Esai Ahmad Rizki: Membaca Ulang Sajak Anak Muda Karya W.S. Rendra dengan Gaya Biasa Saja


Pembicaraan mengenai kepemudaan sebagai bunga bangsa atau sekadar melanjutkan generasi dari yang tua digantikan dengan yang muda, dari dulu sampai sekarang tak henti-hentinya didiskusikan, wacanakan, seminarkan, promosi, kaji, atau sekadar omong-omong dengan giat, konsisten, serius, dan progresif. Hal tersebut dapat dibuktikan dari salah satu peristiwa sejarah sumpah pemuda yang merupakan sebuah upaya membangun peranan anak muda dalam membangun sebuah peradaban yang maju, adil, atau sekadar yang hari ini diimpi-impikan. Lebih dari itu, tulisan ini juga hanya semacam omong-omong biasa yang tak akan menuntaskan masalah-masalah yang sedang berlangsung di sekitar kita.

Senada dengan itu, dalam sastra (puisi), pembicaraan mengenai tema kepemudaan adalah hal yang lumayan banyak dibahas selain tema cinta dan motivasi-motivasi kehidupan lainnya. Sastra, meminjam pendapat Welek & Weren, merupakan produk seni kreatif bermediumkan kata dan bahasa. Selain memiliki nilai estetika, karya sastra juga memiliki gambaran kondisi sosial, politik, psikologis, bahkan historis ketika karya itu diciptakan. Puisi, sebagai salah satu jenis karya sastra, tercipta dari pengalaman kemanusiaan, termasuk pengalaman hidup sehari-hari. Pengalaman itu lahir dari interaksi dengan masyarakat dan pergulatan atau penghayatan akan kondisi faktual sosial, budaya, politik, ekonomi, hukum, dan humaniora. Oleh sebab itu, dapat disederhanakan bahwa puisi adalah produk seni kreatif yang hasilnya berupa interpretasi pengarang terhadap kondisi lingkungan masyarakat di sekitarnya yang isi kandungannya memiliki pesan-pesan khas tertentu.

Seorang pengarang, dalam ranah kesusastraan, seyogianya dituntut untuk mengungkapkan suatu hal yang intim dari gejala kehidupan di lingkungan hidupnya. Oleh sebab itu, seorang pengarang biasanya dikatakan sebagai seseorang yang memiliki sisi khas dalam melihat gejala-gejala kehidupan dengan ungkapan yang berbeda sebagai catatan dari ketidaklengkapan realitas dalam memotret keadaan tersebut. Pengarang yang berhasil mengungkap kejadian yang penting dalam hidupnya biasanya akan melahirkan pula karya sastra (puisi) yang senada dengan keadaan yang sebenarnya. Dari ribuan pengarang sastra di Indonesia, salah satu pengarang yang biasa dan acap kali membahas fenomena kehidupan (sosial) kepemudaan adalah W.S. Rendra. Konon, beliau adalah penyair masyhur dalam kancah kesusastraan Indonesia. Sejak kemunculannya, dimulai dengan sajak-sajak cintanya di masa muda, Rendra dengan percaya diri selalu menyihir (memesona) pembaca untuk menggeliat-geliat dalam alunan kata-katanya yang merdu dan estetik. Hal tersebut yang menjadikan beliau (Rendra) mendapatkan gelar sebagai Burung Merak; seorang pengarang yang selalu memikat pembaca dengan karya-karyanya dengan khas dan cara tak dimiliki oleh siapapun orang.

Dari banyaknya karya beliaukumpulan puisi, naskah drama, dan prosa (cerpen)yang menarik untuk dikaitkan dengan tema bahasan adalah Sajak Anak Muda. Puisi tersebut merupakan salah satu dari beberapa puisi yang termaktub dalam kumpulan puisi Potret Pembangunan dalam Puisi. Buku puisi tersebut merupakan ekspresi proses terhadap situasi sosial, politik, dan ekonomi. Selain tiga hal itu (sosial, politik, dan ekonomi), pendidikan dan kepemudaan adalah yang paling intim disorot oleh Rendra. Berikut puisi Sajak Anak Muda karya Rendra yang merupakan ekspresi protes penyair terhadap kondisi lingkungan hidupnya.

Sajak Anak Muda

(1) Kita adalah angkatan gagap

yang diperanakkan oleh angkatan takabur.

Kita kurang pendidikan resmi

di dalam hal keadilan,

karena tidak diajarkan berpolitik,

dan tidak diajar dasar ilmu hukum.

 

(2) Kita melihat kabur pribadi orang,

karena tidak diajarkan kebatinan atau ilmu jiwa.

