Cerita Bersambung Taufik Juang Dwiadi: Hitam Putihnya Penjara - Bagian IX

Tokoh:

0721 : tokoh utama

0192 : seorang perempuan

0378 : tokoh dengan banyak peran

A__e_ : nama asli tokoh utama yang tidak terungkap

____ dan ____ : dua orang perempuan dalam bagian V

0492 : kakak dari seorang adik

??? : penghuni sebelah 0721 yang mencintai 0492, seorang mantan narapidana: manusia bebas yang kabur dari penjara

IX

Kegiatanku sekarang ini hanyalah membuka jendela di kamarku. Kusadari bahwa debu bisa menempel pada jendela karena aku membiarkan angin berhembus di sekitarku. Sekalipun aku menghentikan angin dari peredarannya, bisa jadi tak adanya angin malah membuatku tidak dapat bernafas. Masalahnya, aku cuma melihat jendela itu dari kejauhan, sehingga menempelnya debu tidak pernah aku perhatikan. Membuka jendela tidak menjelaskan apapun kecuali dua peristiwa. Peristiwa pertama adalah waktu, menunjukkan di luar sedang cerah atau warna awan tidaklah biru. Peristiwa kedua justru merupakan idaman untuk seorang putri seperti aku, untuk mempelihatkan diri kepada seorang pangeran dari penjagaan seorang raksasa yang menjaga harta karun miliknya, yaitu aku. Lebih tepatnya, harumnya namaku. Perasaan setiaku kepada kekasih impianku. Seperti itulah arti membuka jendela bagiku, untuk melihat pergeseran langit maupun bintang-bintang. Akan tetapi, sejujurnya lebih kepada memandang daratan, melihat sosok-sosok pahlawan yang bersedia untuk menemuiku meski harus berhadapan dengan seorang raksasa.

Tidak ada salahnya untuk menanti karena seorang raksasa pun sejujurnya juga tidak akan memperlakukanku dengan sangat kasar. Meski hati sering juga dilanda pilu jika melihat perempuan lainnya memiliki pasangan lebih dulu daripada aku. Terus terang, saat gelapnya malam membuka jendela, itu hanya mengingatkanku betapa aku sendirian menanti seseorang. Dalam istana kecilku, terdapat permainan untuk menanti kedatangannya. Raksasa mungkin jelek, tapi dia punya caranya tersendiri untuk mencintaiku. Meski dia tidak akan pernah mendapatkan cintaku, paling tidak dia akan menjagaku dari orang-orang yang tidak punya tenaga lebih kuat daripada dirinya.

Seperti itulah kehidupanku. Meskipun keramaian kota sering menghampiriku, tapi kesederhanaan membuka jendela seperti tidak akan pernah bisa terlepaskan dari kebiasaanku.

***

Sebelum aku diculik oleh seorang raksasa, aku hidup pada suatu gua di mana tidak ada yang menarik di mataku kecuali kenyataan bahwasanya bintang selalu gemerlapan sekalipun malam berusaha menutupinya. Angin pernah berhembus dari ujung ke ujung, mengitari rambutku untuk membelai suatu kenikmatan atas kecantikan milikku.

Hanya sekali saja aku pernah melihat bintang jatuh walaupun telah lama mengamati langit selama bertahun-tahun. Kejadian tidak terduga itu memang benar-benar indah. Apakah seorang pendamping hidupku juga akan jatuh seperti bintang yang akan selalu menemuiku meski dia menghilang namun akan terkenang dalam mimpiku? Aku membayangkan sosok pendampingku seperti bintang jatuh itu. Keindahannya sesaat, rasa manisnya terkenang begitu lama. Aku anggap keajaiban karena begitu ambigunya kata selamanya. Seperti kisah dongeng dalam banyak mulut wanita, janji pada cinta terkadang terasa bohong. Manis di mulut tetapi pahit di lidah. Mengucapkan ‘mencintaimu selamanya’ terkadang terkesan tren sesaat. Setelahnya, cuma khayalan sesaat karangan seorang pujangga. Seperti menciptakan suatu cerita realita tanpa pernah menanggapi bahwa karangan tidak akan pernah nyata kecuali diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Meski begitu, aku akan tetap membuka jendela.

Untuk cahaya ciptaan manusia bernama lampu memang punya kemampuan untuk menerangi sudut-sudut kegelapan pada ruangan. Karena malam adalah suasana kegelapan secara luas, bintang memang menerangi sebisanya. Jatuhnya bintang aku anggap sebagai suatu usaha bintang di langit berusaha mendekatiku meski dia jauh di atas langit.

