Ahmad Rizki: Kasidah Merah dan Puisi Lainnya

 


Kasidah Merah

Bulan merah.

Pipimu merah.

Malam larut

dan tubuh kita berkerut.


Di samping ranjang,

di atas mimpi masa depan,

angin di jendela melucuti

keinginan dan keangkuhan,

lalu matamu dan mataku

saling menatap api

penderitaan.

 

Bulan merah

Cawat merah.

Pipimu merah.

Dan sepanjang malam

kami peluk segenap derita.

(2022)


Kasidah Merah I 

Seperdelapan nyanyian

di mulut penyair jadi karang,

dan bulan keliling-keliling di matanya.

 

Bila cinta sampai di puncak,

cahaya dan gelap amat sesak

Waktu meleleh, bunga dalam

harapan mekar sempurna,

itu berarti awal sebuah derita.

 

Pertemuan dan bahasa jiwa

hanya punya derita,

napas dan ketakutan melekat

jadi udara,

entah indah atau celaka

tapi akhirnya cinta tumbuh derita.

 

Mimpi dan kenyataan tak ada

bedanya, awal dan akhir juga

tak ada beda.

 

Cinta itu derita

Derita itu cinta.

 

Hati dan pikiran pasrah.

O, cinta sukar dipahami

Kenyataan celaka dan perihnya

lebih dari mati.

(2022)


Kasidah Merah II 

Hatimu

abu-abu. Jendela matamu

kuning benalu. Kata-kata

hitam ceria. Nyanyianku

merah air mata.

 

Aku nyanyikan merah, tapi

kauminta biru samudra.

 

Hatimu

hijau berlumut. Jendela

matamu kuning langsat.

Kata-kata putih membara.

Nyanyianku merah air mata.

 

Aku nyanyikan merah, tapi

kauminta biru samudra.

(2022)

Ahmad Rizki, menggelandang di Ciputat, Tangerang Selatan. Beberapa puisi omong kosongnya termaktub di media daring. Buku puisinya yang terlanjur terbit adalah Sisa-Sisa Kesemrawutan (2021). Informasi tambahan dapat ditemukan melalui akun Instagram miliknya, @ah_rzkii, atau surel ahrizki048@gmail.com

Posting Komentar

0 Komentar