Ilham Nuryadi Akbar: Perempuan di Tengah Bulan dan Puisi Lainnya

Perempuan di Tengah Bulan 

 

sementara malam masih memilin-milin dingin

seorang perempuan terus menangis sampai mampus

menyumpahi angin yang mencambuk-cambuk tubuhnya

terisi penuh oleh lengang paling sempurna

 

bahkan di tengah bulan yang belum padam

dengan penuh sesenggukan ia beringsut untuk menekuri kaki langit

meraba-raba tempat yang paling ia ingat

entah itu sehasta, sedepa, sekilan atau sedekat ingatan

sebagaimana ia dan jantung hatinya pernah terkinja-kinja bermain kecipak hujan

 

namun yang ia temui hanya tanah merah dan epitaf di tubuh nisan

juga setumpuk kesedihan yang membuat ia sadar

bahwa yang dahulu ia timang-timang

telah berada di pelukan Tuhan

 

Bekasi, 10 Juli 2022

 

Warisan dari Seorang Lelaki 

seorang lelaki telah mewarisi mulut komedi

hingga mudah bagiku untuk hidup di tempat entah sekali pun

kendati demikian, aku tetaplah seseorang yang tak beruntung

sebab merasakan kasih sayang dengan buntung

 

demi mencari kebebasan yang paling ia inginkan

ia pergi ke kota seberang

berpetualang untuk menghilangkan dahaga

tapi lupa

bahwa darah dagingnya adalah setetes embun di gurun yang paling gersang

 

meski ia masih hidup

tapi kehadirannya telah membuat aku mati

 

Bekasi, 10 Juli 2022

 

Roh-roh Terdahulu

sebelum bunga merah di depan mataku ini berubah jadi hitam

doa-doa telah melingkar dan membasahi hamparan tanah

bersamaan dengan air linang dan sesenggukan yang mendalam

rerumputan liar kucabuti demi menghidupi nama yang terpampang di tubuh nisan

 

meski semasa hidup aku tak pernah berpapasan

namun orang-orang berkata, bahwa di hadapanku ini adalah rumah para pahlawan

mati tanpa meninggalkan rasa takut

hidup tanpa peduli rasa sakit

 

sebab itulah aku datang mengunjungi

melarungkan hal-hal baik pada roh-roh terdahulu

agar mereka abadi dan mempunyai rutinitas baru

mengumpulkan seluruh nyali untuk kelak dapat diwariskan pada keturunanku

 

Bekasi, 10 Juli 2022

 

Sebidang Liang 

sebentar lagi, hubungan ini akan terbaring di atas mazbah

sebilah ucapan tajam siap untuk memenggal

kepercayaan, kisah-kisah silam juga perkenalan

terhidang sebagai makanan penutup

 

betapa rinai terus turun sepanjang malam

bersama desir angin mengantarkan ayat-ayat kepedihan

tanah yang menghidang sebidang liang

kita akan abadi dalam kesakitan

 

tak ada jalan tengah kecuali berpisah dan hidup sendirian

tak ada kata pulang kecuali pergi menuju abadi

 

Bekasi, 10 Juli 2022

 

Tatkala Bumi Mempresentasikan Kematian

 

Semula bumi tempat Adam dan Hawa menebus dosa

Kini berubah menjadi tempat menjala dosa;

 

perempuan diperkosa, bayi yang baru mengerang dibuang, para petani menangis sebelum waktu panen, hutan hijau memerah menyala melahirkan puing-puing jelaga, tanah subur berlubang, kematian yang tak lazim, keadilan tak lagi adil, pola pikir yang sungsang di tubuh berdasi, sejarah berdarah-darah dilupakan, kemiskinan digiring jadi peristiwa biasa, kejujuran semakin sia-sia, media massa dikutuk sebagai wadah bermewah-mewah, sopan santun begitu muskil ditemui, lalu apa lagi?

 

bukankah di bumi ini,

para penghuni sungguh menginginkan surga

namun tampak meminta-minta neraka.

 

Bekasi, 10 Juli 2022

 


Ilham Nuryadi Akbar lahir pada 11 Februari 1995 di Banda Aceh. Buku pertama diterbitkan oleh Alinea Medika Pustaka berjudul Kemarau di Matamu Hujan di Mataku, terpilih sebagai Juara 2 pada Lomba Puisi Nasional di Festival Penulis. Puisi dan cerpen telah banyak terangkum pada beberapa Media Lokal dan Nasional seperti: kumparan.co, ideide.id, barisan.co, negeri kertas, dll. 

Posting Komentar

0 Komentar