 

(3) Kita tidak mengerti uraian pikiran lurus,

karena tidak diajar filsafat atau logika.

 

(4) Apakah kita tidak dimaksud

untuk mengerti itu semua?

Apakah kita hanya dipersiapkan

untuk menjadi alat saja?

 

(5) Inilah gambaran rata-rata

pemuda tamatan S.L.A,

pemuda menjelang dewasa.

 

(6) Dasar pendidikan kita adalah kepatuhan.

Bukan pertukaran pikiran.

 

(7) Ilmu sekolah adalah ilmu hafalan,

dan bukan ilmu latihan menguraikan.

 

(8) Dasar keadilan di dalam pergaulan,

serta pengetahuan akan kelakuan manusia,

sebagai kelompok atau sebagai pribadi,

tidak dianggap sebagai ilmu yang perlu dikaji dan diuji.

 

(9) Kenyataan di dunia menjadi remang-remang.

Gejala-gejala yang muncul lalu lalang,

tidak bisa kita hubung-hubungkan.

Kita marah pada diri sendiri.

Kita sebal terhadap masa depan.

Lalu akhirnya,

menikmati masa bodoh dan santai.

 

(10) Di dalam kegelapan,

kita hanya bisa membeli dan memakai,

tanpa bisa mencipta.

Kita tidak bisa memimpin,

tetapi hanya bisa berkuasa,

persis seperti bapa-bapa kita.

 

(11) Pendidikan negeri ini berkiblat ke Barat.

Di sana anak-anak memang disiapkan

Untuk menjadi alat industri.

Dan industri mereka berjalan tanpa berhenti.

Tetapi kita dipersiapkan menjadi alat apa?

Kita hanya menjadi alat birokrasi!

Dan birokrasi menjadi berlebihan

tanpa kegunaan-

menjadi benalu di dahan.

 

(12) Gelap. Pandanganku gelap.

Pendidikan tidak memberi pencerahan

Latihan-latihan tidak memberi pekerjaan

Gelap. Keluh-kesahku gelap.

Orang yang hidup di dalam pengangguran.

 

(13) Apakah yang terjadi di sekitarku ini?

Karena tidak bisa kita tafsirkan,

lebih enak kita lari dalam puisi ganja.

 

(14) Apakah artinya tanda-tanda yang rumit ini?

Apakah ini? Apakah ini?

Ah, di dalam kemabukan,

wajah berdarah

akan terlihat sebagai bulan.

 

(15) Mengapa harus kita terima hidup begini?

Seseorang berhak diberi ijasah dokter,

dianggap sebagai orang terpelajar,

tanpa diuji pengetahuannya akan keadilan.

Dan bila ada tirani merajalela,

ia diam tidak bicara,

kerjanya cuma menyuntik saja.

 

(16) Bagaimana? Apakah kita akan terus diam saja

Mahasiswa-mahasiswa ilmu hukum

dianggap sebagai bendera-bendera upacara,

sementara hukum dikhianati berulang kali.

Mahasiswa-mahasiswa ilmu ekonomi

dianggap bunga plastik,

sementara ada kebangkrutan dan banyak korupsi.

 

(17) Kita berada di dalam pusaran tata warna

yang ajaib dan tidak terbaca.

Kita berada di dalam penjara kabut yang memabukkan.

Tangan kita menggapai untuk mencari pegangan.

Dan bila luput,

kita memukul dan mencakar

ke arah udara.

 

(18) Kita adalah angkatan gagap.

Yang diperanakkan oleh angkatan kurang ajar.

Daya hidup telah diganti oleh nafsu.

Pencerahan telah diganti oleh pembatasan.

Kita adalah angkatan yang berbahaya.

 

Sajak Anak Muda karya W.S. Rendra memiliki 86 larik dengan 18 bait puisi. Tajuk Sajak Anak Muda adalah potret anak muda sebagai bunga bangsa yang kian mencekam, alias tak seperti yang diharapkan sebagaimana harus dan semestinya. Sajak Anak Muda dibuka dengan (6 larik) sentimen satire terhadap anak-anak muda Indonesia yang gagap (penjelasan gagap di sini tak hanya yang tak berpendidikan, tapi juga untuk yang berpendidikan). Kegagapan anak muda tersebut (maksud saya dalam puisi di atas) dapat dikenali dengan ketidakpekaan terhadap lingkungan hidupnya. Selain itu, dalam bait ke-1, makna konotasi dari angkatan gagap merupakan metafora dari keturunan yang tidak cakap, atau generasi bisu. Angkatan takabur dapat dikatakan sebagai keturunan penguasa yang diktator. Generasi penerus (anak muda) kita tidak diajarkan untuk bersikap dan berpikir dengan adil. Sedihnya hal ini terjadi secara turun-temurun, sehingga selalu melahirkan generasi penerus yang sewenang-wenang dan tidak mampu untuk berbuat atau bertindak secara nyata untuk masyarakat.