Kalimat-kalimatku memang seringkali dimakan oleh gelapnya waktu. Seringkali realita punya agendanya tersendiri mengenai kata jodoh. Apalagi kepada kebahagiaanku bersama pasangan setiaku sehidup semati. Seperti tulisan-tulisan akhir pada kisah sebuah cerita. Senyumanku bercampur dengan senyuman pasanganku. Ditemani kecupannya sebagai penutup sebuah cerita.

“Apakah sarapanku sudah tersedia? Apa bahan-bahannya telah datang?”

Pertanyaan itu aku lontarkan seperti ada seorang pendengar pada ruangan kesendirianku. Ada jawaban atau tidak, aku berharap bahwa senyuman manisku tetap terlihat dari sudut ruangan manapun. Menampar pipiku tidak masalah, asalkan aku tetap terlihat ceria untuk menanti kedatangannya. Jawaban pertanyaanku memang tanpa suara manusia. Pada meja persediaan, tersedia beberapa makanan yang disuplai dari alam. Aku melihat ada beras untuk sarapanku, suatu cream untuk kecantikanku, kelap-kelip warna untuk kemewahanku, suatu bentuk lampu untuk memperlihatkan pesonaku agar terlihat menawan. Tak lupa persediaan sepanjang masa untukku seorang. Sebuah cermin untuk memandang bahwa senyuman manisku tetap dapat terasa manis, sehingga akan terus membuat pangeranku jatuh cintaku kepadaku. Kugunakan pula taktik mempercantik diriku dengan perlengkapan sihir untuk lebih menonjolkan suatu daya tarik paling sempurna milikku. Persenjataan lainnya adalah pakaianku. Senjata simpananku memang lebih condong kepada saat-saat suatu acara tertentu, seperti berusaha menciptakan makanan paling enak untuk kekasihku, bahan dasarnya adalah diriku sendiri.

Itulah salah satu sisi lain kehidupanku. Tetap saja paling utama adalah usaha untuk membuka jendela. Lagi, lagi, dan lagi, sampai dia yang paling spesial menjemputku dan membawaku pergi dari tempat ini.

***

Karena itulah tidak dapat disangkal jika ada korban percuma dari usaha penantianku. Korban itu selalu bisa diceritakan menggunakan kata seorang tamu yang berkunjung untuk merebut hatiku. Meski aku terkadang tahu bahwa dia tidak akan bisa membuat jantungku berdetak seperti saat aku membuka jendela, senyuman tetap aku usahakan agar sang tamu tetap tidak merasa kesusahan. Iya, demi kebahagiaannya. 

Terkadang ada yang datang tanpa mengenal musim kawin. Saat aku sedang kacau-balaunya, dia tidak tahu bahwa hatiku masih merana dari salah satu kepergian tamuku. Meski begitu, untuk sekedar mencari kehangatan, aku bisa menerimanya agar ruangku tidak menjadi sunyi senyap. Itulah kenyataanku yang tidak mau aku ungkapkan kepada umum. Sambil tertawa, aku juga menangis. Pertemanan sementara itu sering mengiris hatiku karena hanya mengingatkanku pada suatu kenangan yang telah terlewati. Apakah waktu dapat berputar melawan putarannya sendiri? Karena malam telah berganti siang, sehingga tubuhku hanya kepanasan tanpa pernah menemui romantisnya kenangan malam.

Percuma. Semuanya percuma. Air mata pun pernah berusaha menawarkan racun dalam tubuhku. Perutku terasa mual dan ingin memuntahkan suatu nutrisi yang pernah aku dapatkan dari suatu bentuk makanan kebahagiaan. Terkadang ingin aku keluarkan, akan tetapi sering kali malah aku simpan sebagai suatu perasaan. Hanya perasaan. Titik. Maka dari itu, air mata juga pernah menahan dirinya; jika keluar sering kali terisak-isak, kalau menutup seolah-olah ia berusaha berpuasa meski azan telah dikumandangkan. Sakit hati memang tidak bisa ditutup-tutupi. Kalau saja keadaan dapat terwujud tanpa suatu kesalahan itu, tentu saja semuanya tidak akan pernah menjadi seperti ini.

