Esai Aya: Kontemplasi Transformasi: Hidup Baik untuk Marsinah

 


Dongeng Marsinah

 

/1/
Marsinah buruh pabrik arloji,
mengurus presisi:
merakit jarum, sekrup, dan roda gigi;
waktu memang tak pernah kompromi,
ia sangat cermat dan pasti.

 

Marsinah itu arloji sejati,
tak lelah berdetak
memintal kefanaan
yang abadi:
“kami ini tak banyak kehendak,
sekedar hidup layak,
sebutir nasi.”

 

/2/
Marsinah, kita tahu, tak bersenjata,
ia hanya suka merebus kata
sampai mendidih,
lalu meluap ke mana-mana.
“Ia suka berpikir,” kata Siapa,
“itu sangat berbahaya.”

 

Marsinah tak ingin menyulut api,
ia hanya memutar jarum arloji
agar sesuai dengan matahari.
“Ia tahu hakikat waktu,” kata Siapa,
“dan harus dikembalikan
ke asalnya, debu.”

 

/3/
Di hari baik bulan baik,
Marsinah dijemput di rumah tumpangan
untuk suatu perhelatan.
Ia diantar ke rumah Siapa,
ia disekap di ruang pengap,
ia diikat ke kursi;
mereka kira waktu bisa disumpal
agar lenkingan detiknya
tidak kedengaran lagi.

Ia tidak diberi air,
ia tidak diberi nasi;
detik pun gerah
berloncatan ke sana ke mari.

Dalam perhelatan itu,
kepalanya ditetak,
selangkangnya diacak-acak,
dan tubuhnya dibirulebamkan
dengan besi batangan.

Detik pun tergeletak
Marsinah pun abadi.

 

/4/
Di hari baik bulan baik,
tangis tak pantas.
Angin dan debu jalan,
klakson dan asap knalpot,
mengiringkan jenazahnya ke Nganjuk.
Semak-semak yang tak terurus
dan tak pernah ambil peduli,
meregang waktu bersaksi:

Marsinah diseret
dan dicampakkan —
sempurna, sendiri.

 

Pangeran, apakah sebenarnya
inti kekejaman? Apakah sebenarnya
sumber keserakahan? Apakah sebenarnya
azas kekuasaan? Dan apakah sebenarnya
hakikat kemanusiaan, Pangeran?

Apakah ini? Apakah itu?
Duh Gusti, apakah pula
makna pertanyaan?

 

/5/
“Saya ini Marsinah,
buruh pabrik arloji.
Ini sorga, bukan? Jangan saya diusir
ke dunia lagi; jangan saya dikirim
ke neraka itu lagi.”

 

(Malaikat tak suka banyak berkata,
ia sudah paham maksudnya.)

 

“Sengsara betul hidup di sana

jika suka berpikir,

jika suka memasak kata;

apa sebaiknya menggelinding saja
bagai bola sodok,
bagai roda pedati?”

 

(Malaikat tak suka banyak berkata,
ia biarkan gerbang terbuka.)

 

“Saya ini Marsinah, saya tak mengenal
wanita berotot,
yang mengepalkan tangan,
yang tampangnya garang
di poster-poster itu;
saya tidak pernah jadi perhatian
dalam upacara, dan tidak tahu
harga sebuah lencana.”

 

(Malaikat tak suka banyak berkata,
tapi lihat, ia seperti terluka.)

 

/6/

Marsinah itu arloji sejati,
melingkar di pergelangan
tangan kita ini;
dirabanya denyut nadi kita,
dan diingatkannya
agar belajar memahami
hakikat presisi.

 

Kita tatap wajahnya
setiap hari pergi dan pulang kerja,
kita rasakan detak-detiknya
di setiap getaran kata.

 

Marsinah itu arloji sejati,
melingkar di pergelangan
tangan kita ini.

 

(1993-1996)

 

Sebelum membaca esai ini, adalah baik apabila kita melakukan pembacaan terhadap puisi yang berjudul Dongeng Marsinah karya Sapardi Djoko Damono terlebih dahulu. Puisi Dongeng Marsinah memiliki hubungan intertekstualitas dengan kasus penculikan dan pembunuhan Marsinah, seorang buruh pabrik arloji PT Catur Putra Surya (CPS) di Sidoarjo pada Mei 1993. Marsinah adalah seorang pejuang hak asasi manusia dari kaum buruh. Marsinah terlibat dalam aksi unjuk rasa mogok kerja tanggal 3 Mei 1993. Tujuan dari unjuk rasa ini adalah adanya keinginan kenaikan upah pokok buruh termasuk tunjangan per hari. Marsinah masih terlibat aktif dalam pecahnya insiden mogok kerja hingga 5 Mei 1993. Malam harinya di tanggal yang sama, Marsinah sudah dinyatakan menghilang. Selama beberapa waktu sejak hari itu, keberadaan Marsinah menjadi misteri, sampai ditemukannya mayat Marsinah pada tanggal 8 Mei 1993 di Nganjuk. Berbagai keambiguan bertunas dari kasus ini dan penyair puisi Dongeng Marsinah, Sapardi Djoko Damono, ingin menjaga bentuk ambiguitas itu dalam puisi ini. Saya merasa bahwa konsistensi ambiguitas ini dilakukan hanya karena alasan yang sederhana, penyair ingin memberi hidup baik untuk Marsinah. Marsinah tidak hidup baik di dunia, jadi penyair memberikan Marsinah hidup baik di dalam puisi.

