Cerita Bersambung Taufik Juang Dwiadi: Hitam Putihnya Penjara Bagian V - VI

 


Tokoh:

0721 : tokoh utama

0192 : seorang perempuan

0378 : tokoh dengan banyak peran

A__e_ : nama asli tokoh utama yang tidak terungkap

____ dan ____ : dua orang perempuan dalam bagian V

0492 : kakak dari seorang adik

??? : penghuni sebelah 0721 yang mencintai 0492, seorang mantan narapidana: manusia bebas yang kabur dari penjara

V

Aku tertidur. Terlelap dalam mimpiku. Teringat bahwa mimpi terkadang dikabulkan para makhluk halus. Oleh makhluk-makhluk yang dipercaya ada tapi dianggap remeh. Makhluk misterius namun tidak punya harapan untuk dianggap bukan takhayul. Meski begitu, kebenaran semacam itu tidak pernah dapat disangkal oleh siapapun.

“Hanya karena aku benar, maka tolong jangan kamu anggap aku memang menginginkannya.”

Terkenang percakapanku dengan wanita itu. Harapannya terungkap di antara ingin dibantu atau digagalkan. Terasa seperti melihat sebuah timbangan tidak seimbang. Maksudku, timbangannya memang dibuat tidak seimbang. Sisi kanan dan kirinya memang ada tapi titik tengahnya memiliki banyak celah. Kekurangan-kekurangan miliknya menatapku secara lekat. Aku pernah menghabiskan waktu dengannya. Berupaya melihat pemandangan melalui matanya. Berusaha memahami suatu keindahan menurutnya agar aku dapat semakin mengenalnya. Pertama-tama, aku mencoba duduk di sebelahnya. Jika di hadapanku ada meja, maka sangat bisa aku dikatakan pada sebuah warung makan. Karena di hadapanku tidak ada mejanya, tetap saja tidak membuktikan bahwa aku tidak di warung makan. Lebih tepatnya, aku duduk berdampingan sambil ditemani orang ketiga. Siapa orang ketiganya? Aku lupa, deskripsinya pun tidak penting, sebagaimana tidak pentingnya namaku. Aku hanya bisa mengingat nomorku, 0721.

Bertiga, kita menemukan artinya hidup. Seperti saat seekor keledai berusaha mengarungi derasnya sungai, dia menggunakan para buaya agar dapat menyeberangi kerasnya lalu lintas. Tidak perlu menjadi pintar hanya untuk membuat para buaya membiarkan kepalanya diinjak-injak. Cukup katakan saja, 'aku mau lewat' karena memang itulah kenyataannya. Apa maksudku? Aku hanya ingin berkata bahwa manusia sering kali enggan jujur menyampaikan keinginannya dan musuh terbesar manusia sering kali merupakan dirinya sendiri. Siapakah dirinya sendiri? Entah. Aku mengenal bahwa cintaku adalah musuhku. Sedangkan aku, bukanlah makhluk punya nama. Aku hanya manusia dengan identifikasi nomor.

Orang ketiga punya nama, sebagaimana wanita itu, tapi aku tidak suka memberikan nama pada beberapa orang. Hanya karena manusia butuh eksistensinya diakui, bukan berarti bahwa mereka boleh saling menjotos satu sama lain. Meskipun untuk olahraga, hal itu dikatakan sebagai suatu sarana rekreasi.

Percakapan tiga orang ini bisa menjadi seru atau tidak, bergantung padaku karena dalam versiku lah percakapan ini disalurkan. Aku mencuplik sebuah informasi dengan memotong bagian pentingnya.

“Kenalilah, bahwasanya [X] adalah seorang boneka,” orang ketiga berbicara, menanggapi pernyataan [B] seperti agar dia memikirkan ulang pikiran kalimatnya.

“Kapankah manusia menyadari kalau [X] punya dua wajah?” [C] seperti ingin menyela pembicaraan, [C] memprotes dan tidak ingin cerita macam-macam mengenai kejelekan orang.

“Seperti apakah bentuk bunga pada musim semi dalam dua musim saja?” ia berusaha mengisahkan sesuatu seperti ada kesalahan dari dua kalimat diatas.

