Cerpen Abdullah Mushabbir: Mengundang Kematian Selepas Sarapan


Pendatang kota ini konyol-konyol, Hamzani berbicara pada dirinya sendiri. Mereka menganggap memandangi jembatan Suhat dari atas adalah hal romantis. Padahal tidak sama sekali. Kini ia memandangnya juga, namun dari sisi lain hotel apartemen. Sebuah video viral pada Minggu pagi, merekam orang-orang yang mengantri dengan sepeda motor atau mobil di malam sebelumnya. Di Tik-Tok, orang-orang berkomentar tidak mengerti maksud videonya. Munafik. Untuk hal maksiat, semua orang berpikiran cepat.

Namun ia tidak berniat mesum pagi ini. Tidak sama sekali. Ia diundang ke sebuah gedung tinggi kampus untuk bertemu dengan petarung yang merusak sarapannya. Angin berhembus kencang bukan hanya karena musim penghujan membawanya dari Selatan, tetapi juga tinggi gedung itu yang membuat siapapun akan mati kalau berniat bunuh diri. Hamzani menghabiskan hisapan terakhir rokoknya, menitipkan sisanya ke angin. Semoga tidak mengenai siapapun. 

*****

Hamzani sedang sarapan nasi Lombok pagi itu. Ia sebenarnya terkesan dengan masakan Jawa yang murah-meriah selama bekerja dalam proyek sirkuit di ujung Selatan pulau itu, namun ternyata ketika kembali, ia menyadari bahwa nasi Khas Lombok memiliki menu serupa: ayam suwir pedas dengan bumbu merah, sayur buncis yang diiris miring namun terasa segar karena tak dimasak benar-benar matang, dan orek tempe. Sebenarnya ada pula ayam atau ikan atau kacang kedelai yang menjadi bagian renyah menu itu. Namun ia memutuskan tidak makan daging selama masih bekerja. Setelah pulang bekerja, ia baru memesannya. 

Dan lelaki itu datang ketika ia sedang menyendok makanannya. Belum sampai masuk mulut, mejanya terlempar, piringnya terhempas, dan nasi beserta lauk-pauk yang ia ambil sendiri (karena akrab dengan penjualnya) terbang begitu saja ke udara. Hamzani bahkan tidak sempat menyelamatkan segelas teh hangat yang selalu menemaninya di pagi hari, seperti sarapan orang-orang Inggris. Ia hanya bisa melihat sarapannya berserakan di tanah, bercampur dengan pasir dan batu-batu kerikil.

Ia memutar leher, menengok sisi lain. “Siapa, ya?” Ia terlalu mengantuk pagi itu hingga pandangannya rabun, belum lagi sinar mentari yang langsung menyerang matanya. Otaknya tidak cukup kuat berkonsentrasi sehingga hanya bisa bertanya pada siapapun yang merusak momen sarapannya. Ia berusaha kembali duduk ke kursi dan membiarkan sarapannya terbuang. “Ada apa kok rusuh?” 

“Ayo bertarung lagi.”

“Tarung apa?” 

“Kali ini saya ga bakal kalah.”

“Tunggu dulu. Siapa kamu?” 

Bahkan ketika ia sudah duduk dan mendekatkan wajah pada si perusuh, otak Hamzani belum mampu mengenalinya. Ia menyendok air basuh, menyegarkan kedua matanya. Di hadapannya adalah Hendra, preman pasar besar yang dikalahkannya dua pekan lalu, dalam pertarungan tanpa aturan. Dari sana, Hamzani tidak hanya menerima musuh-musuh baru, tetapi juga pendapatan sementara setelah ia di-PHK. Sebenarnya ia bekerja serabutan, dan tak banyak kontrak yang mempertahankannya lebih dari tiga bulan. Tapi tetap saja ia di-PHK. Kini ia bertarung untuk makan sehari-hari, sembari menunggu info loker baru.

