Cerita Bersambung Taufik Juang Dwiadi: Hitam Putihnya Penjara - Bagian X

Tokoh:

0721 : tokoh utama

0192 : seorang perempuan

0378 : tokoh dengan banyak peran

A__e_ : nama asli tokoh utama yang tidak terungkap

____ dan ____ : dua orang perempuan dalam bagian V

0492 : kakak dari seorang adik

??? : penghuni sebelah 0721 yang mencintai 0492, seorang mantan narapidana: manusia bebas yang kabur dari penjara

X

Hujan, pergerakan air dari awan bisa digerakkan oleh belaian angin. Semestinya, air mata pun bisa berhenti saat rambutku dibelai oleh tangannya. Aku benar-benar merindukannya. Seperti halnya usaha air laut untuk terbakar oleh matahari agar dapat bertemu dengan tanaman, dia bersabar pada proses panjangnya untuk menjadi suatu awan kemudian jatuh menjadi hujan. 

Gerimis, saat-saat hujan mencoba merasakan apakah penghuni daratan dapat menerima kedatangannya. Dia sedikit bimbang seandainya tanaman keinginannya bersembunyi dari upayanya untuk mendekatinya. Takut ditolak oleh orang yang disukai itu memang wajar. Apalagi jika terdapat pertaruhan di dalamnya.

Mendung, pertanda bahwa akan ada suatu perubahan meski terkadang bisa saja tidak terjadi apapun. Kematian seorang manusia pun punya tanda-tandanya tersendiri. Dijelaskan bahwa orang terdekatnya merasakan suatu perbedaan dari tindakannya. Untuk sekedar menyatakan penyerahan diri dengan mematikan perasaan cintaku pun terdapat tandanya.

Aku mengharapkan belaiannya pada saat itu, tetapi harapanku tidak terwujud. Sekedar anggapanku saja bahwa dia akan menemaniku kala suatu duka mendatangiku. Meski begitu, di saat-saat kejadian itu menimpaku, aku tidak menampakkan tanda meminta pertolongan kepadanya. Mungkin sedikit ingin kuperlihatkan bahwa keinginanku buat dimengerti olehnya. Pada benakku, aku menjelaskan kepadanya suatu ungkapan cinta. Untuk pertemuan sebenarnya, hanya bisa kuucapkan sepatah atau dua kata saja. Selebihnya, badanku bergerak dengan banyak rupa seperti menginginkan kalimatku tersampaikan kepadanya. Bisa jadi tubuhku menyambungkan detail kata-kata singkatku.

“Kenapa kamu harus pergi? Tidakkah kamu ingin menemaniku barang sebentar saja?”

Satu kalimat itu benar-benar sulit untuk kuekspresikan kepadanya. Kucoba merasakan isi hatinya atas alasan mengapa dia mau untuk meninggalkanku sendirian. Aku paham sebetulnya satu-satunya pilihan bagi dirinya adalah melangkahkan kakinya dari sini. Akan tetapi, itu menyakitkan. Kenapa harus meninggalkanku? Meski lap tangan milikku telah dibasahi oleh air mataku, dia masih dapat digunakan setelah dikeringkan. Keinginanku bukanlah mengetahui kenapa lap milikku bisa basah saat benda itu bersentuhan denganmu atau sekedar mengeringkan lap ini agar bisa digunakan kembali. Cukuplah katakan padaku sesuatu yang dapat membahagiakanku. Apakah sebatas ini kebersamaanku denganmu?

Terlihat gerakan mulutmu berusaha mengatakan sesuatu kepadaku. Sayangnya, aku tidak mendengarkan suaramu. Bisa pula aku tidak menginginkan kalimat itu keluar dari perasaanmu. Tolong jangan kamu ucapkan kalimat singkat itu. Kubuat kamu mengulangi kalimat itu agar keinginanku dapat aku capai. Sampai kapan kamu akan terus beranjak dari tempat ini? Daripada mendengarkan jawabanmu, sepertinya aku lebih berharap keheninganmu. Ingin kubungkam mulutmu karena hatiku tidak dapat menerima kata lanjutan dari kalimatmu. Lihatlah aku! Amatilah bagaimana aku memperhatikanmu. Rencanaku tidak berupaya menghilangkan keadaanmu jauh-jauh dariku. Bisakah percakapan ini usai sebelum waktunya?