Generasi gagap, dalam kutipan bait ke 3, 4, 5, dan 6, menurut hemat saya adalah fenomena sistem pendidikan yang dihubungkan dengan kehidupan praktis dan disesuaikan dengan kebutuhan ekonomi negeri ini yang telah diterapkan sejak zaman kolonialisme Belanda. Hal tersebut dapat dikenali, misalnya cenderung mengikuti arus, dan tidak mempunyai pendirian atau prinsip. Sistem pendidikan itu hanya menciptakan rutinitas serta mencetak mesin-mesin pekerja.

Selanjutnya, dalam bait ke-7, 8, dan 9, fenomena yang sering terjadi pada anak muda adalah hanya dapat menghafal ilmu dan pengetahuan yang telah didapatkan tanpa diurai dan di-bainah-kan. Akibat dari hafalan dan tidak di-bainah-kan adalah anak muda tak lagi mengerti hal-hal mendasar keadilan yang didapat dalam pergaulan, serta pengetahuan tentang perilaku manusia sebagai kelompok maupun pribadi. Pasalnya, keadilan bukan sebuah ilmu yang perlu dikaji dan diuji, seharusnya dijalankan sebagai nilai humanisme, pluralisme, dan inklusivisme. Kebenaran dan keadilan tidak untuk dihafalkan atau diperdebatkan, namun seharusnya menjadi pegangan dalam setiap langkah. Oleh sebab itu, dalam bait ke-9, kosakata remang-remang, menikmati masa bodoh, dan kita marah pada diri sendiri adalah sebuah potret nyata ketidakmampuan kita (anak muda) dalam mengambil dan menerjemahkan sebuah kondisi untuk menakar benar-salah atau baik-buruk dalam kehidupan sehari-hari.

Kemudian, dalam bait ke-10, 11, 12, 13, dan 14, tanda mengenai kegagalan atau kegagapan kita sebagai generasi gagap adalah hanya dapat membeli tanpa bisa mencipta suatu hal apa yang semestinya bisa kita cipta. Persis seperti bait-bait sebelumnya, bait ke-11 menyingung masalah pendidikan yang berorientasi ke Barat. Hal ini dapat ditafsirkan sebagai negara yang belum utuh-sempurna merdeka. Sebab, dalam bait ke-11, singgungan mengenai anak muda hanya menjadi alat industri pasar nasional dan global adalah hal nyata yang kita alami saat ini. Namun, alih-alih menjadi manusia pekerja industri pasar nasional dan global, masih saja kita di Indonesia tidak bisa mendapatkan pencerahan. Latihan-latihan atau keterampilan tidak memberi pekerjaan atau bukan jaminan memperoleh lapangan kerja (pengangguran). Larik Apakah yang terjadi di sekitarku ini/ Karena tidak bisa kita tafsirkan/ lebih enak kita lari dalam puisi ganja merupakan pertanyaan terhadap kondisi hidupnya karena gagal menafsirkan apa yang terjadi, sehingga memilih untuk lari mencari kesenangan, menenggelamkan diri dalam puisi ganja. Selanjutnya, bait ke-14 menggambarkan keadaan yang serba sulit yang membuat kita (anak muda) mengikuti arus, mencari aman atau selamat dengan mengikuti dan mengabdi pada orang-orang yang berkuasa atau mempunyai kekuasaan.

Pada bait ke-15, 16, 17, dan 18, orientasi makna puisi ini ditekankan pada anak muda yang mengenyam pendidikan tinggi (mahasiswa). Makna konotasi dalam bait ke-15, ia hanya menyuntik saja/ ia diam tidak bicara merupakan sindiran akan gelar yang didapatkan tanpa dilandasi kesadaran dan kepekaan terhadap lingkungan sekitarnya. Selanjutnya, dalam bait ke-16, sindiran terhadap mahasiswa ilmu hukum dan ekonomi adalah gambar ketidakmampuan anak muda dalam menakar hukum yang benar dan semestinya dalam pergulatan keseharian dan luasnya kenegaraan. Selain itu, mahasiswa ilmu ekonomi juga disingung sebagai bunga plastik karena tidak bisa mencegah atau mengurangi masifnya kebangkrutan dan korupsi yang terjadi di lingkungan kita.