“Nama menghilang, sehingga hanya menyisakan deretan kalimat,” aku menginginkan melihat pesonanya lebih lama lagi dengan suaranya, meski aku tidak sendirian di sana dan ditemani oleh orang ketiga.

“Bukankah empat dibagi dua adalah dua?” 

Mengapa [B] justru menjawab, sehingga aku tidak mendengarkan nyanyian [A]. Kalau begini keinginannya, maka aku akan terus berbicara.

“Kenapa kalimat kalian sama sekali tidak nyambung?”

“Salah, salah. Kamu tidak menyadari kalimat kami.” 

Aku pertama menjawab pernyataan [A]. Tidak akan aku biarkan [B] punya banyak waktu untuk berbicara, “musim semi adalah cerita, di mana musim salju, putihnya banyak warna, tergantikan oleh beragam warna yang sebelumnya dianggap tidak ada,” sergapku. 

“Lalu?”

“Pada musim salju, keterangan-keterangan akan menghilang dan untukku, nama adalah yang pertama kali menghilang.”

“Kenapa bisa seperti itu? Apa kata dua musimku kamu abaikan?”

“Tentu saja tidak. Menjelaskan empat musim dalam dua musim hanyalah khayalan. Orang tidak memiliki nama saat dilahirkan juga hampir dianggap tidak mungkin. Manusia selalu punya nama,” begitulah penjelasanku padanya lalu termanggut-manggut setuju terhadap uraianku. 

Lalu, orang ketiga menjelaskan sesuatu.

“Karena kamu menginginkan keadaan tidak mungkin, maka seseorang harus menciptakan suatu simulasi,” [B] berkata sambil berusaha menarik perhatian [C],“apakah itu dapat terjadi?”

“Itulah pertanyaanmu. Seharusnya kamu meyakini dulu dapat terjadi, baru kamu menanyakan hal itu kepadaku.” 

Dia melihatku, seolah-olah ada suatu percakapan rahasia antara aku dan dia. Atau jangan-jangan antara [A] dengan [B]? Aku tidak mengerti hati wanita.

“Aku ingin mendengarkan pendapatmu sebagai [B]. Bukankah ideal adalah alasan mengapa manusia melakukan sesuatu?”

“Persamaan. Carilah persamaan dalam keduanya. Lalu akan ditemukan pengali, sehingga menghubungkan dua musim dengan empat musim.” 

Antara satu sama lain, saling bertatap-tatapan. Kenapa aku dikeluarkan dari pembicaraan?

“Apa sebaiknya yang dapat kita lakukan? Bukankah sepertinya mustahil untuk dijelaskan menggunakan dua musim padahal musim semi tercipta dari empat musim?”

Keduanya terlihat kebingungan. Ada percakapan tidak terlihat terpancar pada masing-masing bola mata mereka. Mata [A] bergerak dari barat ke timur, sedangkan [B] berasal utara menuju selatan. Karena situasi semakin hening, terpaksa aku mengambil alih pembicaraan.

“Kalau tidak mungkin, kenapa tidak dicoba dulu apa yang diyakini benar? Semestinya, penyelesaian masalah tidak harus menemukan solusi paling tepat terlebih dahulu. Coba melakukan saja dulu lalu berpikir belakangan,” jawabku agar keduanya tidak semakin kebingungan untuk memutuskan sesuatu yang tidak aku mengerti.

Mendengar jawabanku, tiba-tiba [B] mengucapkan kalimat itu. Kalimat yang aku sebutkan di awal-awal tadi sambil menatapku seolah-olah punya suatu harapan terhadapku. Orang ketiga juga mengangguk-anggukan kepalanya pula seperti menaruh harapan lainnya padaku. Aku hanya melemparkan senyuman pada mereka karena aku tidak mengerti maksudnya sama sekali.

Maka dia seperti menyanyikan sebuah lagu. Hanya seperti. Tidak benar-benar lagu juga sama sekali tidak mengatakan apapun. Menyanyikan sebuah perpisahan, menceritakan adegan percintaan yang tidak ingin ditemui. Bisa pula mengenai harapan bahwa tidak adanya perpisahan dari kisah kali ini. Seperti itulah penggalan adegannya. Lalu orang ketiga berusaha menghapuskan lagu itu. Sembari mengingatkan bahwa keinginannya bukanlah seperti itu. Apa itu keinginan seorang wanita? Tolong jelaskan padaku. Sekalipun aku tidak mengatakannya secara langsung.