Kalau begitu, aku melukai jiwaku sendiri saja. Menyanyikan lagu yang menggambarkan suatu kesendirianku di sini. Iya, di sini, bukan di sana ataupun di situ, apalagi di sampingnya.

 ***

Pertemuanku dengannya lainnya mengubah segalanya. Sekali lagi, aku adalah 0192. Aku dimasukkan ke dalam penjara ini bukan karena sepenuhnya kesalahanku, tetapi juga kesalahan tamu milikku atau kesalahan takdir antara aku dengan kecantikanku.

Seperti biasanya, wanita selalu disalahkan atas apa yang membuat dirinya menjadi menarik. Begitu pun saat aku bertemu 0721. Apa kesalahanku sehingga aku diasingkan dari masyarakat? Untuk semacam itu, aku tidak mau tahu dan tidak peduli karena seringkali wanita memang makhluk tanpa alasan. Untuk itulah berada pada suatu gua, diculik raksasa dan dijaga ketat olehnya atau dipersalahkan dan dimasukkan ke dalam penjara, serasa hampir tidak ada bedanya. Masalah utamaku sekarang hanyalah aku kesulitan membuka jendela, cuma itu perbedaannya. Namun, kesulitan justru seperti membawa suatu kemudahan lainnya. Mungkin takdir, aku ingin menjelaskannya seperti itu, sekalipun orang bisa berkata lain. Hal paling menonjol dari perawakannya adalah tentang hidungnya. Aku tidak menjelaskan kata mancung atau pesek, melainkan mengenai bau miliknya. Apa hubungan antara bau dan hidung? Menurutku, subjek dan predikat. Kukatakan bahwa dia adalah suatu subjek yang kunanti dari suatu predikat bau penantian milikku. Kenapa aku tidak menggunakan kata objek? Karena bersama tidak terdiri dari satu subjek dengan satu objek, melainkan dua subjek yang berbeda namun mengamati objek yang sama.

Dia pernah dikenali sebagai penghuni tanpa punya rasa malu. Pernah saat suatu inspeksi, dia melepaskan celananya dan hanya menggunakan celana dalam saja. Saat aku tanya mengenai hal itu, dia hanya tertawa. Dijelaskan padaku bahwa itu adalah suatu kode untuk salah satu temannya dulu. Saat aku tanyai kepada siapa kode itu diberikan, justru ketawanya semakin mengeras. Melihatnya seperti itu, aku cuma bisa tersenyum.

Detail darinya seperti ini. Saat itu, dia bereksperimen untuk menampakkan suatu cara lain menjawab pertanyaan dari kehidupan. Dia mengibaratkan seperti ini. Dalam suatu upaya pembebasan, satu orang diberikan dua pilihan untuk keluar dari sebuah ruangan. Pertama, menggunakan pintu. Kedua, membuka jendela. Saat sampai pada penjelasan itu, dia menginginkan pelukanku sebagai syarat untuk meneruskan ceritanya. Sejujurnya aku ingin memainkan permintaannya, tapi dia langsung memelukku seketika dan tidak membiarkanku berkata banyak. Posisiku berada pada pemeluk sedangkan dia adalah yang dipeluk. Aku dibiarkan mengamati perubahan ekspresinya meski dia tidak bisa memandangi wajahku secara seksama.

Setelah itu, dia melanjutkan ceritanya. Oh, aku lupa menambahkan keterangan penting. Pertama-tama, dia meminta untuk memegangi tanganku sebentar saja, lalu membiarkannya untuk melihat senyumanku secara seksama. Saat mendengarkan permintaan kedua, sejujurnya aku benar-benar menahan perasaan maluku. Katanya, sampai dia bisa melihat senyumanku, dia tidak akan melanjutkan ceritanya, karena itulah aku tidak punya pilihan lain. Sambil merasakan kehangatan tubuh miliknya, aku berusaha mendengarkan kisah darinya.

“Untuk saat itu, aku menampilkan suatu jalan keluar dengan menggunakan jendela sebagai jawaban alternatif lainnya.” 

Sejujurnya aku lebih menginginkan pelukannya daripada ceritanya, tetapi kali ini mendengarkan ceritanya juga membiarkanku lebih lama dengannya.

“Bukankah pintu adalah jalan keluar paling baik?”

“Karena itulah kutunjukkan suatu pilihan yang tidak terduga dari sebuah jendela.”

“Untuk apa?”

“Sebagai bukti bahwa tidak setiap saat pintu akan terbuka, sama halnya dengan sebuah jendela.”

