Cerpen Amarah Iramani: Mengapa Langit Begitu Pucat dan Tak Ada yang Tersisa?


Hari ini pukul 15.49, Jumat 19 Maret, aku sedang menyiapkan sebuah catatan pengantar untuk tulisan ini. Sebelumnya aku tak pernah berharap tulisan ini akan diterbitkan. Jika itu perlu pun, aku akan menerbitkannya sendiri, sebagai hadiah untuk diriku, yang lain. Sejak terbangun tadi, aku sudah siap berpikir untuk mencatat setiap yang kulihat. Meskipun dengan sadar banyak juga yang telah aku lewatkan. Embusan angin menyusup ke segala ruangan, menggetarkan daun telinga. Aku mendengar rintik air hujan hari ini, dengan suara yang perlahan mulai jatuh. Mataku tergerak mencarinya. Bau tanah adalah hamparan kertas peta yang paling kuanggap benar. Aku sudah tiba di pekarangan belakang. Rumput-rumput sebenarnya telah mengering, lalu apa gunanya air yang membasahi semua ini? Langit terlihat begitu pucat. Hujan ini sebenarnya adalah bentuk paling asing yang pernah aku jumpai selama hidupku. Tak ada bedanya dengan alpukat matang yang berserat coklat di dalamnya, yang bercampur dengan choco granule dari cappuccino kemasan. Seperti stretch mark pada kulit perut perempuan yang baru saja melahirkan. Rasa dan bentuknya yang aku maksud, sungguh mengesankan.

Sang Figuran, orang yang tinggal bersamaku dalam rumah ini, masih berusaha keras menjemput perannya. Sepagi ini, dengan tanpa mengeluarkan kata-kata, ia sibuk mengemas barang-barangnya, bersiap untuk bekerja. Ia mulai bosan dengan dirinya yang sering kali dikatakan gagal sebagai manusia. Kebosanan yang menyeluruh. Ia mengambil satu gelas di meja dan menyeruput kopi yang tak lagi panas dan membakar sebatang rokok kretek. Ia menyalakan api. Korek kayu dengan gambar yang tak pernah berubah, mungkin satu-satunya di negara ini. Baunya mengusik hidungku. Seolah-olah itu adalah ritual rutin yang terpesan, yang mesti dilakukannya setiap pagi. Tapi ini hampir siang. Bagaimana bisa? Hujan yang sudah tak lagi terdengar kabarnya, pergi tanpa pamit entah ke mana. Sang Figuran membiarkan motornya menyala di beranda, dua puluh menit putaran rodanya membuat kepala semakin pusing. Seharusnya setiap orang mengabaikan aktivitas ini. Berbasa-basi adalah sarapan bagi setiap orang yang terlanjur membuka matanya di pagi hari. Perempuan berambut sebahu, kira-kira umurnya 34 tahun, tetangga yang hanya berjarak sepuluh langkah. Ia melempar senyumnya. Pemilik warung kelontong satu-satunya di kampung ini, yang sedang senang melakukan aktivitas barunya, menjemur anak yang baru beberapa hari ia lahirkan, bersanding dengan hamparan rengginang di atas nampan yang berjejer di dipan tua yang terlihat lembap dan lapuk. Tak ada yang pernah tahu siapa laki-laki itu. Ia telah menjanda hampir empat tahun.

“Setelah ini, apa yang harus aku lakukan?” pandanganku gusar, aku mulai merasakannya. 

Kabut-kabut dalam kepalaku menyelimuti, mulai menyaring kumpulan pertanyaan, “hari ini, berapa banyak lagi kebohongan yang akan aku terima?”

Aku sudah benar-benar siap. Mungkin setiap jaringan dalam kepalaku sudah tersedia puluhan ribu bahkan ratusan juta hal yang skeptis. Terlihat dari raut muka yang kugambarkan, tapi aku bukan penganutnya. 

Aku hanya merasa ada yang bergerak di setiap tubuhku, "ia merayap, mendengkur, mendengar, melihat, meraba, mengecap, mencium atau mungkin melamun,” aku membayangkan itu, “mungkin juga akan ada yang lebih dari apa yang aku bayangkan,” aku berujar dengan sadar.