“Apakah kamu pernah melihat secara seksama mengenai gelapnya awan?”

Tiba-tiba seolah menyetujui ucapan [B], langit terlihat mendung. Entah sejujurnya di mana percakapan ini berlangsung karena semua tempat juga tetap beratapkan langit. Hmm… ingin rasanya aku bercanda dengan kebetulan yang terjadi, tapi raut mukanya serius, begitu juga pandangan orang ketiga padaku. Terlalu serius untuk dibuat bercanda.

“Lihatlah, bahwa tarian pertunjukkan telah mencapai titik puncaknya.”

Kenapa? Ada apa? Pertunjukanku denganmu tidak akan pernah usai semudah ini. Aku juga tetap ingin melanjutkan sekalipun ditambahkan orang ketiga dalam pembicaraan kali ini. Kenapa tiba-tiba harus berhenti? Apakah tidak ada kelanjutannya?

“Kalau begitu, tunjukkanlah tanggapanmu padaku.”

Tiba-tiba, dia meninggalkanku. Setidaknya, aku masih ditemani oleh orang ketiga di sisiku. Dia mengelus-elus pundakku dengan kalimat-kalimatnya. Seperti ingin meninabobokanku pada suatu kejadian yang baru terjadi. Sepertinya, banyak orang tidak memahamiku. [B] bukanlah [X], tapi [C] memilih untuk berada di sisiku.

VI

Melihat hari baru hanya membuatku semakin haus terhadap kehangatan. Telah lama kujalani hidup dalam suatu penjara kesengsaraan ini. Tidak pula diungkapkan padaku oleh mereka bahwa aku mengalami suatu kesombongan terhadap suatu keahlian milikku. Padahal, itu salah mereka sendiri mengapa orang secara tidak lazim memasuki alam pikiran milik seseorang. Tidak punya sopan santun, mereka langsung meminta dipersilakan masuk begitu saja. Kalau disuruh pergi, masih meminta bahwa aku yang perlu diperbaiki. Memangnya aku ini mesin rusak? Kampret. Sekalian saja bilang kalau mereka pun tidaklah baik. Atau masih perlu merusak kehidupanku untuk merasa bahwa mereka lebih baik dariku?

Di pandanganku semuanya terlihat tidak lazim. Hubunganku dengan manusia lainnya terdistorsi oleh suatu kenyataan paling pahit sepanjang sejarahku. Dikatakan oleh banyak manusia, bahwa aku hanyalah suatu otak. Sekedar pikiran. Tidak punya apapun selain kematian. Dijelaskan bahwa aku telah lama mati dibunuh oleh mereka. Mereka adalah malaikat kematian, di tangannya terdapat nyawaku. Matanya telah lama tidak menatapku, tapi memperlihatkan bahwa aku tidak pernah ada di hadapan mereka. Sekalipun aku lahir dari suatu rahim manusia seperti mereka, hanya tawa sajalah yang diinginkan dari kehidupanku. Dibahasakan oleh mereka, bahwa aku adalah manusia paling hina.

Caci maki adalah keindahan mereka. Suara tangisanku dikatakan sebagai wujud ketakutanku. Mereka menciptakan masalah tanpa ampun dan tidak pernah mau merasakan apapun yang aku rasakan. Dijelaskan bahwa mereka bukanlah penguasa apapun, tapi entah mengapa, mereka merasa berhak menutup rapat-rapat kehidupanku. Menoleh ke kanan, kulihat kematian menjelma dalam suatu wujud serigala. Taringnya menyeringai karena merasakan bahwa darahku selalu menghiasi keputihan giginya. Batinku terenyak bukan karena taring pada mulutnya, akan tetapi karena bekas-bekas luka pada sekujur tubuhku. Darah milikku terus mengalir menuju taring mereka. Tanpa mau berterus terang bahwa mereka adalah lintah paling menjijikkan dalam kehidupanku.