Begitulah inti dari kalimatnya. Kalau diceritakan sepenuhnya, sejujurnya agak panjang karena memang aku usahakan lebih lama dari biasanya. Mungkin aku dilanda kerinduan yang tidak pernah terpuaskan, saat itu.

“Apa kamu sudah makan?”

“Sudah, tadi makanan disiapkan.”

“Nggak mau makan lagi?”

“Sudah makan dua kali, dua di pagi hari.”

“Berarti kan kamu belum makan siang?”

“Sekarang matahari sudah mau tenggelam atau akan terbit?”

“Ruangan di mana kita berada tidak dapat melihat langit secara langsung.”

“Kalau jam?”

“Sudah di antara delapan dan sembilan.”

“Waku tepatnya?”

“Kurang lebih sembilan kurang seperempat.”

“Berarti kesimpulannya aku sudah kenyang dong.”

“Kamu dua kali makan apa saja?”

“Untuk pagi jam satu, aku begadang karena aku kelupaan nonton film.”

“Aku bertanya tentang jenis makanannya.”

“Kalau dihitung dengan angka terbesar 1, pagi jam satu aku memenuhi perutku sebanyak 0.3”

“Makan yang kedua, makan apa?”

“Untuk setelahnya, aku makan camilan. Dihitung sebagai tidak makan, tapi sering kali menggemukkan.”

“Berarti kan kamu belum makan sama sekali?”

“Mungkin. Hanya saja dalam perhitungan kalori, aku sudah makan beberapa kali.”

“Kamu mau menunggu sebentar saja?”

“Kenapa? Kalau untuk menunggu, dari tadi aku sudah menunggu sebelum kamu sampai di tempat ini.”

“Berarti kamu mau menunggu, kan?”

“Asal kamu tetap ngobrol sama aku. Nggak apa-apa kan?” 

“Kalau untuk semacam itu, boleh-boleh saja.”

***

Apakah penantian ini masih tetap berlanjut, aku tidak akan pernah tahu kelanjutan kisahku. Sekarang ini, aku hanya mengerti bahwa dia ada di sampingku. Bisa jadi aku lebih jarang berusaha membuka jendela, mungkin telah berhenti sama sekali. Sekalipun suara hatinya tidak bersamaku, tapi aku berharap bahwa perasaannya padaku akan mengalahkan perasaanya kepada wanita dambaannya.

Aku selalu berusaha menampilkan yang terbaik untuknya meskipun tidak dapat disangkal bahwa hatinya belum sepenuhnya untuk milikku. Dunia pernah menjumpai bahwasanya cerita cinta terkadang gagal oleh beberapa masalah. Pertama, menjelaskan seringnya waktu pertemuan antara aku dengannya. Kedua, menceritakan tersedianya diriku ketimbang wanita dambaannya yang jauh di seberang sana. Aku menggunakan keduanya untuk membuat kisah cintanya gagal, sehingga ia memilihku. Aku yakin bahwa perasaan cintaku tidak kalah dengan wanita itu. Apalagi aku mengerti banyak tentang dirinya—opiniku pribadi. Skala menariknya diriku pun tidak kalah, bisa mengungguli jika aku semakin menempa poin penting keunikanku.

Tangannya selalu hangat untuk aku pegang. Aroma tubuhnya pun sangat sering membuatku merasa aman. Dia juga membiarkanku untuk merasakan wajahnya, mempersilakanku merasakan detak jantungnya, menemaniku dalam banyak waktu kosong untuk istirahat. Bukankah ada suatu perasaan dalam dirinya? Tinggal menunggu waktu saja untuk dirinya mengerti perasaannya kepadaku. Karena itulah, maka akan selalu ada harapan keberhasilanku. Mengamati senyumnya merekah karena kegiatanku, semakin membuatku bersemangat untuk menghabiskan waktu dengannya. Aku percaya, aku pasti akan mendapatkan hatinya.

Untuk catatan cintaku dengannya, aku menuliskannya pada tulisan rahasiaku. Kusembunyikan dari siapapun termasuk 0721. Kertas catatan ini pun selalu kuupayakan lolos dari pengecekan, lebih tepatnya sebagai upayaku untuk mengingatkan keinginanku untuk terus bersama dengannya. Meski tidak ada satupun yang mengetahuinya. Namun, mungkinkah memang ada yang mengetahui perasaanku meski tidak melihat catatan ini?

Posting Komentar

0 Komentar