Cerita Bersambung Taufik Juang Dwiadi: Hitam Putihnya Penjara - Bagian XI

Tokoh:

0721 : tokoh utama

0192 : seorang perempuan

0378 : tokoh dengan banyak peran

A__e_ : nama asli tokoh utama yang tidak terungkap

____ dan ____ : dua orang perempuan dalam bagian V

0492 : kakak dari seorang adik

??? : penghuni sebelah 0721 yang mencintai 0492, seorang mantan narapidana: manusia bebas yang kabur dari penjara

XI

Keajaiban tidak akan datang dua kali. Seperti saat satu hari kemarin tidak akan terulang kembali, seseorang bisa berharap untuk tidak mengerti kalau kemarin kita tidak melakukan hari sebaik-baiknya. Seandainya suatu buku dapat ditarik kembali dari penerbitannya, maka tidak perlu dijelaskan kalau ada orang-orang tertentu yang tidak menyukainya. Apalagi saat suatu ungkapan 'aku mencintaimu' digagalkan oleh beberapa oknum. Sepertinya, ditariknya suatu perkataan akan terasa terlalu lucu. Memangnya orang itu menerbitkan suatu buku untuk umum? Dia memberikannya spesial untuk yang tersayang bagi dirinya sendiri. Akan tetapi, oknum dirugikan tidak mau tahu mengenai perkara masalahnya.

Kalau buku dianggap buruk—meskipun belum pernah dibaca olehnya sendiri—sudah tentu akan ditarik dari pasar. Kalau ungkapan cinta? Apanya yang akan ditarik? Perasaan ini sudah terbentuk sebagaimana suatu buku telah terlanjur diciptakan. Karena itu, hati seorang penyair sering kesusahan saat anak kandungnya tidak diterima masyarakat. Meratapi perasaan cintaku yang tidak diterima oleh masyarakat, hatiku hanya bisa undur diri dari masalah-masalah di sekitarku. Kalau saja aku tidak punya ide untuk mencetuskan bisnisku di hadapan banyak orang, tentu saja masalah bernama penolakan tidak akan pernah aku terima. Air mataku terus mengalir karena hatiku tidaklah sekuat perasaanku. 

Aku, seorang wanita yang telah menyatakan perasaannya dan ditolak mentah-mentah oleh cintaku. Tidak hanya berhenti sampai di situ saja. Wanita lainnya justru menyalahkanku karena berani bertindak tidak sebagaimana seorang perempuan pada umumnya. Sambil membawa garam untuk ditaburkan ke lukaku, mereka menyebarkan aibku ke beberapa kalangan. Dosa semacam apakah jika cinta dituliskan sebagai keberkahan hidup yang layak untuk diekspresikan? Entah aku adalah perempuan ataupun laki-laki, seseorang hanya bisa menggalang dana untuk melakukan suatu kegiatan karena punya alasan logis dan dapat dipertanggung jawabkan. Aku punya keduanya. Apa lagi masalahnya?

Bertatap muka dengannya semakin membuat perasaanku menangis. Cinta milik kita berdua adalah duka. Untuk kisah ini, orang boleh berkata bahwa antara realita dan ekspektasi kurang padu jalannya. Siapakah aku? Aku tidak memahaminya, meskipun nama telah diberikan oleh orang tuaku, keluargaku, masyarakat, dan oleh diriku sendiri. Menggangu, semuanya menggangu kesedihanku. Dikatakan bahwa aku perlu untuk melangkah meninggalkan masa laluku. Seperti kisah sebuah dongeng, diterangkan bahwa dia bukan jodohku. Itulah peninggalan warisan nasihat orang tua yang sering kali dibenci oleh beberapa orang. Selebihnya, kalaupun itu benar, kita hanya menyesal karena tidak mendengar nasihat.

Kemanakah pengantin akan berpergian? Dukaku mengenal bahwa dia akan membawanya menuju jurang pemisah antara suatu tempat dengan tempat lainnya. Aku berada di sini, dia berada di sana. Di dalam jurang pemisah itu, terdapat sorakan para pemirsa yang tidak mengerti betapa perasaanku tidaklah sedangkal kolam berukuran kecil. Kecilnya kolam itu dijelaskan serupa seberapa bisa aku tenggelam di dalam air miliknya. Orang akan menjelaskan hanya kakiku saja yang basah atas perasaan cintaku. Padahal setinggi apapun perasaan cintaku, kolam itu akan membenamkan ketinggiaan itu, sehingga seluruh tubuhku akan merasakan air itu dalam diriku sendiri. Setiap kali menghembuskan nafas, gelembung air terbentuk karena udaraku. Gerakanku dalam air juga menciptakan gelembung tersendiri meskipun lebih susah diamati daripada hembusan nafasku. Secepat itu gerakanku bergerak, mataku tidak bisa mengikuti secara keseluruhan bagaimana gerakan buih itu terbentuk semenjak dia tercipta sampai menuju kawan-kawannya di atas air.