***

Perpisahan bisa mengakhiri hubunganku. Jawaban paling indah dari segalanya tidak akan mungkin diciptakan dari suatu pelarian. Melarikan diri bukanlah jalan seorang pejuang dengan keinginannya untuk merdeka. Berlimpahnya mayat juga tidak pernah menceritakan kekalahan. Saat segalanya dicapai justru seorang manusia menyerah dengan mengaku kalah. Begitu kemerdekaan diraih, manusia lupa bahwa dirinya pernah mengalami suatu kepedihan hidup. Sering kali manusia berusaha untuk lebih menempatkan perasaannya di balik berbagai permukaan gambarnya. Pada permukaan wajahnya, dia menuliskan cinta di jidatnya. Matanya diselimuti penutup kebangaan. Hidungnya ditutupi sumbat kebenaran kelompok.

“Akan kemanakah kamu akan berpergian? Aku bersamamu meski tidak akan kamu akui.”

“Kamu salah jika ingin berbicara padaku menggunakan kata itu.” 

Kenapa salah? Apa maksudmu menjelaskan itu kepadaku? Aku tetap berharap bahwa tangannya masih dapat memberikanku suatu arah akan pergi kemana dirinya. Tangan yang sering menyeka air mataku di kala sendirian. Dengan bahasa sentuhan, ceritanya tersampaikan padaku.

Pernah suatu ketika, aku mendengarkan suatu cerita tanpa suatu penyebab yang jelas. Seolah-olah dia meramalkan bahwa keesokan harinya, aku menemui kematian. Bukan aku, melainkan perasaanku terhadap dirinya karena dia merasa bahwa setelah ini lebih mungkin untuk tidak ada pertemuan sama sekali.

Sebagai awalan, dia membukakan pengetahuan dirinya terlebih dahulu. Seandainya pintu kamar seseorang punya suatu kerahasiaan, maka dia memperlihatkan lorong rahasia dalam kamarnya. Dijelaskan bahwa dia pernah membunuh orang lain dan menyembunyikan mayatnya dalam tanaman-tanaman miliknya. Tentu saja aku terkaget-kaget. Jantungku ingin segera dilepaskan dari tugas mendengarkan ucapannya karena aliran darah dalam tubuhku termaknai banyak racunnya yang entah mengapa bisa lolos dari pengecekan oleh ginjal, sehingga sarafku juga menderita suatu kelumpuhan. Untungnya, aku teringat bahwa dia suka melihat beragam ekspresiku.

Setelah dirasa puas mengamatiku, dia mulai menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Sambil tersenyum, dia berpendapat bahwa wajahku memang begitu-begitu saja. Hampir sama seperti saat aku melakukan pergerakan ritmis mengikuti kegiatan sehari-hari saat bersamanya. Saat kutanyakan apa maksudnya, dia tiba-tiba diam. Kulihat dia pergi menjauh seperti ada suatu keperluan. Setelah beberapa waktu, dia kembali sambil membawakan suatu foto. Katanya, itu adalah foto yang tidak berharg karena dia menemukannya bukan pada kenangan paling indah tapi dari suatu kesengsaraan. Setelah foto itu berada di tanganku, kulihat wajah wanitanya itu. Kepalaku pecah. Air mataku berusaha mengalir tapi sebisa mungkin aku tahan. Ingin rasanya aku tumpahkan kemarahan ini padanya, tapi tiba-tiba dia memelukku.

Apa? Apa lagi? Diriku menjadi dipenuhi oleh beragam perasaan. Marah, senang, rindu, sedih, menyesal, sesak, ringan, dan lain-lain. Tiba-tiba dilanjutkannya percakapan olehnya.

“Aku telah membunuhnya, perempuan ini, yang fotonya sekarang kamu pegang.”

Tuhan, orang ini benar-benar suka menyiksa. Tidak puas dia menghancurkan kehidupan orang lain, kali ini dia juga membunuh kehidupanku. Kulihat ungkapannya seperti masih ragu untuk melanjutkan kalimat miliknya. Saat aku berusaha untuk melepaskan genggamannya, dia tidak melepaskanku semudah itu. Dia hanya terdiam karena tidak sanggup untuk melihat rintihan perasaanku lebih lama.

“Apakah kamu benar-benar membunuhnya?” 

Setelah dirasanya puas, aku melepaskan kedekatannya denganku. Kali ini, aku mengungkapkan pertanyaan itu tanpa sedikitpun kehangatan suara, dari kejauhan aku bertanya. Dia memang tersenyum kecut saat aku melakukan hal ini padanya, tapi dia memahami bahwa hal ini memang akan selalu terjadi. Dia justru berterima kasih karena aku telah menunjukkan perasaanku padanya. Dia hanya terdiam. Lalu, ia memperlihatkan kalimat dari secarik kertas yang dipersiapkannya. Kalimatnya seperti ini. 

