Pagi ini, aku berlari di atas tanah yang subur dan kaya. Berbagai macam hewan dan tumbuhan hidup tanpa kendala. Petani tak pernah memiliki masalah selain harga pupuk dan harga jual yang tak imbang. Nelayan tak pernah mengadu persoalan selain harga solar dan harga ikan yang tak wajar. Budidayawan udang dan ikan tak pernah gelisah kecuali karena masalah limbah pabrik dan sampah. Setengah dari penduduk desaku menggantungkan hidupnya pada hasil alam, selebihnya menjadi kuli, pedagang, sopir, atau pekerjaan serabutan lainnya. Orang-orang di desaku tak pernah muluk-muluk soal uang dan kekayaan. Mereka tak pernah benar-benar merasa kelaparan meski berbulan-bulan tak memiliki pekerjaan, sebab sungai dan laut selalu menyediakan bahan pangan, bahkan bagi mereka yang malas berlayar.
“Sarapan dulu, Ang!”
“Iya nanti, Yu. Aku ingin ke laut dulu.”
Aku berhenti
sejenak di depan warung Yu Sarti untuk sekadar minta minum, setelah itu lanjut
berlari menuju pantai. Warung Yu Sarti terletak persis sekitar 200 meter
sebelum pantai. Karena pantai di kampungku memang nonkomersil, dalam arti tidak
dikelola oleh siapapun alias gratis, maka di pantai tidak ada gubuk atau warung
sama sekali. Setiap orang yang hendak ke pantai harus membawa bekal dari
rumah atau membeli jajanan di warung Yu Sarti. Sejak seluruh empang dikelola
oleh pengusaha, hutan kecil yang terletak persis sebelum pantai dibabad habis
dan jalan menuju pantai sepenuhnya diaspal. Hal tersebut membuat banyak orang
berbondong-bondong datang hanya untuk berenang di pantai atau sekadar menikmati
segarnya angin muara.
Pagi
ini ombak pantai berwarna cokelat mengkilap bercampur limbah, sampah, dan
barang-barang tak berharga yang berserakan di mana-mana. Hal semacam ini tak pernah
menjadi persoalan yang serius, masyarakat sekitar dan pengunjung tetap
beraktivitas seperti biasa untuk berenang dan bertamasya. Dahulu orang percaya bahwa
mandi di laut dapat menyembuhkan penyakit gatal dan gudik, sekarang sepertinya
tidak lagi karena gatal-gatal justru akan menyerang ketika seseorang selesai
berenang di laut. Biasanya pada pagi hari, beberapa orang akan mengadu untung dengan
memasang jaring di pinggiran pantai, tetapi karena semalam hujan, orang-orang
itu tak mungkin akan datang.
Setelah
bangkit dari lamunan panjang, pikiranku langsung teringat pada sega lengkoh dan
telor ceplok buatan Yu Sarti, dengan segera aku beranjak menuju warung.
“Tadi malam katanya ada ramai-ramai di bawah jembatan, Ang?”
“Wah, kurang tahu, Yu. Selepas isya saya langsung tidur.”
Sudah menjadi kebiasaan Yu Sarti untuk menemani pelanggan warungnya dengan obrolan-obrolan yang membahas isu-isu terkini. Dia biasanya akan terus berbicara sambil mencuci piring, menanak nasi, dan memasak gorengan tanpa jeda sama sekali. Dari kejauhan terlihat Kasan sedang berlari menuju warung, sepertinya ia sama sepertiku, menikmati segarnya pagi dengan berlari. Ketika aku sedang asyik mengobrol dengan Yu Sarti, Kasan yang baru duduk di sebelahku langsung nyelonong masuk dalam obrolan.
“Kamu tahu Yu Asih sudah ditemukan semalam?”
“Ketemu di mana, Kas?”
“Ia ditemukan mengambang di bawah
jembatan.”
“Innalillahi! Yang benar
saja?”
Pikiranku
langsung teringat pada kejadian dua tahun lalu. Saat itu, sawah di sebelah selatan desa
hampir habis diborong oleh pemilik proyek perumahan dan dalam kurun waktu enam bulan, seluruh
empang milik warga yang terletak di sebelah utara desa habis disewakan dengan
durasi sepuluh tahun kepada PT Bahari Laut. Saat itu, para pemilik sawah dan
empang tergiur dengan uang yang didapatkan dari hasil penjualan dan penyewaan,
hingga mereka lupa pada akibat yang akan timbul di kemudian hari.