Stoples garam, bubuk cabai, gula dan penyedap rasa—mereka tampak sinis melihatku diam dengan tatapan kosong. Diam tanpa melakukan apa pun, “ini benar-benar tidak masuk akal!” mereka berseru.

Sejak membaca kematian Sophie Podolski dan menghitung sepuluh hari kematian setelah percobaan bunuh dirinya, perutku mulai lapar. Pisang menghitam dibiarkan terjemur matahari, terhitung dari hari yang sama. Aku mulai bingung dengan banyak baris puisi. Mereka lalai. Seperti sekumpulan Afrizal Malna dalam stoples di meja ruangan yang menunggu tamu datang, tanpa diundang. Kelompok minoritas yang dimusuhi oleh negaranya sendiri, tempat di mana mereka dilahirkan. Dilempari batu sampai cacian pinggiran, yang identik dengan lelucon borjuis kecil. 

“Lalu bagaimana dengan catatan pinggiran Goenawan Moehamad?” ucapku datar.

“Berapa banyak lagi, kesakitan-kesakitan ini?” 

Aku melihatnya berteriak dalam sebuah ruangan di atas meja itu, menunggu tamu yang tak pernah diundang. Aku membayangkannya, sekali lagi.

Kala itu, suatu hari di bulan pancaroba. Kita berada dalam satu atap yang sama. Bersama kecoak, semut hitam, tikus pengais sampah dan tumpukan buku dalam rak. Sang Figuran itu mengambil salah satu bukunya, mendekatiku, kemudian rebah di pangkuanku. Aku sedang bersandar menikmati sebatang rokok lalu mendengarmu membacakan buku itu lambat-lambat. Kemudian aku berkhayal tentang kisah cinta Antonio Jose Boliviar. Dalam sebuah rumah bilik, di dalamnya terdapat sepasang sepatu tanpa merek, ukurannya kecil, tergeletak di samping rice cooker yang sebagian dari benda itu digerogoti tikus, sementara sepatunya tidak dan seorang perempuan tanpa busana dengan siluet di balik kelambu.

“Antonio Jose Boliviar sedang membaca kisah cinta, kata-perkata bahkan setiap hurufnya begitu berharga baginya.”

“Kenapa? Siapa Antonio Jose Boliviar?” gadis berambut merah muda itu hanya basa-basi untuk penasaran. Ia melanjutkan bacaannya kembali. Kali ini dengan tanpa mengeluarkan suara.

Tiba-tiba seekor kucing hitam mendekatiku dengan wajah paling mengharukan, berharap belas kasih paling luar biasa. Kucing hitam yang menagih jatah makanannya petang itu.

Buku itu diletakannya. Ia menatap langit-langit sembari memilin rambutnya yang persis gulali pasar malam. Montase pada dinding mengolok-olok kemiskinan. Seperti tak henti-hentinya repetisi kekerasan; mental maupun fisik. Aku juga cukup merasakan itu. Banyak orang yang tidak begitu peduli.

“Hari ini, wajah dunia tak pernah tersenyum. Satu hari tanpa rentetan senjata bagi mereka berkuranglah persentase kekayaannya. Semua mesti didapatkan dengan cara apa pun dan moncong itu adalah penentu jawabannya. Selalu ada kematian,” ia berbalik dan memeluk.

Kemudian aku teringat pada Roberto Bolaño, ia pernah menuliskan sebuah hal kekosongan atau kesendirian. Entah aku masih meraba-rabanya. Ia pernah berkata begini, “Aku sendirian, semua omong-kosong sastra pun telah tertinggal. Majalah-majalah puisi, edisi-edisi khusus, semua lelucon abu-abu itu terabaikan… Bangunan-bangunan yang terbengkalai di Barcelona, mirip undangan bunuh diri dalam damai…”  Ini adalah kiamat dalam benaknya, kematian Shopie Podolski. Bukan kiamat saat kematian Sapardi Djoko Damono, dalam benakku.