“Aku tidak sengaja membunuhnya, akan tetapi dia yang terlebih dahulu membunuhku.” 

Kali ini, aku yang menghentikan suara. Aku memang mengenal sosok dalam foto ini. Dia adalah salah satu orang yang dikagumi oleh pria di hadapanku. Wajahnya tidak pernah asing. Masalahnya, aku tidak mengerti maksud dari kata membunuh antara satu sama lain. Melihat kebingunganku terlukiskan, dia melanjutkan percakapan antara kita berdua saja, tanpa dirinya.

“Saat kita berpisah, dia menyelipkan suatu surat undangan kepadaku.”

“Hmm, jadi kamu tidak merestui pernikahannya?”

“Bukan. Tidak seremeh itu. Aku merasa bahwa dia melupakan janjinya kepadaku.”

“Janji untuk sehidup semati?”

“Kalau kata-kata itu, aku tidak memedulikannya.”

“Janji apa? Apa lagi masalahmu dengannya?”

“Dia lupa berkata bahwa dia tidak mencintaiku.”

“Kenapa? Apakah hal itu benar-benar penting untuk pria sepertimu?” 

“Itulah keanehannya, karena aku seorang kriminal, dia memilih berpisah.”

“Itukan cerita lumrah milik dunia.”

“Untukku tidak, karena dia masih diambang antara iya dan tidak.”

“Apa lagi? Apakah kamu akan berpisah denganku gara-gara ini?”

“Nggak. Justru aku mengatakan hal ini untuk membuatmu sedikit berbaikan.”

“Kenapa? Apa yang akan terjadi padamu?”

“Sepertinya untuk beberapa hari ke depan, aku akan meninggalkan kehidupan lamaku.”

 ***

Kesalahanku setelahnya adalah membuka rahasia. Kehidupan barunya bertempat dalam suatu penjara. Tidak kusangka bahwa kata kriminal yang dimaksudkan olehnya tidak diungkapan untuk menyelewengkan pemahamanku. Setelah aku menyadari di mana dirinya, aku mencoba bertemu dengannya. Bukan sebagai pengunjung, melainkan seorang penghuni gelap. Setelah negoisasi panjang, kudapatkan identitas 0492 dari salah seorang penghuni penjara. Dijelaskan oleh sipir bahwa pemilik ia adalah seorang pencari kebebasan. Karena berbagai alasan, dia dibebaskan tak bersyarat meski anehnya, dia kembali lagi ke penjara untuk bertemu orang yang ingin aku temui.

Saat kutanyai dia mengenai kecurigaan pihak lain jika aku diterima sebagai penghuni, dia justru tertawa saja. Penjara ini spesial, begitu katanya. Dia dapat menerima perbedaan gender secara terbuka. Meski penjara ini menerima siapa saja, perlakuannya pun diarahkan kepada perorangan dan bukan secara umum. Bisa jadi, dia menyimpulkan, bahwa penjara ini memang menyenangkan.

Agar aku tidak melupakan satu aturan paling penting dari penjara ini, dia memberikan suatu panduan agar penyesuaian lingkunganku menjadi mudah. Sejujurnya, dia memberikan bukan karena apa-apa, melainkan karena ukuran kebebasan untukku diberikan penuh secara cuma-cuma. Dia hanya mendoakanku dari jauh untuk keberhasilan impianku. Gerbang kebebasan tetap dekat denganku karena aku pun menerima kunci sel tahananku. Sudah pasti kunci itu kuterima, karena nomor ini sejujurnya telah dibebaskan sejak lama. Hanya saja, catatan tentangnya tidak dihapuskan sehingga bisa dipakai untuk siapa saja. Lebih tepatnya, aku adalah penghuni liar. Kapan saja bisa masuk ataupun keluar untuk jangka waktu semauku.

Alasan mengapa aku tidak bertemu sebagai pengunjung adalah karena aku ingin tahu kejahatan macam apa yang membuatnya ditahan di tempat ini. Aku memahami kalau dia tidak bisa menceritakan hal ini bahkan saat antara aku dan dirinya saja, sehingga kesimpulanku seperti menjelaskan bahwa mengungkap informasi dengan cara berkunjung tidak akan memberikanku banyak hal. Maka dari itu, aku ingin mengamati kehidupannya secara dekat pula, sehingga dia menjadi lebih terbuka kepadaku. Aku ingin mendengarkan dari mulutnya sendiri tentang kejahatannya, bukan dari orang lain.