Makna konotasi dari bait ke-17 merupakan situasi dan kondisi di Indonesia semakin tidak menentu, membuat pemerintah sibuk dengan berbagai macam hal. Hal tersebut membuat mereka kurang memperhatikan generasi muda atau penerus yang bermental mudah menyerah dan selalu menyalahkan keadaan. Mereka lebih fokus dalam pembangunan di bidang fisik, memperbaiki kondisi perekonomian, dan penataan-penataan di bidang ketatanegaraan dan pemerintahan, tapi tidak membangun atau sekadar memperbaiki mental, kesehatan, dan keseharian anak muda sebagai generasi masa depan yang akan menggantikan dirinya. Selanjutnya, makna konotasi dari bait ke-18 adalah bahwa subyek kita, merujuk pada aku dan kamu atau merujuk pada semua (orang) tanpa pandang bulu. Namun bila melihat tajuk Sajak Anak Muda, kita bisa diartikan sebagai anak-anak muda di Indonesia. Para pemuda ini telah dibelenggu, sehingga mereka kesulitan untuk mengungkapkan aspirasinya. Kemudian cara ini direproduksi, sehingga generasi selanjutnya melakukan penindasan (persis seperti yang dicontohkan generasi sebelumnya). Lebih parahnya, kita tidak lagi memiliki semangat kemanusiaan, yang ada hanyalah mementingkan diri sendiri atau kalau perlu mencakar, menindas, atau mengeksploitasi orang lain.

Gambaran-gambaran mengenai kepemudaan dalam sajak di atas merupakan kenyataan yang berlangsung di sekitar lingkungan kita. Meskipun sajak tersebut ditulis pada tahun 70-an, saya kira sajak itu masih sangat relevan untuk mengategorikan anak muda di tahun 2022. Entah apa yang membedakan secara signifikan, yang jelas saya yakin kondisi besar permasalahan yang membelenggu kita (anak muda) masih dan persis seperti yang terdapat dalam Sajak Anak Muda karya W.S. Rendra sebagai representasi keadaan zaman yang berlangsung di sekitar kita. Oleh sebab itu, saya kira kita memang harus benar-benar membaca dan menerjemahkan makna anak muda dengan serius dan sebenarnya untuk sekadar memperbaiki ketidakjelasan anak muda di hari ini. Lebih dari itu, meminjam istilah Tan Malaka: Idealisme adalah kemewahan terakhir yang dimiliki pemuda, kita harus sadar betul bahwa keadaan hari ini (khususnya terkait anak muda) tidak sedang baik-baik saja, alias sakit. Jika kita sudah merasa terdiagnosis bahwa kita sakit dan tidak sehat, maka dengan kesadaran bahwa kita sakit, seharusnya kita akan memperbaiki atau menyembuhkan diri kita untuk tidak sakit kembali. Mudah-mudahan hal itu adalah cara sederhana untuk menjawab bahwa generasi bangsa yang akan datang tidak sedang baik-baik saja dan harus dibenahi dengan benar-semestinya.

Akhir kata, dengan kebodohan atas tulisan ini, saya kira tulisan ini harus ditutup agar tidak meluas ke mana-mana. Jika dirasa memang tidak tepat dan benar, saya yakin memang seharusnya begitu karena saya hanya anak muda yang baru setengah sadar bahwa saya sakit dan tidak sedang baik-baik saja. Lebih dari itu, tulisan anak muda setengah sadar ini tak dimaksudkan untuk menyingung siapa-siapa. Namun, dimaksudkan untuk memaki-maki diri sendiri karena hanya dapat berkomentar terhadap penyakit tersebut tanpa ada solusi dan pergerakan yang nyata dan seharusnya.

Referensi Bacaan Terkait

Prismarini. 2011. Potret Pendidikan Indonesia dalam Puisi Sajak Anak Muda Karya W.S. Rendra. Jurnal Ilmu Komunikasi, 8(2), 1-20.

Rendra. 1996. Potret Pembangunan dalam Puisi. Jakarta: Pustaka Jaya.

Ahmad Rizki, lahir dan menetap di Ciputat, Tangerang Selatan. Ia suka menulis dan membaca, tapi lebih sering omong kosong. Buku puisinya yang terlanjur diterbitkan adalah Sisa-sisa Kesemrawutan (2019). Informasi lebih lanjut dapat ditilik melalui akun Instagram miliknya, @ah_rzkiii, atau surel ahrizki048@gmail.com




Posting Komentar

0 Komentar