“Kenapa kamu ga makan dulu?” Hamzani merunduk untuk mengembalikan meja pada tempatnya, memunguti piring-piring dan gelas lalu membersihkan remahan nasi dari tanah. Ia berpikir bagaimana seharusnya mereka masuk ke dalam perutnya, alih-alih terbuang sia-sia di tanah. Ia berdoa dalam hati agar ada makhluk-makhluk kecil lain yang menikmatinya, mungkin lalat atau ulat tanah. Setelah dirasa bersih, ia memanggil pemilik warungnya, “Di sini makanannya enak, kok. Mbak, satu lagi ya.” 

Hendra masih berdiri di sampingnya, tidak menolak, namun menunggu momen yang tepat. Setelah menghembuskan napas, ia lalu duduk di hadapan lawannya dua pekan lalu itu, memohon maaf pada pemilik warung, namun sepertinya wanita itu masih sakit hati. Ia memberi dua porsi ke meja mereka, membuat Hendra membelalakkan matanya.

“Tapi saya ga mesen mbak.” 

“Mangan ae. Tak antemi lek dibuak maneh.”

Hamzani langsung melahap sarapannya. Ia khawatir preman pasar itu mengamuk lagi, membuat harinya semakin buruk bahkan ketika matahari masih pagi. Dalam hati, ia berjanji tidak akan makan hingga malam kalau sampai pesanan keduanya terbuang juga. Tak ada mitos tertentu yang melatarbelakangi itu, tapi uang di dompetnya sudah benar-benar habis. Tak mungkin jika ia minta bayaran Hendra. Tak mau ia makan uang haram dari preman itu. 

“Jadi, kamu mau ga?” Hendra bertanya dengan mulut penuh nasi, membuat Hamzani mengernyitkan mata.

“Habisin dulu,” Hamzani menjawab. Preman pasar di hadapannya setuju untuk diam dan hanya lalu lalang kendaraan bermotor yang mengisi ruang percakapan mereka pagi itu. Hendra mengeluarkan rokoknya, menyalakan korek. Hamzani beranjak, mengambil dua bungkus kerupuk. Pembicaraan mereka tidak boleh terlalu serius. Undangan pertarungan harus dihadapi dengan tenang.Hamzani mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Lawannya kali ini adalah preman pasar yang terkenal. 

*****

Sebenarnya, Hendra adalah petarung hebat. Kemampuannya dibuktikan tidak hanya di dalam ring pertarungan, tetapi juga diakui oleh pedagang-pedagang yang menghormatinya. Puluhan tahun menjaga pasar, ia selalu bisa mengalahkan preman-preman yang mengganggu, mencoba mencuri dagangan dengan membegal pedagang di tengah jalan. Untuk itulah ia tidak selalu berada di tempat ketika orang-orang mencarinya: ia juga bertugas menjaga distribusi rantai makanan agar lebih aman dan kriminal tidak membuat bisnisnya berantakan. 

Pada suatu waktu, Bupati berencana menggantinya dengan petugas-petugas baru yang lebih muda dan segar, namun tidak terlihat berpengalaman dan pekerjaannya hanya membersihkan sampah di jalanan, menegur pedagang yang kiosnya berantakan. Petugas-petugas muda itu tak disukai, dan mereka lebih banyak berceramah daripada bekerja. Dengan dalih “sosialisasi”, mereka pamer seragam mahal dan meminta pedagang mengisi kuesioner. Mereka memang mendapatkan gaji dari dinas pasar sehingga tak pernah meminta segelas pun kopi. Namun orang-orang masih merasa tak aman. Mereka lebih menginginkan Hendra dan kelompoknya berkeliling pasar.

Maka Hendra pun kembali, sama sekali tak mengusik kerja pegawai-pegawai kabupaten namun mereka tetap tak menyukainya. Konflik antar-mereka dihindari dengan saling mengacuhkan wajah, menatap sisi lain ketika berpapasan. Bahkan mereka berusaha untuk tidak saling bertemu. Kedua kelompok itu akhirnya masih tetap berada di pasar, mengerjakan tugas masing-masing dan tidak saling menyentuh. 

Apakah Hendra pernah bertarung dengan mereka? Ndak, ndak. Hendra tidak pernah bertarung kecuali dengan sesama preman. Pegawai kabupaten itu terlihat terlalu ringkih, badannya terlalu kurus sekaligus buncit, hingga tidak tampak sering berolahraga. Dan jangankan berkelahi, mereka mungkin tidak pernah lari pagi!Beberapa pedagang meminta Hendra untuk mengusir mereka, namun dia hanya memenangkan pedagang pasar dengan mengatakan,

“Mereka juga kerja. Biarin aja.” 