Suatu saat, aku berhasil mendapati waktu sendiri dengannya lagi. Betapa senangnya aku karena perpisahanku dengannya bukanlah akhir dari hubungan kita berdua. Saat dia mendatangi ruanganku, jantungku seperti menyuruhku untuk merasakan detak jantungnya pula. Ingin kusalurkan getaran hati ini kepadanya, sehingga dia akan meminta waktu kebersamaan ini lebih lama dari bayanganku. Saat selangkah demi selangkah dia mendekatiku, wajahnya terasa semakin leluasa untuk aku pandangi. Tatapannya saat melihatku setelah sekian lama berpisah dengannya membuatku semakin dimabuk cinta. Sejujurnya aku tidak sabar untuk segera merasakan kedekatan bersamanya, akan tetapi aku menahan diri demi mengecek perasaannya setelah sekian lama dia tinggal dalam penjara ini.

Dengan kedok bertemu secara tidak sengaja, aku menanyakan kabarnya setelah sekian lama tidak bertemu. Dia memang suka tersenyum. Karena tidak tahu bagaimana enaknya menjawab agar tidak memberatkan hatiku, dia tertawa saja. Sama sekali tidak mengatakan apapun kecuali tawanya saja. Dia rupanya tetap tidak berubah meskipun berada dalam penjara. Saat aku berbicara banyak hal dengannya, kudapati mengenai aroma perempuan lain pada kehidupannya. Siapa dia? Dalam benakku, pikiran seperti itu selalu terpikirkan dalam pembicaan walaupun aku tidak begitu yakin apakah aku akan bertanya tentangnya atau tidak. Aku tidak ingin hubungan ini akan menjadi kacau pada awal kali perjumpaan setelah sekian lama. 

Secara perlahan namun pasti, aku berusaha membuatnya tersadarkan bahwa aku adalah seorang wanita yang mengerti akan hatinya. Telah lama aku dikenalkan pada ajaran-ajaran untuk membuat seorang pria jatuh hati kepadaku. Ditempa menggunakan berbagai sudut pandang tentang efektifnya pergeseran kalimat, aku mengarahkan pembicaraan untuk memaksimalkan titik-titik keindahanku. Seperti biasanya pula, dia tidak mempan pada berbagai perantara semacam itu. Aku tidak akan pernah tahu apakah dia mengerti atau tidak tentang perubahan kalimat-kalimatku. Dijelaskan kepadaku bahwa dia begitu senang saat dia kembali bercakap-cakap denganku setelah sekian lama. Apalagi melihat begitu antusiasmenya aku untuk bertutur banyak hal untukku, dia tidak bisa menutupi kegembiraannya karena aku masih merasa dekat dengannya.

Ingin, ingin sekali aku menjelaskan betapa kerinduanku sering terbayangkan pada berbagai kegiatanku. Saat wajahnya menampakkan kegembiraan karena kedekatanku dengannya tetap terjaga meski dia menganggap tidak akan ada pertemuan selanjutnya, dadaku terasa semakin kencang mengingat sebegitu besarnya dia merindukanku pula. Semakin lama waktu kuhabiskan dengannya, aku merasa semakin tenggelam dalam pesonanya. Dalam benakku, aku melihat bahwa waktu terasa semakin cepat dan akan meninggalkanku sendirian tanpanya. Semakin banyak kata keluar dari mulutku, kegundahan semakin menyergapku karena keinginanku untuk tidak berpisah semakin menguat. Kurasakan keraguan setelah sekian lama tidak aku rasakan.

 *** 

Udara di sekitarku terasa semakin panas. Kalau saja malam segera menghampiri, sehingga kesepian bisa dijadikan alasan untuk memperlambat perubahan keadaan, tentu sudah aku gunakan taktik itu dari awal. Menatap dan ditatap adalah suatu keadilan milik cinta. Timbangan untuk mengukur kesudianku berlama-lama dengannya telah terlalu lama dilampaui. Kugerakkan tubuhku untuk lebih mendekati dirinya. Di saat dia lengah, berkurangnya satu sentimeter jarakku dengannya merupakan suatu keberkahan tersendiri. Semakin aku melakukan pendekatan—secara fisik ataupun batin—hawa tubuhku semakin menampakkan hasratnya. Berlebihnya panas dari perasaan cintaku membuat keinginan ini tidak lagi tertahankan dari waktu ke waktu.

Ingin dimanja, wanita dalam diriku mengatakan keinginan untuk melihat kasih sayangnya kepadaku. Aku berlagak seperti tidak mengerti sesuatu agar dijelaskan kepadaku sesuatu yang sejujurnya aku ketahui. Aku menanyakan kepadanya aturan utama penjara ini. Meski aku telah diberikan buku panduan, tidak ada salahnya aku memperhatikannya lebih lanjut. Jawabannya pun tetap mengajakku untuk bermain-main. 