Bentuk ambiguitas yang paling terlihat dalam puisi ini adalah ketika kita melakukan pembacaan Dongeng Marsinah secara hermeneutik. Marsinah adalah buruh pabrik arloji yang dibunuh karena menyuarakan pendapatnya mengenai kenaikan upah buruh. Marsinah melakukan hal itu bukan untuk menumpuk kekayaan, melainkan hanya untuk kehidupan yang lebih layak. Dalam puisi ini, Marsinah berhadapan dengan Siapa. Siapa merupakan kata ganti orang yang mengindikasikan keambiguan musuh Marsinah yang sebenarnya. Kasus Marsinah di dunia nyata melibatkan begitu banyak orang, sehingga mengaburkan musuh utama Marsinah. Oleh penyair, Siapa hanya disebut tiga kali (kadar yang cukup, tidak disebut terlalu banyak atau sedikit) karena penyair memang tidak ingin menyelidiki, menuduh, dan menyalahkan siapa pun terkait kasus pembunuhan ini. Saya merasa bahwa penyair prihatin atas kematian Marsinah, tetapi ia mengesampingkan siapa yang bertanggung jawab atas hal itu karena sekali lagi penyair memiliki tujuan yang sederhana yaitu memberikan hidup baik untuk Marsinah dalam puisi.

Saya bertanya-tanya, mengapa penyair puisi ini merasa perlu untuk mengabadikan Marsinah dalam bentuk puisi yang secara spesifik diberi judul sebagai dongeng meskipun karyanya berupa puisi? Apa hanya karena memang itulah pekerjaannya (sebagai penyair yang tentu saja harus menulis puisi)? Saya menilai bahwa segala detail bahasa dan estetika puitis yang digunakan penyair dalam puisi ini adalah upaya untuk memberi Marsinah keadilan berupa hidup yang baik. Upaya pemberian keadilan dalam puisi ini dipaparkan dalam dikotomi klasik sejati: kebaikan dan keburukan. Klaim yang terlalu eksklusif atas salah satu sistem moral (kebaikan atau keburukan) dalam Dongeng Marsinah tidak memberikan ruang negosiasi, untuk toleransi karena keberadaan yang satu hanya akan mengenyahkan keberadaan yang lain. Adanya dikotomi seperti ini menyebabkan timbulnya pertanyaan, apakah yang dialami tokoh sudah sesuai dengan standar moral dan norma yang seharusnya ada dalam suatu karya sastra (puisi)?

Dalam pembacaan setiap karya sastra, adalah baik dan penting untuk melakukan pembacaan kritis dengan tujuan untuk mengulik ada-tidaknya suatu keadilan puitis (poetic justice) dalam setiap puisi, terutama puisi yang dilatarbelakangi oleh peristiwa atau sejarah kelam seperti puisi ini. Rymer (dalam Encyclopedia Britannica, 2010) memaparkan bahwa poetic justice dalam karya sastra harus menjunjung tinggi nilai moral dan mengarahkan pembaca agar berperilaku yang benar dalam kehidupan nyata. Sejalan dengan pendapat tersebut, berarti kemenangan kebaikan yang bertarung dengan keburukan tidak mutlak sekedar kemenangan saja, tapi juga harus memperhatikan kemenangan secara logika. Kemenangan logika dapat tercapai apabila pembaca dapat memahami mengapa kebaikan memperoleh kemenangan dengan alasan yang logis. Poetic justice dalam puisi dapat menarik rasa simpati, empati, dan identifikasi pembaca. Dengan adanya simpati dan empati pada tokoh, pembaca berarti dapat memanusiakan tokoh dalam suatu karya secara nyata dengan cara membelaskasihani (apabila tokoh mengalami hal yang tragis). Pembaca juga dapat mengidentifikasi hal-hal apa saja yang sejalan dan menyimpang dari asas-asas kemanusiaan. Secara otomatis, ketiganya (simpati, empati, dan identifikasi) dapat digunakan sebagai alternatif belajar berpikir mengatasi permasalahan moralitas yang kemungkinan bisa terjadi di dunia nyata.