*****

Reputasi preman pasar itu kemudian sampai di telinga Hamzani di hari pertamanya datang ke kota ini. Ia sedang merapikan pakaiannya di kamar kos baru, kos murah yang dibaginya dengan sepuluh orang karena kamarnya memang berukuran besar. Rumah-rumah di pinggiran kota yang berbatasan dengan wilayah kabupaten banyak menyediakan rumah setengah jadi sebagai bisnis akomodasi. Sebagai pelengkap, penghuninya diberikan kasur lantai, sebuah lemari kayu, dan dua kamar mandi. Teman kosnya bertanya pekerjaan apa yang dia lakukan; wajah Hamzani sudah terlalu tua (dan mungkin tampak bodoh) sehingga mereka berasumsi lelaki pendatang itu sedang tidak menempuh S2--atau pendidikan apa pun. 

“Belum ada, Mas.”

“Lah, nganggur? Ngapain kesini kalo gitu?” 

“Yah katanya banyak kerjaan di sini, jadi kesini dulu.”

“Lah dari mana uang buat bayar kos?” 

“Ah, ada modal dari kerjaan sebelumnya.”

“Kerja apa sebelumnya?” 

“Oh, saya tukang di sirkuit. Bagian masang tribun.”

Dari situ, mereka pun bertukar cerita tentang pekerjaan, keluarga yang ditinggal di desa, hingga judi slot yang ramai namun tak benar-benar menguntungkan. Hamzani lanjut merapikan pakaiannya, hingga ia ditanya pekerjaan apa yang sedang ia cari. Terserah, jawab Hamzani, apa aja. Salah seorang temannya menyarankan agar ia pergi ke pasar besar. Di sana, ia bisa bertanya satu per satu ke pedagang, barangkali ada lowongan dan beruntung ia mampu melakukannya. Ia mengiyakan saja tawaran itu, sebelum akhirnya memikirkannya ulang setelah teman lainnya bercerita tentang Hendra. 

“Tapi Cak Hendra emang kuat banget. Lawannya paling banyak lima.”

“Emang kamu pernah liat dia berantem?” 

“Ya kalo mau liat ya ke Astro. Di sana kan dia ikut tanding.”

“Astro?” Hamzani nimbrung. Ia semangat setelah mendengar kata bertarung. “Di mana itu?” 

Astro adalah arena pertarungan bawah tanah yang terkenal di kalangan mahasiswa dan pekerja kerah putih. Di sana, warga kota–para pendatang, khususnya–melampiaskan gairah hewani mereka dalam sorakan-sorakan penuh semangat dan pertarungan satu lawan satu yang dijadwalkan sebelumnya. Para petarung musti mendaftar baik sebagai individu maupun tim, dan punya waktu seminggu untuk bersiap-siap. Antriannya yang cukup panjang menjadi bukti lakunya tempat ini. Setiap pertandingan berharga tinggi dan para pemenang membawa pulang banyak uang, selain luka-luka yang sama mahalnya untuk diobati.

Dan meskipun banyak tempat lain yang dibuka dengan tujuan serupa, Astro masih menjadi arena utama pertarungan bawah tanah. Letaknya tak jauh dari alun-alun dan juga masjid, terjangkau dari berbagai lokasi. Warga sekitar kadang mendapati sekelompok orang berlatih dahulu di sekitar rumah mereka sebelum akhirnya pulang dini hari dengan kondisi babak belur. Ada juga yang pulang di pagi hari, namun bisa dibedakan dari pakaiannya apakah dia baru dari masjid atau Astro. Apakah mereka pulang dari pertarungan atau peribadatan. 