Hanya karena menggagap diri mereka lebih berpengalaman, mereka melarang segala sesuatu. Padahal kehidupan mereka juga tidak lebih baik, meski diri mereka sendiri mengaku bahwa penguasaan hidupnya secara penuh. Itukah kehidupan baik secara versi kalian? Maka aku tidak akan pernah mengikuti apapun kemauan kalian. Itulah keputusanku setelah aku mengalami suatu masalah yang tidak bisa aku tampung. Jiwaku terasa tenggelam dalam suatu genangan penuh penyakit. Kalau saja perutku termasuk di kalangan orang normal, asam lambungku pasti akan naik hingga tingkat yang membawa rasa yang teramat menyakitkan. Perbedaannya hanyalah aku telah merasakan hal yang lebih parah daripada masalahku saat ini. Terlalu banyak derita karena dipisahkan oleh kapak-kapak yang menyukai pohon muda. 

Pernah kuciptakan selembar surat bukan untuk siapa-siapa. Ingin kukirimkan surat ini kepada aku masa lalu agar dia dapat membaca permasalahanku saat ini. Lambat laun, tulisan itu diganti, dihapus, ditulis ulang. Pada akhirnya, aku tidak mengerti kebenaran apa yang tersimpan dalam tulisanku. Seperti bagaimana orang mendeskripsikan sejarah kehidupan.


Kepada diriku di masa lalu,

Dari diriku di masa kini.

Bagaimana kabarmu? Sekarang ini, nyawaku telah di ambang batas antara memisahkan diriku dengan realita atau menjatuhkan nyawaku ke jurang dasar kematian. Seandainya aku pernah melihat betapa nyawaku sering dinafikan, tidak dianggap penting seperti seekor lalat yang berusaha hinggap pada suatu makanan, aku menjadikan akalku untuk membunuh orang lain.

Akal manusia selalu berpola bahwa ia tidak suka jika ada suatu masalah yang berlawanan dengan keinginannya. Seandainya rumah milikmu bukanlah sebenar-benarnya rumah, apa yang akan kamu lakukan? Jikalau kata terakhir yang merembes dari hembusan nafas terakhir seorang yang tengah meregang nyawa bukanlah kata-kata pujian Tuhan, sekiranya pengelihatan apa yang sedang diperlihatkan pada mereka? Bukankah manusia diciptakan agar membunuh manusia yang lain?

Menjalani hidupku, manusia masih merasa dirinya paling penting seumur hidupnya. Pendapatnya dirasa dapat mengubah segala sesuatu menjadi lebih baik. Dunia adalah salah satu permainan ular tangganya. Aku juga manusia. Tidak berbeda dari orang lain, hanya saja kebetulan nyawaku sedang di antara mati dan hidup.

Dngan demikian, aku berpikir untuk membunuh orang lain agar nyawaku dapat diselamatkan. Aku berusaha menukar nyawa orang lain agar ia bersukarela membuangnya secara sia-sia demi aku, untuk kisah cinta sejatiku, demi dunia harapan kebanggaanku, agar penderitaan dapat kulemparkan secara penuh kepada orang lain. Iya, asalkan aku bukan persembahan untuk menenangkan amukan tsunami juga gempa lainnya.

‘Hiduplah mayat-mayatku, lindungi aku dengan tulisan-tulisan kekekalanmu.’

Saat kuucapkan kalimat itu, kubuka kuburan-kuburan manusia. Bukan di bawah tanah, melainkan di atas tanah. Kuambil mereka dari rumah-rumah berpenghuni. Aku hidangkan tanpa melupakan untuk digoreng di atas panci. Dalam proses memasak, aku lemparkan mereka menuju udara agar pikirannya terguncang-guncang, sehingga dia tidak mengetahui apakah dia sudah mati atau belum. 

Setelah semuanya selesai, kuucapkan selamat makan dan berdoa untuk menghormati Tuhan atas rahmat-Nya karena aku telah bertaubat, atas segala kesalahan yang baru saja aku lakukan pada manusia-manusia ini. Supaya pada keesokan harinya dapat kuulangi kembali, sehingga aku dapat bertaubat lagi. Tuhan, Dzat Maha Pemaaf, bukan? 

Itulah kehidupanku. Maukah kamu melanjutkan tulisanku?


Saat kutuliskan surat ini, tak terasa air mataku menetes, secara perlahan-lahan. Tetesan itu terjatuh, ia mulai dari kiri, lalu ditambah yang kanan. Setelah itu, kulihat kemanakah perginya tetesan air itu. Dia jatuh mendekati kertas tapi jauh dari tanganku. Dia melupakanku sebagai penciptanya, awal dari eksistensinya, tetapi malah lebih mengingat tulisan yang ada di hadapannya.

Setelah puas menuangkan perasaanku pada sebuah kertas, aku buka surat perceraianku. Lebih tepatnya, aku memandang sebuah undangan pernikahan antara aku dengan kekasihku. Telah kukirimkan surat itu kepada seseorang. Seorang yang telah lama aku lupakan, ia kubuang dan kutaruh di dasar meja kenangan. Ia ada pada tempat yang tidak pernah aku urus sampai ditumbuhi oleh debu-debu masalah.

Inilah babak baru kehidupanku. Seperti halnya saat tanah ditutupi oleh sebuah aspal demi kelancaran laju kendaraan. Dia hanyalah penyesalan masa laluku, yang tidak akan pernah aku hiraukan lagi, supaya hidupku lebih bisa dikatakan sebagai sebuah kemajuan.

Posting Komentar

0 Komentar