuk jendela. Yusuf menurunkan jendela, melihat Kulsum datang dengan bungkusan plastik. “Ini ada gorengan, Pak. Aslinya banyak, tapi saya makan sedikit hahaha…” Yusuf berterima kasih, membiarkan wanita itu kembali pada kesibukannya. Dari belakang, ia bisa melihat betapa kotornya kaus wanita itu, juga kerudung dan celananya. Tapi Yusuf mengabaikan itu, lalu menyalakan mobil untuk kembali.

*****

Selain kesan liar ketika pertama Yusuf melihatnya, ia tertarik dengan banyak hal dari Kulsum: kerja kerasnya, rutinitasnya yang teratur, hingga kemampuannya menarik perhatian banyak orang dan berbicara dengan mereka yang mengagumi lukisannya. Kulsum sudah melakukan pameran sendiri sejak kuliah, menjual lukisannya pada kolektor-kolektor terkenal dari kalangan pejabat dan pengusaha. Kepada teman-temannya, Yusuf membual bahwa pelukis tersohor itu adalah temannya, namun Yusuf sendiri tak pernah benar-benar berbicara atau duduk bersama dengan wanita itu. Perannya selama ini hanya pemasok rongsokan dan besi-besi bekas sedangkan wanita itu menyulapnya menjadi lukisan cantik nan indah. Ia tak berbelas kasih ketika melihat keseharian Kulsum penuh dengan perjuangan, namun melihatnya lebih sebagai perjuangan seorang wanita hebat. 

*****

“Bagaimana kau bisa di sini?” Kulsum bertanya, membuat Yusuf bingung, melihat sekelilingnya yang penuh kekacauan dan berhenti berjalan. Setelah bertemu, mereka memutuskan untuk berjalan dahulu, pergi dari reruntuhan itu, lalu berhenti pada pepohonan jarang berdaun rindang. Dalam perhentian waktu itu, Yusuf sudah mencoba mengatakan sesuatu, namun malah didahului Kulsum yang memang tak bisa basa-basi. Wajah Kulsum menunjukkan keheranannya. Yusuf bukannya tak heran, namun lebih bingung bagaimana ia bisa berakhir di tempat yang sama sekali berbeda. “Kok kamu bisa di sini?”

“Saya keluar dari toilet.” Yusuf memulai penjelasan singkatnya. “Tapi malah gempa dan akhirnya saya keluar. Saya juga ga tau ini di mana.” Yusuf bisa merasakan rumput-rumput kering melukai kakinya. Namun mereka tak terlalu tajam. Ia bisa meluruskan kakinya sebentar.

Kulsum terdiam. Ia tak menyangka Jawaban Yusuf dan untuk saat ini mempercayainya. Ia melihat lelaki itu dengan teliti, barangkali menemukan sesuatu yang berbeda. “Kamu sekarang udah dewasa. Tapi ga keliatan kaya orang tua.”

“Ya. Kamu dulu manggil saya “Pak”.” Mereka berdua tertawa, mengingat-ingat kembali masa lalu ketika masih mahasiswa. Penampilan Yusuf tak kalah berantakannya dari Kulsum. Bekerja di bengkel di sela-sela kuliah, pakaiannya penuh noda oli dan keringat. Debu-debu rongsokan mobil membuatnya terbiasa menutupi wajah. Namun Yusuf tak memakai masker. Ia merobek salah satu kausnya dan menggunakannya sebagai kerudung dari kepala hingga leher. “Dan saya emang keliatan tua. Sorry aja.”

Keduanya terdiam melihat pemandangan. Dan tiba-tiba saja Yusuf bertanya. “Tapi ini di mana?”

Kulsum menoleh, tak percaya dengan pendengarannya. Yusuf sudah sejak tadi masuk ke sini, namun dia tidak sadar, begitu pikirnya. Namun Yusuf sebenarnya sudah bingung sejak tadi, ia berusaha untuk tidak menunjukkannya saja. “Jadi kamu belum tahu ini di mana?”

“Yah… ini keliatan kaya bukan kampungku.”

“Kenapa baru tanya?”