Salah seorang teman kos Hamzani ternyata pernah bertarung di sana, kebetulan saja ia sedang tak berada di kamar sehingga dengan santai dibicarakan. Pertarungannya terjadi menjelang hari raya kurban, dan ia musti beristirahat sepekan sehingga tak pulang kampung. Seluruh wajahnya babak belur dan mereka, teman sekamarnya, memutuskan untuk libur kerja juga meskipun masih sempat pulang ke rumah orang tua. Dalam tujuh hari itu, mereka bergantian mengompres wajahnya dengan es batu, mengolesi salep sedikit demi sedikit. Meskipun tak mendapat daging kurban, mereka bersyukur setidaknya mendapatkan pemandangannya.

“Maksudnya?” 

“Iya. Wajahnya kayak daging kurban,” seorang temannya menjawab. “Merah semua. Seger.”

Mereka tertawa pagi itu, menghisap rokok dengan pikiran santai, tak menyadari bahwa teman baru di kos mereka juga akan melakukan pertarungan serupa. Di Astro pula. Salah mereka tidak melarangnya. 

*****

Hal pertama yang tidak disukai Hamzani sesampainya di tempat itu adalah remang-remang. Astro terlalu gelap, ia hampir tidak bisa melihat wajah orang-orang di sekitarnya kalau bukan karena cahaya kelap-kelip dari arena utama. Panggung pertarungan itu memastikan ia berada di tempat yang tepat, tak perlu bertanya lagi. Lagipula, ia juga diantar teman kosnya yang pernah bertarung di sana. Ya, teman kos yang tak bisa pulang karena babak belur sepekan seminggu sebelum hari raya kurban. 

“Kamu yakin udah daftar kan? Udah bayar biaya pendaftarannya?” lelaki itu memastikannya kembali, mengingat Hamzani baru pertama kali ke sini. Yang ditanya sejak tadi menoleh kesana kemari, melihat ke sana sini lalu mengangguk saja. “Kalau gitu kita ke belakang. Lawannya kamu udah nunggu.”

Calon lawannya sudah diumumkan sejak lima hari sebelumnya. Nama yang dia pilih sendiri itu sudah terlalu berat, dan orang-orang bertanya siapa pendatang baru ini. Cak Hendra ga mungkin kalah. Siapa Hamzani ini? Ngesok sekali. Namun akhirnya tiba hari itu, melawan laki-laki yang kehebatannya terdengar kemanapun ia pergi. Preman pasar itu terlalu kuat. Dia tak terkalahkan dalam banyak pertandingan. 

Dari pintu ruangannya, Hendra dapat melihat lelaki itu. Ia sempat melihatnya menjadi sopir swalayan pasar, lalu mengabaikannya sekali jalan. Ia tak percaya akan ditantang langsung oleh pendatang dan ini pertarungan pertamanya di Astro. Diminumnya sebotol air dari meja bahkan ketika ia tidak haus sama sekali. Ia hanya gugup saja. Insting liarnya mengatakan lelaki itu berbahaya. Nama Hamzani baru ia dengar kemarin ketika pemilik Astro meresmikan jadwalnya. Ia sempat bertanya lewat WA, tapi langsung dibalas dengan sebuah foto. Siapapun yang mendaftar di tempat itu memang musti berfoto. Kalau-kalau mereka kriminal, polisi bisa menangkapnya.

Dan Hendra meneguk lagi air dari botolnya. Ia bisa merasakan gelisah bahkan dari pantulan dirinya di cermin. Lelaki itu terlalu sombong. Dia langsung menantangmu meskipun baru pertama kali. Kau pasti bisa mengalahkannya. Tidak. Dia sama sekali bukan levelmu. Orang-orang tidak mengatakan itu, namun Hendra bisa membayangkan bagaimana orang-orang sekitarnya berbicara. 

Jam menunjukkan pukul 7.20. Masih ada dua pertarungan lagi sebelum akhirnya dia musti naik panggung. Ia seharusnya sudah berganti pakaian dan berlatih sebentar, menendang-pukul samsak gantung di pojok ruangan. Ia meminta bawahannya pergi, tak mengganggunya sama sekali. “Datanglah jika kalian ingin menjadi pengganti samsak itu,” ia mengancam. Namun mereka tak benar-benar pergi. Setidaknya ada satu orang yang masih tinggal.

