Homo Digitalis: Kejiwaannya dan Sertifikat - Esai Ade Novianto


Hidup dengan segala yang serba cepat mendegradasi interpretasi dan ingatan homo digitalis. Tumbuh dan berkembang di lingkungan julid memaksa homo digitalis untuk memilih ragam model yang menyimpang dan kemudian menderita karena dasarnya tidak lain adalah hanya untuk memenuhi kejulidannya sendiri. Tiada yang benar, tapi berusaha mengelak.

Generasi baru terus bermunculan. Namun, sudikah kita sebagai generasi yang terlahir dari tempaan peradaban lama dibuat sedemikian ruwet dengan hadirnya ragam soal pun ambisinya? Persepsi orang dalam membingkai makna perjalanan hidup tidak serta-merta dapat dilampaui oleh nalar belaka apalagi di era media seperti sekarang ini. Sering kali kita menukil segala hal yang sejalan dengan target dan impian, kemudian tanpa ragu memuatnya ke sosial media yang sangat utopis dan cenderung tamak.

Peradaban di masa kini diubah dan diserap oleh teknologi algoritma. Semua aktivitas dasar rumah tangga hingga urusan di sekolah terjadi atas dasar kebutuhan, mana yang lebih mudah dan murah untuk dijangkau, maka itulah yang dilakukan. Karena adanya akselerasi media serta perangkatnya yang kian bergerak cepat, homo digitalis (manusia masa kini yang hidup berdampingan dengan teknologi) mampu menilai dan mudah untuk menemukan jawaban dari realitas hidup yang dinamis atas pertanyaan masa depan. Homo digitalis umumnya lebih memilih untuk berkomentar di media sosial ketimbang melakukan verifikasi fakta kepada yang bersangkutan untuk menimbang benar dan tidaknya suatu informasi. Hal ini pula yang menandai hadirnya grup-grup pesan pada sebuah aplikasi yang mudah diakses.

Segalanya dibentuk dalam ruang dan waktu yang singkat. Sikap kepraktisan ini yang kerap dialami oleh homo digitalis sebagai suatu ketergesaan dari segala hal yang ia alami. Manusia mudah terbuai dalam naungan harga, merk, dan jam terbang di sosial media. Manusia mudah tersandera atas jumlah view yang diciptakan melalui kecantikan kamuflase tanpa menelurkan daya kritis dalam menentukan sikap hidupnya. Hidup dengan segala yang serba cepat mendegradasi interpretasi dan ingatan homo digitalis. Tumbuh dan berkembang di lingkungan julid memaksa homo digitalis untuk memilih ragam model yang menyimpang dan kemudian menderita karena dasarnya tidak lain adalah hanya untuk memenuhi kejulidannya sendiri. Tiada yang benar, tapi berusaha mengelak.

Kecelakaan besar homo digitalis ditandai oleh pasifnya keyakinan dari interpretasi mandiri atau belief perseverance effect, di mana fakta tidak melulu atau selalu kuat untuk dapat kita cerna. Oleh karena itu, kenyataan sosial yang sedang dan yang akan terjadi semestinya dapat dipola ke dalam draf ingatan manusia agar sekiranya dapat mendesain jalan tikus atau shortcut yang praktis di tengah arus utama yang semakin edan. Kondisinya semakin dapat dirasakan di masa kini, hubungan antartetangga diritmekan pada area yang saling beroposisi (tren-kuno, mondial-lokal, rongsokan-baru, restoran-warkop, dan banyak lagi).

Kecelakaan hidup telah mengakibatkan berbagai luka mendalam. Ia mengendap ke organ lain dalam kehidupan. Perang status dimuat dari menit ke menit melalui foto atau unggahan yang bebas-multitafsir, sembari entah berada di manapun, mungkin di kafe atau di dalam mobil sambil pamer. Kebanyakan homo digitalis mungkin tidak menyadari bahwa mereka terlampau larut pada cacian yang ia dapatkan dari masa lalunya dan terlalu mengkhawatirkan masa depan, merasa apatis dan persetan untuk menginjak hak orang lain, atau terlalu mengultuskan ketersohoran. 

Kejiwaan Homo Digitalis

Ada sebuah petuah, al-insanu hayawanun naatiq, artinya adalah manusia itu hewan yang berpikir. Manusia yang dinyatakan dalam kalimat itu adalah segala manusia, artinya homo digitalis juga termasuk di dalamnya. Manusia juga disebut sebagai mahkluk yang sempurna melampaui makhluk lainnya (memiliki berbagai hal yang tidak dimiliki makhluk lain). Karakter yang dinamis, pengetahuan yang mapan, pergaulan lintas budaya, merupakan nilai lebih yang meliputi kehidupan homo digitalis. Pembaca dapat membaca dan mengomentari tulisan ini juga merupakan suatu anugerah maha dahsyat yang takkan bisa dimiliki oleh macan atau monyet di hutan.

Proses berpikir manusia untuk menemukan jiwanya pertama kali dipraktikkan melalui tingkah laku, melalui panca indra mulai dari menyentuh, merasa, dan meraba. Fungsi ini mengilhami derita dan melapetaka homo digitalis yang hidup di masa kini. Homo digitalis kerap terlihat mapan dan terpandang di muka televisi, Instagram, atau sosial media lainnya, tetapi sebenarnya jiwanya teramat miskin. Cara berpikir yang kacau dan kemampuan penafsiran sebatas mata dan kuping membawa kerugian batin yang teramat destruktif. Ini merupakan awal mula penghancuran esensi hidup sepanjang hayat. Sepertinya dalam kejiwaan homo digitalis telah terpaku untuk menempuh tujuan dengan cara apapun; rela dilabeli gila, stres, dan nir-moral. Hal ini semakin membuktikan bahwa kepada siapapun manusia belajar, hal itu akan berimplikasi terhadap sikapnya kepada manusia lain dan lingkungan sekitarnya.