Yusuf terdiam. Sedari tadi ia sudah ingin bertanya, namun berusaha menyembunyikan kebingungannya. Kulsum mendekat dan menatap matanya, membuat lelaki itu grogi setengah mati. Setelah menarik-hembuskan nafasnya, Kulsum membuka mulut. “Ini lukisanku. Kau masuk ke dalam lukisanku, Suf. Kita sekarang ada di dalam lukisan.” 

*****

Setelah Kulsum mengatakan itu, tiba-tiba saja tanah bergetar. Yusuf merasakan gempa untuk kedua kalinya. “Di sini juga sering gempa?” Yusuf bertanya sembari menggandeng tangan Kulsum untuk berlari. Mereka menuju tanah lapang, rumput-rumput setinggi paha. Bahkan dalam pemandangan seindah ini, gempa juga terjadi? Yusuf bertanya-tanya dalam benaknya, tak yakin dengan tanah yang masih berguncang. Kulsum sempat hampir terjatuh namun masih bisa berdiri kembali. Lelaki itu terus meraih tangannya, berusaha untuk lari dari…

Dari mana sebenarnya gempa itu?

Ke mana sebenarnya tujuan kami?

“Kalau ini memang lukisanmu, kenapa bisa gempa?” Yusuf berhenti, masih merasakan getar tanah di bawahnya, namun duduk agar tak terjatuh. Kedua tangannya meremas rumput, berusaha tetap tegak. Kulsum terdiam, tak tahu mesti menjawab apa. Wajahnya tampak terbiasa dengan keadaan, namun tak tahu bagaimana mesti menjawab orang yang pertama kali datang ke dalam lukisannya. “Ini lukisanmu kan? Bukan dunia nyata? Kenapa bisa gempa?”

*****

“Ini bukan bencana. Hanya getaran biasa.” Kulsum menundukkan kepalanya, masih berdiri menghadap matahari terbenam. Sebenarnya, matahari itu tidak bergerak. Yusuf juga akhirnya menyadari: awan-awan tipis, matahari terik di kaki langit. Di sana barat atau timur? Matahari itu baru terbit atau hendak tenggelam? Ini pagi atau sore hari? Semua itu muncul dari kepala Yusuf, namun bahkan Kulsum tak mampu menjawabnya. “Ini lukisanku, sekaligus mimpi burukku.”

“Bagaimana bisa?” Yusuf menahan diri untuk mencecarnya, namun langsung bertanya apabila Kulsum sudah memberi jawaban. Gempa berhenti untuk memberi mereka waktu berbicara, saling berhadapan. Kulsum sudah lama tak bercerita, bahkan pada keluarganya sendiri yang ada di rumah. Yusuf sudah lama tak bertemu wanita itu dan baru mengingatnya semalam. Ia bangun tidur untuk menjalani hari-harinya sendiri, bukan menyelesaikan mimpi buruk wanita itu. “Bagaimana bisa aku di sini? Apakah ada yang pernah kesini sebelumnya? Atau kau yang memanggilku?”

“Tidak. Tidak satu pun dari pertanyaanmu.” Kulsum berpaling. Ia sama sekali tak ingin menjawab cercaan pertanyaan itu, memilih untuk diam. Ia melanjutkan perjalanannya menuju mentari kaki langit. Ia sendiri tidak tahu matahari macam apa itu: apakah ia terbit atau hendak tenggelam, atau kah muncul dari timur atau hendak menetap di barat. Matahari itu hanya terik sesuai ingatannya, dan ia benar-benar sudah lupa bagaimana melukisnya. “Aku juga tidak tahu bagaimana kau akan keluar dari sini.”

“Tapi ini lukisanmu! Kau juga bilang ini mimpi burukmu!” Yusuf mengejarnya, meraih tangan wanita itu, menunjukkan keputusasaan. “Apakah ini sering terjadi? Sejak kapan kau bermimpi buruk?”

Kata Yusuf tiba-tiba saja berubah lembut. Ia baru sadar bahwa kulit wanita itu lembut, membuat Yusuf khawatir ia baru saja berbuat kasar. Ia juga tidak pernah membentak wanita itu selama ini. Ini mungkin pertama kali, jadi Yusuf merasa bersalah. Mereka tak pernah dekat untuk saling membentak.