Saat kepala berusaha berpindah haluan ke kiri, kematian menjelma sebagai tanda-tanda kiamat. Seolah-olah matahari telah bosan melakukan kebiasaannya, dia melakukan revolusi dengan mengganti caranya untuk menapaki hidup. Mengikuti perubahannya, nyawaku juga tiba-tiba hanya melayang. Terbayangkan bahwa aku tidak dapat melangkah di atas tanah. Aku cuma bisa terbaring dan bergerak hanya menggunakan tanganku. Sekujur tubuhku penuh luka. Usahaku untuk berjalan membutuhkan tenaga ekstra hanya agar pikiranku terasa tenang. Jika aku berusaha melihat apa yang ada di hadapanku, kali ini bukan serigala yang tampak, tapi sepotong daging milik seorang manusia. Lebih tepatnya, mata. Apakah dia termasuk daging? Aku tidak ingin memahaminya.

Kumpulan mata, lebih tepatnya. Seandainya tatapan mata dapat membunuh seseorang, maka aku sudah mati ribuan kali karena mata mereka tidak ada yang pernah lepas padaku. Dengan bahasa 'aku adalah penolongmu', mereka membual bahwasanya kehidupanku jauh lebih indah daripada apapun dalam pikiranku. Berbohong dan terus berbohong menggunakan kegilaan mereka. Beruntungnya, mata itu juga membunuhku karena kumpulan mata dengan jumlah yang tidak bisa kuhitung punya mulut dan seperti memiliki ekspresi wajah. Aku selalu mendengar ekspresi paling menghina sepanjang sejarahku dan mulut besar itu, tidak pernah sekalipun meminta maaf kepadaku. Juga tidak pernah menyalahkan perbuatan bangsatnya sendiri padaku.

Di belakang… hanya ada kenangan masa laluku. Kerinduanku pada kebenaran paling baik untukku dan orang lain. Di kalanganku, manusia selalu membunuh diriku dengan mulutnya, melalui pikirannya. Menghasut suara-suara di sekitarku. Dan terakhir… dibuang ke dalam suatu penderitaan di mana tangan-tangan terus meraihku tanpa pernah berhenti. Tempat di mana aku tidak ditemani apapun selain kegelapan. Dipenuhi oleh ribuan tangan yang terus berusaha merasakanku. Menjijikkan. MENJIJIKKAN. MENJIJIKKAN.

Aku hanya dapat melihat sebuah nisan jika aku menatap belakang. Tertulis namaku di sana. Eksistensiku sebagai manusia. Hakku sebagai makhluk bernama manusia. Tanpa punya hak, aku melangkah. Namaku telah menjadi 0721. Itulah awal dari segalanya.

***

Tentang pengawas kehidupanku, aku akan kelelahan jika menjelaskannya satu persatu. Mereka adalah manusia. Setidaknya, dia punya hak paling dasar sebagai manusia. Hak itu dijelaskan secara singkat dengan satu kalimat. Mereka tidak dikucilkan dari masyarakat. Itu saja. Selebihnya, aku dianggap bukan manusia karena mereka menciptakan organ-organ palsu untuk menyambung hidupku. Pertama-tama mereka mencabut hidungku. Diberikan kepadaku organ palsu bernama kecantikan. Dirusaklah syaraf-syaraf untuk menikmati bahwa mawar memiliki duri. Dihilangkannya perasaan bahwa aku merasa dunia ini adalah hidupku. Sejelas tulisan undang-undang dasar sebuah negara, tertulis pada jidatku bahwa aku tidak akan pernah menghidup udara yang sama lagi. Tidak berhenti sampai di situ, penderitaanku masih terus berlanjut. Menggunakan para pengawas pada bidang dan keahlian tertentu, mereka membuat rencana untuk semakin merusak dan mempersulit kehidupanku. Sekiranya aku dapat melihat wajah milik mereka, selalu bisa untuk aku bermimpi  melemparkan balasan setimpal kepada mereka.

Apa kesalahanku sebagai manusia? Tidak pernah aku melakukan suatu kesalahan paling besar. Akan tetapi orang-orang justru menginginkan untuk mengerti ceritaku. Seorang penjahat dikenal karena kejahatannya. Tapi aku malah dihancurkan oleh kegiatanku yang tidak mengundang kejahatan pada orang lain. Melihat seorang penjahat menguasai dunianya, mulutku tersenyum sedikit memikirkan bahwa mereka lebih punya hak kebebasan. Tapi untukku, semuanya batal. Lebih tepatnya, apa yang fiksi adalah nyata dan kebebasan adalah hal paling fiksi.