“Aturan utamanya menjelaskan keluasan penjara ini.” 

Kalimat miliknya memang tidaklah sama seperti tulisan dalam buku. Saat kutanyai detailnya, dia semakin mempersulit untuk dimaknai. Seperti itulah dia memperlakukanku dalam kesehariannya.

“Keluasan penjara justru membebani masing-masing orang. Satu orang malah menginginkan penyesalan. Dua orang menghendaki sempitnya kehidupan. Tiga penduduk lebih menyukai kesetaraan. Empat manusia menggeledah kemampuan masing-masing untuk saling dimanfaatkan. Banyak juga tipe-tipe lainnya.” 

Mendengarkan pendapatnya kuanggap seperti mendengarkan dongeng sebelum tidur. Lebih tepatnya, aku ingin ditidurkan oleh suaranya agar saat aku bangun nanti, yang pertama kali kulihat adalah dirinya. Hari itu pun akan menjadi salah satu hari paling indah, menurut pribadiku. Setidaknya mimpi indahku berharap ada dia di dalamnya.

“Kenapa bisa keluasan justru menimbulkan permasalahan baru?”

“Ada orang yang menyukai kamu dan ada yang tidak suka kamu.” 

Jantungku langsung berhenti di tempat saat mendengarkan kalimat ini darinya. Apa perasaannya padaku? Pikiranku terus-menerus ingin mendengar bahwa dia menyukaiku. Seperti halnya perasaanku padanya.

“Kalau hatimu berada di mana?” 

Jantungku memang tidak kuat menahan detik demi detik berlalu seandainya dia tidak menjawab pertanyaanku yang satu ini. Bau wanita lainnya kembali memasuki alam pikiranku. Siapa dia? Wanita seperti apa yang menjadi idamannya?

“Untuk saat ini, aku berada di sini hanya untuk menemanimu.” 

Pertanyaan itu aku hapuskan dari pikiranku karena kalimat darinya. Aku ingin balik mengatakan kepadanya, kalau begitu pilihlah aku dan lihatlah aku secara dalam-dalam sampai kamu tidak akan melihat selainnya. Tapi untuk sementara, waktunya tidak tepat.

“Jadi, apa hubungannya dengan kisahku tadi?”

“Manusia punya perasaan dan karena perasaan itu sendiri, manusia berupaya untuk mempertemukan diri satu sama lain.”

“Apa perasaanmu padaku?” 

“Aku tidak mengerti. Hatiku sedang tidak keruan.”

“Aku menyukaimu. Kujelaskan bahwa kerinduan membawaku ke sini.”

Dia tiba-tiba terdiam. Melihat seriusnya perasaanku, dia tidak bisa banyak berkata. Kebingungan sejujurnya tampak pada wajahnya.

“Bukankah kamu masuk ke penjara karena suatu kesalahanmu?”

“Itu urusannya lain lagi. Aku tidak melakukan kejahatan apapun. Kejahatanku justru kuciptakan saat aku ingin bertemu denganmu,” kulihat dia seolah-olah tidak percaya mengenai kata-kataku. Oke, akan kuperjelas kalimatku.

“Aku memasuki penjara ini lewat jalur belakang. Aku bisa masuk dan keluar kapanpun aku mau. Sedangkan tujuanku ke sini, hanya untuk menemuimu saja. Tidak ada yang lainnya.”

Tiba-tiba dia memelukku. Saat kutanyakan menggunakan kata mengapa, sejujurnya dia tidak tahu perasaanku saat aku dilabeli sebagai seorang kriminal. Dia berharap bahwa aku tidak membencinya, sehingga jika suatu saat dia bertemu denganku, kita masih akrab seperti dulu. Kenapa tidak membuatku menjadi salah satu orang penting dalam kehidupannya? Aku benar-benar tidak mengerti jalur pikirannya.

“Kuulangi sekali lagi. Apa perasaanmu padaku?”

“Bukankah sudah aku katakan secara jelas kepadamu?”

Aku menggeleng-gelengkan kepalaku. Entah mengapa ia tidak mahir memahami perasaannya. Di balik kata dan kalimat miliknya, ada perasaan yang tersembunyi. Kita memang sudah dari tadi melepaskan pelukan. Maka aku berusaha menggengam erat tangannya dan menatapnya menggunakan perasaan cintaku yang telah kuungkapkan padanya.