Dan sebagaimana yang Yusuf takutkan, Kulsum tertunduk. Ia menyembunyikan wajahnya di balik kedua tangan, menangis lembut namun sesenggukannya terdengar cukup keras. Sekeliling tiba-tiba terasa tenang, tak hanya karena gempa yang pergi, tetapi juga lukisan itu yang tenang. Yusuf melihat desa di kejauhan, ditandai dengan menara-menara tinggi dan atap-atap bergenteng coklat. Ia berdiri di samping Kulsum untuk menemani tangis wanita itu. Ia hanya berharap wanita itu tak kesepian.

*****

Yusuf mungkin sudah tiga tahun tidak melihat wanita itu sehingga tidak tahu kabar terkininya. Namun wanita itu sedang berada dalam bencana: tiga bulan lalu, di kehidupan nyata, ia terlibat kecelakaan parah. Mobilnya terlempar dari jembatan, membuatnya tenggelam dalam sungai. Untungnya, tubuhnya ditemukan di dalam mobil, tidak hanyut mengikuti derasnya aliran air. Sejak saat itu ia koma. Tubuhnya sudah ditemani orang-orang tercinta dari keluarganya: sang ibu dan kakak perempuannya. Sang ayah yang masih hidup tak pernah menjenguk, atau bahkan dilihatnya ketika ia masih sadar.

Orang-orang mengatakan bahwa lukisan Kulsum banyak diinspirasi oleh kebutuhannya akan kasih sayang seorang ayah. Lelaki itu ada, namun tak pernah berkunjung bahkan ke lokakarya Kulsum yang ia rintis sendiri sejak kuliah. Kulsum sendiri merasakan bagaimana kolektor-kolektor tersohor membeli karyanya karena bisa turut merasakan kesepian: pepohonan yang berjauhan, desa-desa terpencil seolah-olah mati namun hanya dihuni oleh orang-orang tua sehingga tak pernah terlihat di jalanan, anak kecil yang dititipkan orang tua mereka selagi sibuk bekerja dan bermain di padang ilalang. Namun, selain itu, orang-orang selalu bisa melihat diri Kulsum dalam lukisannya.

sebuah mentari dan cahaya teriknya, yang tak jelas hendak apa, ada di mana, atau apa yang sebenarnya ia wakili. Kulsum, pelukisnya, mungkin adalah mentari itu. Ia terlihat begitu terik dan terang, memberikan pesona yang berkilau sempurna namun tak jelas maksudnya: apakah ia berambisi untuk menjadi pelukis terkenal, atau tenggelam bersama calon-calon seniman lain dalam gempuran ambisi untuk abadi.

Seseorang menulis itu di koran, membuat Kulsum hampir muntah karena kebenarannya. Ia muak menghadapi para kritikus itu. Orang-orang mengelompokkannya sebagai pelukis romantis, namun ia tak benar-benar mempelajari teori itu hingga akhirnya memahat sendiri kanvasnya dengan kuas berbagai warna, mengutarakan isi kepala dalam gambarnya. Dalam kecelakaan tragis itu, Kulsum kemudian terbangun di dunia Ranganasi, lukisannya sendiri yang ia jual lima tahun lalu.

*****

Kulsum lupa kepada siapa ia menjual karyanya. Ranganasi bukan salah satu favoritnya, tapi entah kenapa ia terbangun di dalamnya. Untuk itu ia berusaha keluar, mencoba mencapai ujung-ujung kanvas atau bingkainya, namun sama sekali tak menemukan jalan. Apa yang terjadi pada dunia luar? Apa yang terjadi pada keluarganya? Apakah mereka tahu bahwa ia terjebak dalam lukisannya sendiri? Ia berteriak sekencang mungkin, namun hanya membuatnya lelah menghabiskan tenaga. Padang ilalang menemani langkahnya kemanapun ia pergi. Pohon dan langit menjadi satu-satunya pemandangan yang ia lihat sepanjang hari.

Kulsum juga lupa bagaimana menghitung waktu. Malam tak kunjung datang karena matahari tetap pada kaki langit yang ditulisnya. Ia tertidur ketika lelah berjalan menelusuri desa dan bangun ketika seorang nenek dengan anaknya bermain-main di dekatnya. Mereka tak bisa diajak berbicara: ketika Kulsum mencoba memanggil, mereka tiba-tiba menjauh, begitu pula ketika ia berlari mengejar mereka. Sosok-sosok dalam lukisannya sama sekali tak pernah bisa disentuh. Ketika melukisnya, ia hanya membayangkan akan ada dua orang nenek-cucu bermain-main. Mereka mengejar satu sama lain, tapi tidak berlarian dengan pelukisnya.