Dunia maya adalah kehidupanku. Aku tidak memiliki rahasia apapun. Segala kegiatanku terpampang di wall. Nama baik ataupun buruk, semuanya terbuka lebar-lebar. Tidak ada kerahasiaan maupun penjelasan bahwa kehidupan masing-masing berbeda. Aku tidak pernah mengerti kehidupan orang lain yang memiliki dunia nyata karena hidupku berada pada dunia maya. Seburuk-buruknya kehidupan mereka, mereka selalu sulit menyadari kenyataanku. Agar aku tetap waras di penjara, sepertinya komunikasiku dengan 0378 dapat terus untuk terjadi. Tapi kali ini, aku menemui 0192. Aku mencari udara segar seorang wanita. Kepadanya, aku bisa kembali melihat pesona wanita itu. Jadi, sebenarnya penjara model apa yang membolehkan pertemuan antara pria dan wanita?

Ini hanyalah khayalan karena manusia suka memilih dunia paling baik demi dirinya. Satu contoh paling tidak dapat disangkal oleh anak-anak sekolah adalah bahwa dia ingin mendapatkan nilai ujian paling baik tanpa perlu belajar dengan keras. Seperti itulah penjelasan mengenai tempat penjara ini.

Manusia berpikir untuk mencari surga di bumi, karena mereka tidak menemukannya, maka dia menciptakannya menggunakan segala sumber daya milik bumi. Mereka melihat kemajuan dan mereka pula yang mencontohnya. Sambil menimbang-nimbang tentang kebenaran apakah dunia akan semakin hancur jika mereka terus merusak dan melalaikan bahwa bumi pun perlu untuk disayangi, manusia tetap berlaku sama. Mencari kebahagiaan dengan cara apapun. Mengabaikan derita selainnya. Penjara ini diciptakan dengan pemikiran seperti itu. Suatu surga bagi para pendosa. Diciptakan khusus untuk orang-orang yang ditolak dari masyarakat, sehingga pertemuan antara sepasang insan berbeda kelamin pun tidak masalah. Walaupun dipenuhi binatang lainnya, seorang Adam merasa puas jika ditemani istri tercintanya, Hawa.

Untungnya 0192 juga mau untuk menemuiku jika aku ajak suatu pertemuan singkat. Di penjara, pengawas menciptakan surga dan dirasakan oleh penghuni penjara itu sendiri.

“Tahukah kamu mengenai keindahan surga milik Adam?” katanya sambil menatap mataku tanpa berusaha memisahkan kehangatan tangannya dari tanganku, dia berusaha membuka hatiku untuk menerimanya. Selebihnya, rambutnya terasa berusaha untuk menyentuh perasaanku.

“Untuk surga, aku mengerti bahwa alam adalah cinta Tuhan kepada manusia. Untuk Adam, aku mengerti bahwa dia mengenal kesendirian justru saat dia mengenal Hawa.”

“Kenapa perpisahan selalu menyakitkan?”

“Sejujurnya aku juga tidak begitu mengerti. Tapi manusia sering mencari kehangatan dari manusia lainnya. Mungkin itulah ajaran pertama Adam untuk anak-cucunya.” 

Sepertinya untuk kalimat seperti itu, seorang wanita cukup mengerti mengenai kata-kataku. Hal ini terlihat dari tangannya yang terus berusaha untuk tidak melepaskan genggamannya.

“Apakah surga harus mendapatkan restu seorang ibu?”

“Seorang Qabil berani menentang, sehingga mendapatkan cinta wanitanya. Seorang Habil menerima keadaan sehingga dibunuh oleh saudaranya sendiri.” 

Sepertinya, matanya dapat menangkap suatu kesedihan terpancar meski tidak terlihat. Insting seorang wanita memang hebat. Aku tidak akan pernah mengerti bagaimana insting itu dapat terjadi. 

“Kenapa kematian selalu lebih dekat dengan tanah?”

“Kejahatan selalu berusaha disembunyikan dari mata umum. Apa yang terlihat hanyalah gundukan tanah. Terlihat dari kejauhan hanyalah tanaman besar karena mendapatkan nutrisi dari kematian seorang Habil.”