“Kamu telah mendengarkan perasaan cintaku kepadamu, bukan?”

“Iya. Aku mengetahui jeritan batinmu padaku.”

“Jadi, bagaimana selanjutnya? Mengungkapkan perasaan tidaklah mudah untuk seorang wanita.”

“Aku mengerti kegundahanmu. Tidaklah mudah menenangkan perasaanmu untuk saat ini.”

Setelahnya, dia berjanji untuk menyempatkan waktunya lebih lama denganku. Dijelaskan bahwa saat ini, dia harus bertemu dengan penghuni lainnya. Saat ditanyakan kegiatanku setelah ini, aku mengatakan kepadanya bahwa aku bebas melakukan apapun. Aku tidak harus melakukan kegiatan sebagaimana penghuni lainnya. Saat dia melangkah menuju keluar ruangan, kukatakan satu kalimat yang sejujurnya seperti tidak bisa aku utarakan sebelumnya. 

“Sampai kapan aku harus menunggu kepastian darimu?” 

Wajahku benar-benar semrawut karena dia seolah berupaya melarikan diri dari pernyataan cintaku. Aku mendekatinya sampai tidak ada jarak denganku. Dia memang berhenti saat kalimat itu kuucapkan kepadanya, sehingga aku dapat mencapainya. Kupegang salah satu bagian dari bajunya sambil berharap akan suatu kalimat keluar dari mulutnya. Pergeseran detik menjadi terasa panjang rentangnya. Seolah-olah waktuku dengannya telah dihentikan oleh ketajaman waktu itu sendiri. Hening menyebar ke seluruh ruangan. Kelakar penghuni lainnya justru lebih terdengar daripada suara milik kita berdua. Tinggal sedikit lagi, perasaan miliknya bisa aku miliki, ayolah sayangku.

“Apakah kamu tidak menyukaiku? Bukankah perpisahan merupakan suatu kegagalan yang tidak diharapkan? Tataplah aku kembali seperti disaat kita berbagi cerita.”

 ***

Samudra memang luas. Perjalanan kaki dari suatu pantai menuju laut memang hanya diberi jarak beberapa langkah. Seandainya panjang perpisahanku terhadapnya dapat dilihat jejaknya seperti langkah kaki seseorang saat menginjak pasir, tentu saja aku bisa menyatakan kalau langkah ini sudah membekas pada hatinya. Perubahan makna dari satu kata suka menjadi cinta bisa sangat sulit. Semampu orang menggerakkan kakinya untuk mengitari sebuah monumen sejarah, terkadang seseorang lebih terperangah untuk menghentikan gerakannya hanya karena dianggap sangat jauh dari keinginannya. Berputar sebanyak tujuh kali hampir tidak ada bedanya dengan satu kali.

Lintasan akan selalu sama, berputar pada orang yang sama pula. Berusaha menjejakkan kaki di tempat yang sama agar kesungguhan milikku dapat diketahui. Perputaran sebanyak langkah kaki dapat membawa memang selalu mudah dilakukan. Tapi tidak semua orang membutuhkan putaran yang sama untuk sekedar menyadari mengenai suatu perasaannya. Jika olahraga antara aku dengannya adalah suatu perlombaan dimana ketegasan kaki maupun ketahanan tubuh diujikan, tentu saja seorang wanita punya kelemahan fisik yang lebih rendah daripada laki-laki. Masalahnya bukan terletak pada ketidakmampuan. Melainkan pada harapan milikku yang ingin aku capai. 

Lintasanku terasa ringan saat aku mengerti betapa hatinya selalu kurindukan. Keelokan tindakannya terkenang sehingga memberikanku semangat agar aku dapat menyelesaikan putaran ini. Nafasku memang terengah-engah. Dia terus berusaha menyerap udara lebih banyak agar kelemahan tumpuanku tidaklah terombang-ambing oleh kesulitan yang aku alami sekarang ini. Harapan-harapan beredar seperti bintang-bintang yang menghiasi keindahan malam hari.

Atas keberhasilan usahaku, dia tidak keluar ruangan. Pilihannya tertuju kepada duduk kembali pada kursi yang tersedia, sehingga kesempatanku masih belum menghilang sepenuhnya. Aku semakin bersemangat untuk memilikinya. Untuk membawanya pulang ke tempat asalku. Selebihnya, memang tidak ada percakapan apapun karena dia membiarkanku mengalahkan keinginannya untuk beranjak dari tempat ini.