“Ayo, Cak. Sparing sama saya,” bawahannya itu menantang. Hendra tertawa getir. Ia hanya ingin menenangkan diri, menentramkan hati dan pikiran agar tak terpengaruh insting liar itu. Hamzani tampak seperti hewan liar buas yang akan mencengkeram hewan apapun yang lewat di depannya, menerkam segala daging tebal baik berenang atau terbang. Melihat bawahannya, Hendra mendapatkan cerminan dirinya sendiri: ringkih nan rapuh. Masuk ke kandang singa untuk bunuh diri. 

“Kau terlalu lemah. Aku juga akan mengundurkan diri.”

“Cak.” 

“Kenapa? Kaya pengecut?”

“Ya, tapi kan udah ke sini? Masak mundur lagi?” 

“Jangan kaget. Ini bukan pertama kali.”

“Tapi dendanya mahal. Kursinya penuh semua juga karena weekend.” Bawahannya menunjuk pada kerumunan penonton yang sudah penuh sejak siang. Astro menggelar pertarungan sore pada akhir pekan. Malam minggu bukan hanya jadi ajang pertarungan dua orang kekasih di ranjang kasur, tetapi juga penuh darah dan keringat di atas panggung. 

“Kalau begitu aku akan memanggil pengganti.”

Keduanya terdiam. Tak butuh waktu lama bagi bawahannya untuk segera keluar dan menuju ruang panitia. Ia menyampaikan niat pengunduran diri bosnya, memberikan alasan bahwa, “Cak Hendra tiba-tiba sakit perut. Dia pengen pulang aja.” Kacung itu juga musti menghentikan panitia yang berniat langsung mendatangi Hendra, namun preman pasar itu sudah tidak ada di ruangannya, digantikan dengan preman lain yang dikenalnya tepat satu pertarungan sebelum sajian utama. Malam itu, Hamzani dan Hendra tak bertemu. Mereka baru bertarung sebulan kemudian. Hendra kalah. Sang preman pasar mengundang lelaki pendatang itu ke sebuah gedung tinggi kampus terkenal dua pekan kemudian. 

*****

Tidak hanya pendatang, warga asli kota ini juga punya imajinasi yang konyol. Hendra menyadari hal itu dalam debat di kepalanya. Mereka mengira kota ini sudah romantis sejak mulanya, mengadakan pembicaraan-pembicaraan penting seolah seorang gadis muda akan menyukai mereka, atau seorang pria tampan melirik mereka dari jauh. Kota ini tidak romantis.Hendra sendiri punya dua jadwal pertarungan minggu ini. Darah mungkin akan mengucur dari matanya. Giginya akan berantakan dan gusinya semakin merah. Apa yang romantis dari hal itu? 

Lift berhenti. Pintunya terbuka dan Hendra keluar melihat orang-orang berlalu-lalang. Lantai teratas selalu ramai. Orang-orang paling sibuk di sini. Namun ia berjalan menuju ujung lantai, menaiki tangga dan membuka pintu menuju atap. Langit mungkin hanya menurunkan hujan, namun juga menunggunya untuk segera bertemu dengan pria itu. Pria pendatang yang bekerja sebentar di pasar, lalu menantangnya dalam sebuah pertandingan akhir pekan. Sosok yang menyambutnya tak main-main, dengan dada bidang dan otot kekar, dibungkus kain putih yang seolah-olah akan meledak kapan saja. Hendra bisa merasakan letupan-letupan kecil di jantung, memberi otaknya peringatan bahwa ia baru saja masuk ke kandang macan, bukan atap gedung tinggi yang penuh angin sepoi-sepoi. Sinar terik mentari sama sekali tidak menghalanginya untuk melihat dengan jelas, namun hanya bayangan hitam yang ada di hadapannya.

Hamzani yang dihadapinya berbeda. Ia bukan seorang pendatang yang ia tantang seminggu lalu, saat sarapan. Sosok di hadapannya bukan pekerja pasar yang kehilangan pekerjaan, namun penuh dendam akan kehidupan. Senyumnya mengiris udara, membuatnya kehilangan rasa sejuk dan hangat dari Utara. 

Kota ini tidak romantis. Sesosok iblis telah datang menjemputnya.

Orang-orang dalam bahaya. Hendra tak bisa menghadapinya.


Posting Komentar

0 Komentar