Keadaannya sama saja ketika ia menelusuri desa. Orang-orang tidak menghindarinya, namun ia selalu melihat mereka pergi atau menutup pintu, masuk ke dalam rumahnya. Tak ada satupun yang menyapa Kulsum di situ, atau mencoba berbicara kepadanya. Kulsum merasakan lagi kesepian dunia nyata, menyadari bahwa ia mungkin akan berakhir mati kebosanan di sini. Ia mulai menganggap Ranganasi sebagai karya terburuknya, sebelum kemudian gempa itu terjadi dan menemukan seorang lelaki. Yusuf muncul dari sana.

*****

Yusuf, dalam ingatannya, adalah lelaki baik hati. Ia bekerja di rongsokan mobil dan mendaur-ulang besi-besi dari sana. Melalui kenalannya, Kulsum kemudian mencoba membeli besi-besi bekas dari pintu atau atap mobil, meratakannya dengan palu dan membuatnya menjadi kanvas baru. Ketika mengadakan pameran, ia selalu mengundang lelaki itu namun tak mendapatkan jawaban apakah ia akan datang. Yusuf, meski begitu, selalu datang. Ia datang sendiri, memberikan tanda tangan di buku tamu, lalu berkeliling untuk melihat karyanya. Tak seperti kritikus seni, Kulsum tak pernah melihat Yusuf mengobrol. Bahkan mengobrol dengannya.

Tunggu.

Apakah Yusuf warga desa ini?

Kulsum selalu mengobrol dengan Yusuf ketika lelaki itu mendatangkan besi-besi bekas dari bengkelnya. Namun, ketika datang untuk pameran, Yusuf tak pernah berbicara dengannya. Tingkah lakunya serupa dengan warga desa dalam lukisan Ranganasi: selalu kabur ketika dipanggil, namun suaranya muncul ketika Kulsum sedang berdiam diri. Kulsum menatap punggung lelaki itu ketika menariknya untuk kabur dari gempa yang kedua, membawanya ke padang ilalang namun berhenti tiba-tiba. Di situlah Yusuf kemudian bertanya padanya, menyadari apa yang terjadi dan bagaimana ia kebingungan bisa sampai di sini. Kulsum sedang berpikir bagaimana lelaki itu adalah perwujudan warga desa, namun kemudian mencecarnya dengan berbagai pertanyaan dan membentaknya hingga menangis.

*****

Tanah kembali bergetar menandakan gempa ketiga. Kulsum tak pernah merasakan gempa sebelumnya dan ketika air matanya belum benar-benar kering di pipi, ia sudah berlari dari padang ilalang itu. Tujuan adalah reruntuhan tempat munculnya Yusuf, berharap orang lain mungkin akan muncul dan memberikan solusi. Yusuf berlari mengejar wanita itu, berharap Kulsum berhenti dan memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya. Namun untuk saat ini ia akan terus berlari. Berharap Kulsum memberikan jawabannya di waktu yang tepat.

Padahal ini bukan pernyataan cinta. Yusuf juga tak berniat melamar wanita itu meskipun sudah lama memendam perasaannya. Kenapa sulit sekali? Kenapa selalu sulit ketika mencoba berbicara dengannya? Dahulu lelaki itu grogi luar biasa sehingga tak bisa mendekatinya. Ketika pameran, ia bukannya tak menilai lukisan-lukisan Kulsum, tapi takut salah berbicara dan malah menyakiti hatinya. Ia sudah banyak mendengar kritikus itu mengomentarinya. Berbicara pada Kulsum tak akan membuat wanita itu merasa baik-baik saja.

Waktu seolah-olah berhenti kecuali untuk mereka berdua. Mereka mencoba berlari kencang namun lukisan itu tak terasa dekat atau jauh. Padang ilalang yang sama, reruntuhan yang serupa, hingga matahari tetap pada tempatnya. Reruntuhan itu muncul di hadapan mereka dan tidak ada siapapun mengikutinya. Gempa berhenti dan akhirnya hanya ada mereka berdua. Tuhan seolah-olah membuat kembali adegan Adam-Hawa dalam Ranganasi. Bedanya, Yusuf dan Kulsum tak tahu bagaimana menemukan jalan keluar. Lukisan ini bukan surga indah dengan kebosanan. Mereka bahkan tak tahu apakah mesti berdoa.