Marsinah adalah buruh dengan tuntutan presisi yang sempurna atas arloji yang dibuatnya. Lalu mengapa Marsinah di dunia nyata ditransformasi oleh penyairnya menjadi tokoh dalam dongeng? Padahal dongeng dan sejarah adalah dua hal yang jauh berbeda. Sejarah adalah kejadian masa lampau yang dapat dikenang dan dipelajari di masa kini. Sejarah tidak mutlak mengandung kepastian apabila tak ada penutur asli yang mengalami sendiri sebuah peristiwa yang kemudian menjadi sejarah. Dalam hal dan untuk keperluan diskusi ini, penggambaran yang paling tepat tentang sejarah hanyalah adanya perkiraan yang pernah terjadi di masa lalu. Sementara itu, dongeng cenderung diartikan sebagai cerita fiksi yang dibuat-buat, jauh dari kata kepastian. Sejarah yang pasti pernah terjadi saja dapat berupa perkiraan, apalagi jika dibandingkan dengan dongeng belaka. Jika dilihat secara sekilas, tentu terlalu besar kesenjangan yang ada di antara keduanya. Beberapa pihak bisa saja berkontestasi, transformasi Marsinah yang hidup di dunia nyata ke Marsinah yang hidup di Dongeng Marsinah bisa dianggap sebagai sikap yang kurang menghormati sejarah yang berkaitan dengan nama seseorang.

Setiap orang perlu untuk berhati-hati dalam menilai setiap karya, sebab kompleksitas dalam mengukur atau mendefinisikan seseorang akan bergantung pada kualitasnya dan saya yakini dengan sepenuh hati bahwa penyair puisi ini mempunyai kualitas itu. Saya merasakan sebuah kekaguman yang luar biasa karena penyair puisi ini mengabadikan Marsinah di tempat yang amat terpuji dengan cara yang teramat memperhatikan taraf etika, cara yang tidak terpikirkan oleh manusia pada umumnya. Saya berpikir bahwa tidak ada yang menganggap Dongeng Marsinah sebagai bentuk penyepelean kasus Marsinah. Hal itu tidak pernah terjadi. Kosakata arloji, detik, waktu, presisi dalam puisi ini mengindikasikan adanya sebuah kepastian, bahkan di dalam dongeng sekalipun. Kepastian ini menghapus keragu-raguan sebuah kosakata perkiraan yang mungkin dapat muncul dalam sejarah, yang apabila kita refleksi kembali, kasus Marsinah di dunia nyata memanglah sejarah yang penuh dengan praduga dan perkiraan. Dengan permainan kata semacam ini, penyair mengajak kita untuk melihat sebuah dongeng dengan sudut pandang baru. Kasus Marsinah disorot melalui cara yang lebih santai dan estetis ketimbang membacanya lewat berita atau buku sejarah asli yang kaku, tetapi tetap dengan cara yang memperhatikan ketakziman. Dongeng Marsinah tidak memberikan cerita-cerita khayal sebagaimana dongeng pada umumnya. Dongeng Marsinah menyajikan ketepatan setepat arloji akan keberadaan Marsinah yang abadi. Seperti dongeng pada umumnya yang sarat akan nilai-nilai luhur, puisi ini juga sarat nilai luhur. Marsinah (kebaikan) bergulat dengan Siapa (keburukan). Sepertinya sudah menjadi rumus mutlak bahwa seharusnya kebaikan takkan pernah kalah melawan keburukan. Rumus itu seperti dihancurkan kemudian dibangun kembali dalam puisi ini, karena bagaimanapun juga Marsinah tetap mati, baik di dunia nyata maupun dalam puisi ini. Bukankah itu sebuah bentuk kekalahan? Tetapi jika kita mau mengkaji lebih jauh, dapat kita temukan kemenangan pihak Marsinah (kebaikan) yang jauh lebih kekal. Marsinah bertransformasi menjadi arloji. Marsinah itu arloji sejati. Artinya ia abadi di hati. Ia mengingatkan kita akan kejahatan kekuasaan, keserakahan, kekejaman, dan kesewenang-wenangan.

Sekarang mari kita berdiskusi perihal kemenangan yang lebih kekal ini. Yang manakah yang seringkali menjadi ukuran kita? Manakah yang lebih dianggap rasional? Pemikiran yang logis atau perasaan? Jika pemikiran dilahirkan dari otak, maka perasaan dilahirkan dari emosi. Pertanyaan yang demikian itu merentang pada pertanyaan apakah penyair mengakhiri puisi ini dengan baik? Jawabannya adalah ya, sebab saya beranggapan bahwa penyair puisi ini secara logis dan adil memberikan kekalahan sekaligus kemenangan kepada Marsinah. Kekalahan (kematian Marsinah dalam puisi) diberikan oleh penyair karena bagaimanapun juga, jika kita berpikir secara logis, Marsinah memang kalah (di dunia nyata). Lalu bagaimana jika kita menggunakan perasaan? Bagaimana jika penyair juga ingin bertindak atas perasaan yang lahir dari emosinya terkait kasus ini? Saya merasa karena alasan inilah penyair memberikan kemenangan kepada Marsinah. Konklusi dan bentuk-bentuk seperti apa yang diberikan oleh penyair untuk menggambarkan kemenangan itu?