Eric Fromm, seorang psikoanalis berkebangsaan Jerman, pernah berpendapat bahwa manusia hidup bukan lagi didasari norma dan moral yang telah dibuat dan tersedia, melainkan ditekan oleh otoritas anonim seperti pendapat publik. Pendapat itu sangat selaras jika disandingkan kepada homo digitalis. Homo digitalis kerap merasa terinjak harga dirinya jika dicecar pertanyaan mengenai kapan target atau tujuan hidupnya akan tercapai. Dengan demikian, homo digitalis kerap merasa stres hingga jam tidur dijadikan tumbal. Pergi ke apotek untuk membeli suplemen atau obat agar dijauhkan dari penyakit merupakan rutinitas yang tidak dapat dilarang oleh siapapun. Pergi ke psikiater yang berbayar lebih dapat dipercaya daripada curhat pada suami atau istrinya mengenai suatu permasalahan atau beban yang ditanggungnya. Homo digitalis juga begitu maniak untuk berpergian ke berbagai tempat wisata tanpa alasan yang jelas. Kebutuhan itu menjadi sangat masif. Di masa kini, kebutuhan itu menjadi primer dan kerap disebut sebagai healing dan bukan holiday. Menurut hemat penulis, healing lebih cocok diperuntukkan bagi mereka yang sedang dan yang akan pulih dari sakit (dalam artian apapun). Artinya kebutuhan itu adalah untuk mereka yang dalam masa penyembuhan.

Perihal Sertifikat

Jalan hidup yang berfokus pada suatu kemampuan atau keahlian tertentu menyempurnakan makna hidup itu sendiri. Para homo digitalis yang baru lulus sarjana berkumpul di ruang Twitter, mereka begitu panik dan cemas mengenai takdirnya di masa depan, merasa belum jinak, dan kerisauan menjadi pengangguran karena ditekan tuntutan finansial dari berbagai faktor. Mereka seperti kalah judi berkali-kali dan berharap mempunyai kartu joker di akhir pertandingan yang dapat menyelamatkannya. Rasanya mereka menyimpan dendam setelah dihajar tugas dan berbagai penelitian semasa perkuliahan yang menyita hidupnya.

Menjalar dan menggurita adalah dua kata yang klop mengenai pertumbuhan dan ledakan pengangguran. Algoritma memegang peranan yang penting untuk dapat menyulap bahwa orang hanya perlu rebahan di rumah lalu mendapatkan gaji. Tuntutan untuk menguasai berbagai skill di era sekarang ini dibawa ke dalam kesadaran manusia bahwa hidup enak harus berguling-guling dan bersusah payah terlebih dahulu. Model kerja otot akan tergantikan oleh teknologi. Pasar tenaga kerja bakal dibanjiri oleh skill penunjang yang kemudiannya akan mengundang banyak toko kursus. Tentu dimensi yang dirasakan di masa kini bakal berbeda karena tempat bukanlah cost utama. Cukup membuat selebaran kemudian bisa belajar atau mengajar dari mana saja dan kapan saja melalui gawai. Artinya, untuk belajar dan mendapatkan berbagai skill yang diinginkan bisa dilakukan dengan cara yang cukup mudah.

Sertifikasi dan legitimasi bagi homo digitalis saat ini merupakan sebuah bukti kuat untuk tidak insecure saat berhadapan dengan berbagai pesaing handal. Sadar atau pun tidak, semakin kekinian manusia, mereka justru semakin dibelenggu oleh kebebasan meskipun mereka menyadari akan ada banyak hantu di masa depan. Kebebasan dan kesadaran seharusnya berjalan beriringan serta sepadan dalam menatap rambu-rambu kehidupan jika ingin seimbang. Demikianlah pendapat yang diutarakan oleh Rollo May, seorang psikolog eksistensial berkebangsaan Amerika Serikat.

Indentitas yang terus dibenahi atas dasar tuntutan hidup justru mengganjal kenikmatan hidup itu sendiri untuk terus mengarungi luasnya lintas peradaban. Perkotaan disokong bahan baku dari desa. Sementara itu, desa ditopang gelontoran uang dari kota. Lintas peradaban yang demikian inilah yang menjadikannya cukup ambigu, yang nikmat tidak harus serba sertifikat dan skill kekinian yang berfokus pada teknologi canggih. Bayangkan jika desa menghentikan pengiriman bahan baku ke kota-kota karena ulah homo digitalis sebagai masyarakat urban yang selalu merasa pintar dan berbuat semaunya karena merasa telah tersertifikasi dan memiliki berbagai skill kekinian yang berfokus pada teknologi canggih. Bagi orang desa, tidak ada uang melimpah bukanlah masalah besar, yang penting tersedia bahan baku makanan dari alam untuk bisa terus bertahan hidup. Kita, sebagai homo digitalis yang menjadi masyarakat urban, apakah bisa bertahan dengan cara menyekap uang sementara lambung dalam keadaan kosong?

Ade Novianto merupakan seorang alumnus jurusan Hubungan Internasional dari Universitas Satya Negara Indonesia.

Posting Komentar

0 Komentar