Setahun
belakangan ini, memang banyak warga yang merasa resah dengan kondisi
perekonomian. Banyak di antara mereka yang kehilangan mata pencaharian akibat
pandemi, sedangkan kebutuhan pangan dan biaya pendidikan anak-anak harus tetap
berjalan. Menjadi buruh di sawah dan empang yang dulu bisa menjadi pemasukan
sampingan, kini tak dapat lagi diharapkan. Begitupun para pemilik yang dulu
dengan sukarela melepas tanah, kini mereka mulai merasa tak memiliki masa
depan karena tanah tempatnya menenun kehidupan telah ditumbuhi rumah dan
bidang garapan orang-orang luar.
Mang
Sonip adalah seorang kepala keluarga yang sederhana. Ia memiliki istri yang
sangat mencintainya. Kedua anaknya, Anton, si sulung yang tengah duduk di bangku kelas 6
SD, dan Ratih, si bungsu yang masih berumur 3 tahun mendapat kehidupan yang cukup layak
dari seorang ayah yang hanya bekerja sebagai kuli bangunan dan buruh sawah. Malapetaka
dimulai ketika pandemi melanda. Beberapa kuli bangunan termasuk Mang Sonip
kehilangan pekerjaannya karena banyak proyek harus dihentikan akibat
pembatasan sosial yang diberlakukan pemerintah. Hal ini membuat banyak keluarga
yang hanya mampu sekali bekerja untuk sehari makan semakin terpuruk dalam
kemiskinan dan utang-piutang.
Keadaan
tersebut lebih diperburuk lagi oleh kesehatan Mang Sonip yang semakin hari
semakin menurun akibat tekanan batin serta rengekan anak-anaknya yang
kelaparan. Sebenarnya Mang Sonip sudah biasa mencari ikan atau udang di sungai
untuk dijadikan lauk, tetapi sekarang hal itu percuma, sebab di rumah ia tak
memiliki beras sama sekali. Dahulu Mang Sonip bisa pergi ke sawah atau empang
untuk meminta pekerjaan kepada para wakaji. Sekarang hal itu tak mungkin
dilakukan karena sawah dan empang sudah bukan lagi milik pribumi. Sanak
keluarga pun enggan memberikannya utang sebab Mang Sonip sudah memiliki banyak utang. Terlebih lagi sekarang mereka sedang sama-sama dalam kondisi kesulitan.
Pada suatu subuh, bersama dengking jerit Yu Asih yang menggegar seisi desa, Mang Sonip melarikan diri dari rumah dengan membawa serta si sulung dalam pelariannya. Sejak saat itu, Yu Asih mengurung diri di dalam kamar tanpa pernah keluar. Ratih yang terus-terusan menangis terpaksa harus diasuh sementara oleh bibinya. Pada hari ketiga sejak Mang Sonip hilang, Yu Asih tak ditemukan di kamarnya. Seluruh tetangga dan sanak keluarga mencarinya di jalan-jalan raya, di pelosok-pelosok desa, dan bahkan ada yang langsung melapor ke polisi. Dua hari berlalu, Yu Asih ditemukan mengambang di bawah kolong jembatan. Tangannya menggenggam sepucuk surat yang sudah lusuh dan luntur. Isinya kurang lebih bertuliskan demikian, meskipun terdapat satu kata yang sudah tak lagi terbaca.
'Izinkan aku me... Anton.'
Kemudian, aku, Kasan, dan Yu Sarti mendengarkan suara toa yang melengking dari kejauhan.
“Innalillahi wainna....Ngiiiiikkk! Ngiiiiik! Ingkang bade milet....Ngiiiik!”
“Sudah
tahu toa rusak, suaranya tetap saja dinyaringkan!” dumel Yu Sarti.
Belum sempat Kasan memesan apapun, aku segera mengajaknya pulang untuk ikut menyalati jenazah Yu Asih.
Dapatkan informasi lebih lanjut mengenai penulis, Moh. Fajrul Alfien, melalui akun Instagram miliknya, @fajrulalfien.
0 Komentar