Sejujurnya aku merasa sangat senang atas kemenangan kecil (atau besar?) terhadap kesulitan musuhku satu ini. Senyumanku terus merekah meski aku juga selalu berusaha untuk menyembunyikan hal itu dari dirinya. Agar jeratan milikku semakin kuat, aku memperkenalkan kembali kepadanya minuman kopi panas sebagai penenang langkahnya untuk beranjak pergi. Melihat uap panasnya kopi terus menuju angkasa dari secangkir kopi di hadapannya membuatku lebih leluasa untuk mengamatinya. Setelah perasaanku keluar dan diketahui olehnya, aku merasa tidak perlu lagi sungkan-sungkan untuk menyembunyikan gejolak perasaanku yang sering kali membuat mataku sulit lepas dari dirinya.

Saat cangkir kopi itu didekatkan pada mulutnya dan ditenggak sedikit demi sedikit karena airnya memang kusiapkan yang paling panas, aku jadi terpikirkan perasaanku. Ingin kukatakan kepadanya bahwa sepanas itulah perasaanku untukmu, akan tetapi bukan saatnya. Dia masih membutuhkan waktu dan akan selalu kusediakan kopi paling panas agar dia tetap berada disini 

Kebaikannya memang selalu terasa untukku. Dia selalu bisa keluar meski kopi dihindangkan untuknya. Dibiarkanlah aku berusaha untuk tidak melepaskannya. Kemarahan tidak tampak pada wajahnya meski mengerti bahwa airnya sengaja dibuat paling panas. Senyuman justru melayang untuk kopi buatanku. Seolah-olah dia tahu, tapi tidak mengatakan apa-apa. Semakin lama waktuku kusiapkan untuknya, justru aku yang semakin jatuh hati kepadanya. Percakapan milik kita berdua tersuarakan tanpa suara, tersampaikan tanpa media angin. Semakin aku memikirkan hal ini, aku semakin malu, sehingga aku tidak bisa menutupi rona kemerah-merahan dari wajahku.

Hening. Benar-benar hening. Asap kopi dari cangkirnya justru membuat percakapan milik kita berdua terus berlangsung. Saat kucoba menatap dirinya dengan mataku, perasaanku justru menghadangku untuk menatapnya secara langsung. Dalam hatiku, aku seolah-olah berharap waktu semacam ini tidak akan pernah usai. Namun, di lain sisi aku ingin mendengarkan suaranya.

“Apakah kopinya tidak terlalu panas untuk lidahmu?

“Tidak apa-apa. Kopi memang lebih enak kalau masih panas.”

Setelah itu, suara tidak tercipta kecuali dari pergerakan cangkir di hadapannya. Uap hasil ciptaan panasnya air masih berjerih payah menyatukan dirinya dengan semesta alam. Saat kuketahui tatapannya mengarah kepadaku, sifat wanitaku justru semakin membakar wajahku sampai merah padam. Kugerakkan mataku sampai tidak melihat pandangannya kepadaku.

Sekian detik berlalu. Percakapan juga tetap tertutup rapat dalam mulutnya. Demi kematangan perasaannya, aku menahan berbagai gejolak perasaanku. Sebagaimana kebungkaman suaranya, ingin seperti itu pula pintu dari ruangan ini, sehingga dia akan selalu bersamaku. Meski dia terus diam seribu bahasa, satu dialek cintanya dapat terus mengalir kepadaku saja. Menit pun akhirnya ikut serta dalam babak penantian. Kebahagiaanku semakin pudar melihat senyuman manisnya pudar ditelan waktu dan tergantikan oleh suatu kebimbangan. Hatiku menjadi semakin tidak tahan saat merasakan kesusahan jiwanya karena ungkapan jiwaku. Perasaan cinta bukanlah seperti ini, batinku berteriak memenuhi relung hatiku. Tapi apa yang harus aku lakukan? Keinginanku untuk memilikinya bukan sekedar untuk bermain-main.

Dari waktu ke waktu dalam hatiku, pertentangan semakin memuncak. Aku berada dalam kebimbangan antara melepaskannya atau terus membiarkannya seperti ini. Keinginanku untuk memiliki atau merasakan kebahagiaannya memenuhi kebahagiaanku, terus beradu tanpa henti semakin lama aku duduk dengannya. Karena tidak ada perkembangan apapun, aku akan mencoba untuk memunculkan apa isi hatinya ke permukaan. Apakah dia akan memilih untuk menemaniku? Atau justru pergi dari hadapanku? Semoga Tuhan mengabulkan permohonanku.

“Jika kamu ingin keluar, aku persilahkan meski kopi hidanganku masih belum tuntas.”

“Apa yang kamu inginkan? Aku keluar dari sini atau tetap berada di sini?”