Saya beranggapan bahwa setiap kosakata presisi dalam puisi ini tidak selalu berarti ketepatan dan ketelitian. Presisi dapat berarti apa yang benar. Dari kebenaran ini, poetic justice dalam puisi Dongeng Marsinah telah tercapai. Pembaca akan merasa puas dengan kemenangan pihak Marsinah (kebaikan) yang lebih kekal abadi. Hal itu ditandai dengan larik dalam puisi ini tentang malaikat surga yang diulang sebanyak tiga kali. Malaikat digambarkan membuka jalan Marsinah ke pintu surga dengan sukarela. Malaikat bahkan merasa terluka akan kematian Marsinah di dunia. Tiada kemenangan paling memuaskan selain kemenangan di akhirat. Marsinah kekal sebagai pengingat sejarah tingginya nilai moral seorang buruh arloji yang menuntut upah lebih tinggi hanya untuk kehidupan yang layak, bukan untuk menimbun kekayaan.

Kemenangan tidak pernah diperoleh secara cuma-cuma. Hal itu berarti bahwa poetic justice juga tidak bisa didapatkan secara cuma-cuma, diperlukan pengorbanan untuk mendapatkannya. Pengorbanan akan melahirkan asumsi, pandangan, dan imbalan yang tak terhingga, karena dari pengorbanan inilah titik terjadinya transformasi dari kekalahan menuju kemenangan. Contoh paling menggembirakan yang menyiratkan poetic justice sebagai bentuk transformasi ini adalah ketika Marsinah masuk surga dengan sangat mudah dan malaikat-malaikat yang bersimpati padanya. Tidak sembarang orang dapat diperlakukan sedemikian rupa setelah kematian. Terlepas dari poetic justice, Marsinah mendapatkan secuil keadilan di dunia nyata yang terlambat diberikan. Setelah pengorbanan besarnya, nyawanya sendiri, ia kini telah bertransformasi menjadi arloji, sebagai sosok yang terhormat, pembawa perubahan pandangan akan sikap moral dalam menghadapi kasus-kasus kemanusiaan.

Keadilan puitis tentu sangat dekat dengan keadilan di dunia nyata (social justice), karena di mana pun dunia itu berada, seharusnya rumusnya selalu sama: kebaikan akan selalu menang melawan keburukan. Namun, setiap karya sastra (termasuk puisi ini) selalu berkemungkinan untuk tidak konsisten dalam memandang sesuatu hal. Tetapi, dengan adanya standar moral dan artistik (dalam kasus ini, Marsinah diberi kemenangan setelah kekalahannya), membuat karya ini memberikan poetical decency pada para pembaca. Dialetika itu sekali lagi menggarisbawahi bahwa kemenangan yang didapatkan Marsinah bukanlah keadilan yang seharusnya ia dapatkan di dunia nyata, tetapi itu tidak mengurangi esensi apapun dari kemenangan yang ia dapatkan.

Setelah membaca puisi ini dengan pandangan-pandangan yang telah teruraikan sebelumnya, saya memikirkan sebuah pertanyaan tentang bagaimana seseorang seharusnya hidup untuk dapat membuat kehidupan yang lebih baik bagi dirinya dan manusia lainnya. Kontemplasi yang demikian inilah yang membuktikan bahwa Dongeng Marsinah telah mencapai dan mempunyai poetic justice dan seorang pembaca yang telah mencapai dan mempunyai poetical decency. Keduanya diharapkan dapat membangun social justice yang lebih baik di kemudian hari. Teks mempengaruhi pembaca dalam melihat dunia. Dengan demikian, tentu kita menyadari bahwa seharusnya kejadian seperti ini (kasus penculikan dan pembunuhan) tidak perlu terulang kembali demi rasa kemanusiaan dan pemahaman hakikat presisi kebenaran. Satu renik terakhir dari saya sebagai terminasi mengenai hal ini adalah bahwa setidaknya kesan setiap pembaca terhadap Dongeng Marsinah kini tidak lagi arbitrer, tetapi dengan ajek akan mengikuti suatu ketakziman yang luhur terhadap Marsinah di dunia nyata, Marsinah dalam puisi ini beserta Tuhannya, Sapardi Djoko Damono.

Referensi Bacaan Terkait

Encyclopedia Britannica. 2010. Poetic Justice. Chicago: Encyclopedia Britannica.

Kenali Aya melalui akun Instagram miliknya, @ayaa_yay

Posting Komentar

0 Komentar