Kulihat ada suatu keinginan untuk memelukku. Setidaknya, kehangatan bagi satu sama lain sering kali dapat melupakan suatu penderitaan meski tidak menyelesaikannya. Untuk saat ini, aku biarkan dia merasakan diriku karena lukaku sendiri masih belum sepenuhnya pulih.

“Apakah kebahagiaan selalu diciptakan menggunakan kesengsaraan?”

“Hmm… setidaknya aku masih bisa untuk bernafas. Seorang Habil telah mati karena kesalahannya sendiri. Jika ditanyakan pada realita, orang akan berkata seperti itu.”

Percakapan langsung berhenti di saat menginjak kalimat itu. Perempuan memang aneh. Dia seperti mengerti sesuatu padahal kata-kataku sama sekali tidak berkata apapun. Aku hanya mengisahkan suatu cerita milik seorang penghuni surga dalam suatu kesendiriannya. Untukku, aku dapat merasakan dari detik ke detik pelukannya semakin hangat. Seolah-olah ada suatu perasaan campur-aduk disalurkan kepadaku. Entahlah. Aku tidak mengerti apapun.

Dia tiba-tiba mengajakku berjalan-jalan. Tanpa suara dan tanpa suatu kesedihan, dia menggengam tanganku dan membawaku pergi ke suatu tempat kesenangannya. Aku iyakan saja keinginannya, karena aku tahu bahwa menolak keinginan semacam ini terkadang hanya membuat suatu hubungan semakin runyam. Sesampainya di tempat itu, ditunjukkanlah suatu album kenangannya. Untuk tempatnya sendiri bagiku kurang penting. Tapi dia menjelaskan berbagai nasehat kumpulan dari orang tuanya. Itulah arti album kenangan bagiku. Tak lupa pula dia mengusap wajahku, seperti ada suatu bekas luka di wajahku, padahal sama sekali tidak ada.

“Inilah kebahagiaanku.” 

Saat dia mengatakan seperti itu, sudah tentu aku benar-benar bingung pada kalimatnya. Apa pertunjukan di tempat ini? Ini hanyalah suatu ruangan di mana tidak ada banyak tempat untuk sebuah televisi. Juga tidak tersambung pada suatu koneksi internet. Hanya saja, wajahnya malah menunjukkan senyuman manisnya saat aku kebingungan.

“Kutunjukkan ini padamu dengan harapan kamu mengerti apa maksudku.”

Oke, aku sama sekali tidak mengerti. Aku hanya mengerti satu hal. Dia justru semakin mempererat kelekatannya padaku. Menatapku seperti aku mengerti apa maksudnya, meskipun aku benar-benar bingung kenapa dia membawaku pada tempat ini. Senyumannya tetap terkembang pada mulutnya tanpa ada perubahan secara signifikan.

“Lihatlah. Untuk membuatku tersenyum, seseorang tidak butuh apa-apa.”

Seperti ada suatu hal yang tidak aku lihat, aku justru semakin mengamati sekeliling secara seksama. Ruangan apa ini memangnya? Melihat tingkah lakuku, dia justru semakin tertawa. Dia membantu aku menemukan sesuatu yang sekiranya tidak aku lihat. Dia menjelaskan ini adalah barang bernama ______ dan itu punya julukan _______.

“Tidak mengerti pun tidak apa-apa, karena kamu sebenarnya juga dapat merasakan.”

Oke, oke. Hentikan permainanmu sekarang ini karena hal semacam ini terus membuat kepalaku terasa pusing. Dalam banyak ungkapan, dia seringkali tidak mengerti apa maksudku. Tapi untuk hal-hal semacam ini, dia selalu mengalahkanku. Aneh. Wanita memang tidak pernah aku mengerti.

Tawanya semakin lama semakin tidak bisa dia tahan. Meski begitu, dia seperti tetap tidak bisa melepaskanku. Dia memang membantu mencarikan maksud perkataannya di ruangan ini, tapi selalu saja dia justru semakin mentertawakanku. Tapi sudahlah. Memang beginilah kalau aku menghabiskan waktu bersama 0192. Dia adalah suatu teritori yang tidak pernah aku mengerti, karena itulah aku tertarik padanya.

Posting Komentar

0 Komentar