“Kaidah Sastra? Yang mana? Bagiku itu tidak lebih dari barisan makam seni untuk seni dalam buku tebalmu…” seorang gelandangan dengan sekantung puisi dalam keresek yang digenggamnya pernah memakiku di pertigaan jalan Tanah Tinggal, beberapa meter dari sebuah taman. Saat itu hari Kamis, dari pagi aku telah meninggalkan Sang Figuran di rumah sendirian, tanpa meninggalkan pertanyaan atau jawaban satu pun. Aku berjalan dengan kekosongan, tanpa mengharapkan apa pun terjadi. Aku hanya bisa tersenyum saat membayangkan kejadian itu. Bagaimana Rene Wellek dan Austin Werren memikirkan teori kesusastraan? Semua itu menjadi asing dalam realitas. Aku terpejam, tak menemukan kata-kata dalam gelap karena yang aku punya hanya kekosongan.

Semua itu bukan tanpa sebab. Gelandangan itu pernah aku jumpai pada sebuah taman. Saat itu ia sedang duduk-duduk sendirian dengan sebungkus plastik besar di pangkuannya. Tingkahnya membuatku penasaran dan membuatku tertarik tanpa ia sadari. Padahal sejak awal aku tak mengharapkan apa pun terjadi. Tiba-tiba aku sudah duduk di sebelahnya dan bertanya, 

“Apa yang sedang kau lakukan dengan kertas-kertas itu dan mengapa kau mengamati orang-orang yang lewat dengan raut muka sinis?” aku memberanikan bertanya.

“Kau ini siapa? Heh, benar-benar tak tahu sopan santun. Bocah kurang ajar, tiba-tiba datang berseru dan mencelaku seperti itu. Mau apa?”

“Tidak, aku hanya terpikat. Ingin rokok?”

“Tidak, aku sudah berhenti merokok untuk hari ini,” jawabnya, “kau mau apa?!”

Hening. Tiba-tiba ia berucap,

“Tapi, aku sedikit senang denganmu. Bukan tentang tawaran rokokmu, melainkan tawaran pertanyaanmu. Keberanianmu itu, berani bertanya saat kau juga sama-sama mengamatiku,” ujar gelandangan itu ketus.

"Mungkin, aku juga sepertimu. Aku selalu membayangkan kenapa orang-orang seperti ini, seragam dan monoton. Mereka selalu tergesa-gesa tanpa memikirkan yang lain, kehidupan di sekitarnya. Lihatlah, seperti taman ini, hanya menjadi lintasan pulang dan mereka mengabaikan bunga-bunga yang indah dan bangku-bangku itu dibiarkan kosong. Padahal sudah menjadi nasibnya merasakan setiap bokong.”

“Aku tidak berani langsung bertanya kepada mereka. Maka dari itu, setiap orang yang aku amati, dia akan hidup menjadi puisi-puisi dengan banyak pertanyaan dalam plastik.”

Tiba-tiba ia mengambil sebuah kertas kosong dan mulai menulis. Matanya melirik-lirik ke arahku, terlihatnya membayangkan sesuatu, “aku juga menulismu dan kau juga terjebak dalam plastik bersama orang-orang yang kuamati sebelumnya. Kau akan hidup sebagai puisi!”

Sebelum kata-kataku keluar, ia telah lebih dulu berjalan menuju lampu-lampu taman yang padam, tanpa alas kaki dan menghilang dalam kegelapan. Sambil mengucapkan kalimat terakhir yang membuatku tersenyum membayangkannya,

“Heh! Kaidah sastra, apa itu? Aku memilih jalan ini, keliaran gagasanku, keunikan yang aku punya. Seni yang kau anggap seni itu telah mati! Jadi jangan kau makan bangkainya!”

(Pondok Aren, Juli 2022)

Amarah Iramani, seorang penulis bebas yang tinggal di Pondok Aren, Tangerang Selatan. Salah satu karyanya adalah buku kumpulan puisi berjudul Siasat yang diterbitkan oleh penerbit Langgam Pustaka pada tahun 2020. Cerpen dan esainya juga pernah dimuat oleh beberapa media online maupun cetak. Ia bisa dihubungi melalui surel amarahiramani@gmail.com

Posting Komentar

0 Komentar