Berdoa.

Kata-kata itu muncul dari benak keduanya, dan saling bertanya apakah pernah mencobanya. Kulsum langsung bersujud di tanah, beralaskan pasir dan debu, menyebut segala keinginan dalam hatinya. Ia ingin keluar dari mimpi buruk ini. Ia ingin kabur dari lukisannya sendiri. Kalau bisa, ia ingin bertemu dengan siapa pun yang membeli Ranganasi di masa lalu dan atau siapa pun menyimpannya saat ini. Ia menyebut segala ayat yang dia ingat, kemudian beranjak untuk melihat apakah Yusuf melakukan hal serupa. Tapi…

Ke mana lelaki itu pergi?

Lelaki itu menghilang. Ia melihat kejauhan dan tak menemukan apa pun. Kulsum berdiri untuk memastikan penglihatannya, dan sama sekali tak ada sosok itu. Lelaki itu sempat hadir dan membentaknya. Kenapa ia tiba-tiba pergi?

*****

Yusuf terbangun dari pingsannya di kamar mandi. Dari matanya, ia bisa memandangi langit: atap kamar mandi itu terbuka, mungkin terhempas jatuh karena gempa yang sama yang menjatuhkannya dari dudukan toilet. Wajahnya basah karena air yang tumpah dari bak, mungkin masih menyala sejak gempa tadi. Ia tak benar-benar keluar, menggeser engsel atau membuka pintu. Semua yang ia alami seolah-olah kenyataan itu rupanya mimpi panjang. Tak ada lagi suara-suara tetangga yang ramai karena gempa. Ia berhalusinasi sejak bangun pagi dan masuk kamar mandi.

Setelah memakai kembali pakaiannya, ia benar-benar keluar dari kamar mandi, menuju kamarnya di tengah rumah. Sejak membuka pintu, ia sudah bisa melihat lukisan lama yang dibelinya dari wanita itu. Ranganasi, lukisan yang terlupakan dan dicari-cari oleh kolektor terkenal karena muncul kembali katalognya setelah sekian lama. Berita kecelakaan Kulsum di ibukota akhirnya sampai di telinganya, dan namanya disebut-sebut kembali di koran. Nama Kulsum melambung, dan orang-orang mencari kembali lukisannya, bahkan yang terbuang dan terlupakan.

Yusuf duduk di ranjang, mengamati kembali lukisan itu. Wajah Ranganasi tiba-tiba berubah tepat tiga bulan lalu, dan ia mencoba mengumpulkan keberanian untuk mengatakan hal itu pada keluarga Kulsum. Namun, ia terlalu takut. Sama seperti bagaimana ia tak pernah berani mengungkapkan perasaannya pada wanita itu. Ia hanya menuliskan penglihatannya pada jurnal hariannya, berharap suatu saat akan ada yang membacanya, entah malaikat atau utusan surga. Tuhan tak seharusnya menjebak wanita baik hati itu dalam lukisannya sendiri. Wanita itu masih berharga–setidaknya untuknya.

Di atas kasur, Yusuf berlutut, menatap sosok Kulsum di pojok lukisan itu. Ia bisa membayangkan wajah bingungnya, rupa sedihnya, atau bahkan keputusasaannya mencari jalan keluar. Beberapa kali ia bisa melihat sosok Kulsum berpindah dari ujung ke ujung, hingga bukit atau desa yang wanita itu lukis. Sayangnya, Yusuf tak bisa melakukan apapun. Bahkan ketika ia berkesempatan untuk ikut masuk ke dalamnya, ia malah panik dan hatinya ikut menyalahkan wanita itu. Tubuh Yusuf tiba-tiba lesu. Ia bisa merasakan air mata mengalir di pipinya.

 

Abdullah Mushabbir, mempelajari antropologi di UB, bercita-cita menuliskan karya etnografinya sendiri. Kunjungi blog mediumnya di Instagram: @diniatkan_murojaah

Posting Komentar

0 Komentar