Kasidah Merah
Bulan merah.
Pipimu merah.
Malam larut
dan tubuh kita berkerut.
Di samping ranjang,
di atas mimpi masa depan,
angin di jendela melucuti
keinginan dan keangkuhan,
lalu matamu dan mataku
saling menatap api
penderitaan.
Bulan merah
Cawat merah.
Pipimu merah.
Dan sepanjang malam
kami peluk segenap derita.
(2022)
Kasidah Merah I
Seperdelapan nyanyian
di mulut penyair jadi karang,
dan bulan keliling-keliling di matanya.
Bila cinta sampai di puncak,
cahaya dan gelap amat sesak
Waktu meleleh, bunga dalam
harapan mekar sempurna,
itu berarti awal sebuah derita.
Pertemuan dan bahasa jiwa
hanya punya derita,
napas dan ketakutan melekat
jadi udara,
entah indah atau celaka
tapi akhirnya cinta tumbuh derita.
Mimpi dan kenyataan tak ada
bedanya, awal dan akhir juga
tak ada beda.
Cinta itu derita
Derita itu cinta.
Hati dan pikiran pasrah.
O, cinta sukar dipahami
Kenyataan celaka dan perihnya
lebih dari mati.
(2022)
Kasidah Merah II
Hatimu
abu-abu. Jendela matamu
kuning benalu. Kata-kata
hitam ceria. Nyanyianku
merah air mata.
Aku nyanyikan merah, tapi
kauminta biru samudra.
Hatimu
hijau berlumut. Jendela
matamu kuning langsat.
Kata-kata putih membara.
Nyanyianku merah air mata.
Aku nyanyikan merah, tapi
kauminta biru samudra.
(2022)
0 Komentar