“Keluar! Lebih baik kamu keluar dari tempat ini!”

“Mungkinkah semacam itu merupakan keinginanmu?”

“Iya, benar. Itulah keinginanku. Cukup sudahi saja omong kosong ini. Katakan saja kalau harapanku hanyalah suatu khayalan. Kamu tidak perlu berbuat baik kepadaku atau apapun itu. Aku membencimu. Lihatlah betapa menjengkelkannya dirimu. Keinginanku padamu cuma satu. Keluar. Kamu keluar dari tempat ini. Itu saja.”

Ekspresi marahku tampak sepenuhnya pada wajahku. Aku tidak mengerti kenapa aku bisa marah kepadanya meskipun kopi panas untuknya disambut dengan kehangatan olehnya. Aku sama sekali tidak dapat menghentikan kalimat terus keluar dari mulutku. Seolah-olah bendungan perasaanku keluar tanpa ada halangan.

“Itu saja keinginanku. Pergi! Jangan temui aku setelah ini. Percuma berlama-lama di sini karena kebencianku padamu adalah kenyataan sebenarnya. Kopi panas itu adalah perasaan amarahku karena keberanianmu mempermainkan hati wanita. Bukan perasaan suka atau apapun. Panasnya air kutuangkan agar kamu mengerti bahwa aku seratus persen tidak menyukaimu. Sampai kapan kamu tetap diam seperti itu? Dasar playboy. Makhluk sepertimu itu pantas dicaci maki oleh siapapun. Eksistensimu saja tidak akan pernah dimaafkan oleh makhluk sebangsa denganku. Kamu akan dikutuk sampai kapanpun meski kamu tidak melakukan kesalahan apa-apa. Itulah kamu.”

Setelahnya, kalimatku semakin ngelantur dari tujuan awalku. Apa tujuan awalku berbicara padanya? Aku lupa. Lebih tepatnya, aku melupakan hal itu di tengah-tengah pembicaraanku terhadapnya. Kalimatku menjadi panjang dan benar-benar lebar. Tingginya pun memiliki kedalaman yang tidak bisa diremehkan pula. Sampai kalimatku mencapai titik didih serupa air dalam cangkir kopinya, dia tiba-tiba mengatakan sesuatu kepadaku. 

“Ingatkah kenapa aku menemuimu? Bahasa apa saja yang aku gunakan saat kita berdua berbagi kisah? Amarah selalu meragas aroma kecantikan setiap wanita, termasuk milikmu. Ombak besarmu itu menghantam-remuk karang-karang pantai hatiku. Apa-apa yang membuatku bertahan di sini bukanlah kemarahanmu yang tiada tara. Senyumanmulah alasan utama kenapa aku tetap di sini.”

Sudah pasti kali ini bukanlah kemarahanku yang menguasai kehidupanku. Justru air mata membasahi pipiku. Saat aku berusaha untuk meminta maaf kepadanya, justru deraian air mata yang paling keras berekspresi. Kali ini, mulutku tidak dapat berkomentar apapun. Hatiku terus mengucapkan kata minta maaf saat mengingat betapa kerasnya ucapanku kepadanya. Sampai kapankah aku terus memanfaatkan kebaikannya? Air mata itu mengalir dari sumber kekesalanku pada diriku sendiri. Justru semakin menderas di saat dia memberikan salah satu cara menghapus air mataku. Kedalaman hatinya. Usahanya menghapus aliran ini dengan tangannya sendiri. Meski begitu, air mataku justru mengalir lebih deras lagi walaupun keinginannya bukanlah semakin sia-sianya kekesalanku.

Jika sebelumnya waktu bergerak dengan lambat, kali ini aku berharap semuanya melambatkan dirinya. Termasuk tangannya ketika berupaya menenangkan waduk air kepunyaanku. Sentuhannya dipenuhi oleh suatu keajaiban tersendiri. Semakin dia membenamkanku pada kebaikannya, penglihatanku semakin berkaca-kaca. Mungkin Tuhan mentertawakan doaku. Cara memintaku bisa jadi selalu dapat disalahkan. Kenapa aku tidak bisa merasakan kedalaman hatinya? Bagaimana bisa kebersamaanku dengannya justru melupakan siapa dia di hadapanku? Akhir dari kisah cintaku, bermula saat air mataku berakhir. Justru saat tangannya tidak lagi menyentuh kulitku, aku benar-benar mengenali perasaanku kepadanya.

“Saat hujan telah menyegarkan tanaman, langit menyegarkan hati manusia melalui warna-warni pelangi.”


Posting Komentar

0 Komentar